DINASTI POLITIK (POSITIF & NEGATIF)
Praktek politik dinasti di tanah air kerap kali menjadi perbincangan yang hangat dalam setiap momentum pemilihan umum (pileg dan pilpres). Pilkada serentak pun politik dinasti tak bisa dihindari dalam ruang demokrasi elektoral.
Politik dinasti sebenarnya paling identik dengan sistem monarki, karena dalam sistem monarki jelas terjadi adanya kelanggengan kekuasaan secara turun temurun, contoh ayahnya seorang raja tentunya setelah dia melepas kekuasaannya itu, maka tampuk kekuasaan secara otomatis diberikan ke anaknya.
Akan tetapi di alam demokrasi terbuka, seperti di Indonesia, politik dinasti pun tetap langgeng dan tumbuh subur. Konsep demokrasi yang ideal dan terbuka sebenarnya diharapkan dapat mengikis terjadinya politik dinasti tak seperti sistem monarki.
Muhammad Irham Fuadi (2010) dalam tulisannya “Berkembangnya Dinasti Politik di Indonesia” mengatakan bahwa ada potensi abuse of power dalam dinasti yang akan menimbulkan korupsi yang diikuti oleh kolusi dan nepotisme. Hal ini sinkron dengan teori Lord Acton bahwa Absolutely power tends to corrupt.
“It is enough that the people know there was an election. The people who cast the votes decide nothing. The people who count the votes decide everything”
-Stalin-
Apa yang ada dalam pemikiran para politikus ketika melihat kekuasaan terhadap pemerintahan dikuasai dan dipimpin oleh garis keturunan yang sama?
Hal ini sebenarnya sudah menjadi opini umum yang massif. Banyak kasus politik dinasti terjadi di Indonesia bukan saja pada level pusat, tetapi juga sudah merambah pada level daerah. Sistem politik dinasti sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia, semenjak era presiden Soekarno hingga era kini di pilpres 2024 banyak sistem perpolitikan dinasti ditemui dan mewarnai demokrasi Indonesia.
Pada dasarnya sistem dinasti politik adalah merupakan strategi politik yang dibuat ataupun dibangun untuk memperoleh kekuasaan. Harapannya dengan menggunakan sistem dinasti politik, kekuasaan dapat di wariskan kepada keturunan ataupun keluarga. Sistem dinasti politik ini dapat dilihat dan ditelaah melalui dua aspek konotasi. Masing masing konotasi memiliki kekuatan dan kelemahan masing masing. Saat ini penulis berusaha untuk menilai dan menelaah makna dan arti politik dinasti ditinjau dari konotasi negative maupun konotasi positif.
DINASTI POSITIF
Menganut pada sistem kepemimpinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki sistem kepemimpinan kesukuan, maka tidak lah menjadi hal yang aneh adanya sistem politik dinasti. Sejarah Indonesia meninggalkan sistem dinasti pada kelompok ataupun golongan tertentu. Sebagai salah satu contoh, suku suku diIndonesia memiliki sistem kepemimpinan dinasti, dimana pucuk pimpinan akan di miliki ataupun ditempati berdasarkan garis keturunan (regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis).
Apabila secara “kebetulan” generasi pemilik kekuasaan merupakan generasi yang memang kompeten dan mumpuni, maka sistem perpolitikan dinasti akan sangat membantu dalam pengasingan group ataupun kelompok perusak.
Masyarakat yang dipimpin secara langsung dan tidak langsung memberikan penuh kepercayaan kepada dinasti pemimpin mereka, tidak memandang pantas atau tidak dalam memimpin.Kekuatan dari sistem politik dinasti adalah, apabila sudah dipercaya ataupun masyarakat telah memiliki keyakinan pada satu garis keturunan tertentu, maka pengendalian ataupun penagturan terhadap sistem sosial dapat di lakukan dengan mudah.Sosial masyarakat menjadi bagian yang menyatu dengan sistem kekerabatan kepemimpinan tersebut.
DINASTI NEGATIF
Sistem politik dinasti dapat mengandung konotasi negative ketika sitem perpolitikan tersebut dipadupadankan pada pengambilan kekuasaan. Makna kepemimpinan bukan lagi menjadi hal krusial pada sistem dinasti dengan konotasi negative. Hal terpenting adalah bagaimana menjaga keutuhan kekuasaan pada generasi yang sama. Di Indonesia hal ini sudah banyak terjadi dan
Banyak patai politik, pilpres, pilkada yang saat ini mempersiapkan generasinya untuk bersanding di kursi perpolitikan nasional. Skema pengorbitan instan disusun dengan singkat dan tanpa persiapan.
Sebagai contoh, menuju perhelatan 2024, terdapat beberapa “pemilik partai (penggagas, penguasa, donator, penemu)” ramai ramai mempersiapkan penggantinya yang memiliki keterikatan kekeluargaan. Ketakutan akan penguasaan oleh pihak lain (bukan satu gen) menjadi perhelatan yang panjang. Dampak utamanya adalah kepada nilai hakiki kekuasaan dan kepemimpinan yang menjadi pudar. Kualitas dan kapabilitas para pemimpin sangat jauh dari harapan.
PEMIKIRAN
Pemaparan dinasti positif dan dinasty negative diatas hanyalah buah pikir spontanitas penulis melihat kekacauan perpolitikan di Indonesia. Bagi penulis, alangkah baiknya pabila para politikus yang akan (sudah) menjadi penguasa, sadar diri akan kemampuan dan kapabilitas. Karna hingga saat ini jika kita jujur menganalisa dan memahami fenomena yang ada, belum ada “calon pemimpin” yang layak yang dipersiapkan untuk mengganti kan posisi penting para pemilik ataupun penguasa. Sudah selayaknya penghapusan sistem politik dinasti dilakukan, karena akan menciptakan pengelompokan kekuasaan pada golongan / kelompok tertentu yang dapat saja di salah arti dan gunakan
Politik dinasti bukan hanya soal etis atau tidak etis, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka tapi lebih pada apakah para politisi dinasti memiliki kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas jika kelak dipercayakan menjadi pemimpin.