In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores (dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari pada cahaya)
In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores, artinya dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari pada cahaya.
Ada postulat yang harus dipegang, in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores, yang artinya bahwa dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya.
Dan Hukum tidak dapat ditegakkan dengan cara melawan hukum.
In criminalibus probationes bedent esse luce clariores adalah asas hukum yang menyatakan bahwa bukti dalam perkara pidana harus lebih terang dari cahaya. Asas ini juga berarti bahwa bukti tersebut harus jelas dan tidak menimbulkan keraguan.
Asas ini merupakan salah satu prinsip hukum yang terkenal dalam hukum acara pidana.
__________
Asas In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores
Oleh : LAW FIRM “SURJO & PARTNERS”
![]() |
Asas In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores |
Asas In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya/seterang cahaya. Artinya bukti yang diberikan atau diperlihatkan dalam persidangan harus jelas. Dengan kian pentingnya, asas ini memberi penekanan bahwa bukti itu harus lebih terang dari cahaya.
Asas ini menunjukkan bahwa bukti merupakan hal yang fundamental harus ada, Karena tanpa bukti suatu kejahatan itu tidak akan bisa diselesaikan. Untuk alat bukti sendiri minimal harus ada dua alat bukti. Jika hanya satu maka perbuatan seseorang tersebut tidak bisa diperkarakan.
Untuk memahmi pengertian “cukup bukti” sebaiknya penyidik memperhatikan dan berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan prinsip “batas minimum pembuktian” (sekurang-kurangnya ada dua alat bukti), dihubungkan dengan Pasal 184 inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka di muka persidangan.
Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, lebih baik menghentikan penyidikan. Namun, bila di belakang hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah dihentikan pemeriksaan penyidikannya.
“Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materil,” kata Prof Eddy O.S Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian.
Merujuk pasal 1 butir 14, Pasal 17 berikut penjelasannya dan Pasal 21 ayat (KUHAP), berbagai istilah yang kedengarannya sama, tapi secara prinsip berbeda: istilah “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”. Sayang, KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan ketiga istilah tersebut.
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) Kapolri, “bukti permulaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14 dalam rangka menetapkan seseorang sebagai tersangka berdasarkan satu alat bukti dan laporan polisi.
Artinya, alat bukti yang dimaksudkan di sini sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, baik itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa maupun petunjuk.
Prof HIariej menyampaikan, kata-kata “bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence dan real evidence.
Untuk menakar, lanjutnya, bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti.
Artinya, pembuktian adanya tindak pidana haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal.
Mengenai istilah “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP adalah pada bewijs minimum atau minimum bukti yang diperlukan untuk memproses seseorang dalam perkara pidana, yaitu dua alat bukti.
Hal inipun masih menimbulkan perdebatan terkait dua alat bukti, apakah dua alat bukti tersebut secara kualitatif atau kuantitatif?
Menurut Prof Hiariej, Secara kualitatif. Dua alat bukti tersebut harus ada keterangan saksi dan keterangan ahli atau keterangan saksi atau keterangan ahli dan surat dan seterusnya.
Tegasnya, dua alat bukti yang dimaksud secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan petunjuk.
Secara kuantitatif, dua orang saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. Dalam tataran praktis, dua alat bukti yang dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dalat secara kualitatif dan kuantitatif. “Dalam perkaran pidana tidak ada hirarki alat bukti.”
Dalam konteks hukum pidana, untuk menanggulangi kejahatan luar biasa, alat bukti yang dapat digunakan di depan sidang pengadilan tidak sebatas yang termaktub dalam pasal 184 KUHAP.
Pasal 96 UU No 32 Tahun 2009 PPLH: alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e) keterangan terdakwa dan atau (f) alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alat bukti maksudnya dalam penjelasan pasal meliputi informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan atau yang serupa dengan itu, dan atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami dan dibaca.
Cahaya itu sifatnya terang, memberikan sinar sehingga dengan cahaya orang dapat melihat benda-benda yang ada disekitarnya. Sifat cahaya ini diibaratkan dengan bukti, maka bukti itu harus jelas dan tidak kabur.
Jika ada sifat ambigu dalam bukti, maka akan memperlemah argument sehingga susah untuk dipertahankan. Kejelasan bukti juga menjadi pedoman bagi hakim untuk meberikan penilaian dan pertimbangannya.
Hakim akan melihat fakta hukum ada selama persidangan dengan melihat bukti apakah jelas atau tidak, disinilah timbul keyakinan hakim untuk menjatuhkan vonis, vonis yang dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan jika fakta dan alat bukti dipengadilan seimbang dengan hukuman yang dijatuhkan.
Dengan demikian semakin terang atau jelas suatu bukti, maka akan semakin mudah hakim memberikan putusan karena jika bukti tidak jelas maka hakim akan kesulitan dan akan cenderung ragu-ragu.
Agar cahaya kebenaran tidak dimatikan oleh mafia korporasi dan cukong. Rakyat harus bersatu, seperti pekik perjuangan: Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!.
Demikian penjelasan mengenai Asas In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para sobat pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel.
Demikian sobat uraian artikel kali ini tentang Asas In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores. Seluruh informasi hukum yang ditulis di artikel LAW FIRM “SURJO & PARTNERS” oleh penulis, semata-mata untuk tujuan Informasi dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer selengkapnya).
Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel :
Bahan untuk diskusi Cakap-cakap Melawan SP3 15 Perusahaan bersama Haris Azhar (Kontras), Heri Budiman (#melawanasap), Al Azhar (LAM Riau), dan Made Ali di Sikukeluang, pada 29 September 2016
Dikutip dari :
https://lawfirmadvokatsurjoandpartners.wordpress.com/2022/07/09/asas-in-criminalibus-probationes-bedent-esse-luce-clariores/
Ditulis ulang oleh POINT Consultant