TEORI DENNY JA SOAL AGAMA MENJEMBATANI ERA KLASIK DAN REVOLUSI AI
Oleh Anick HT
(Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta)
TEORI DENNY JA SOAL AGAMA MENJEMBATANI ERA KLASIK DAN REVOLUSI AI
Oleh Anick HT
(Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta)
Seberapa besar revolusi AI ini akan mengubah cara kita beragama? Seberapa kuat teori Denny JA yang ingin menjelaskan soal agama dan spiritualitas di era AI?
Agama adalah lembaga sosial yang tak berhenti diperdebatkan manusia.
Meskipun konsep agama sebagai institusi sosial konon baru lahir dalam peradaban manusia di 5.000 tahun belakangan (Hinduisme) atau 50.000 tahun (animisme), sementara umur homo sapiens sekitar 300.000 tahun.
Sepanjang umur agama itu pula agama tak bisa dilepaskan dari fenomena dan perdebatan sosiologis.
Ketika Edward Burnett Tylor menulis Primitive Culture (1871), ia mencoba memahami bagaimana kepercayaan berkembang dari animisme menuju sistem yang lebih kompleks.
Karl Marx melihat agama dalam bingkai sosial dan ekonomi, sebagai alat yang mencerminkan struktur kelas.
Ia melihat agama sebagai alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menindas kelas pekerja dan mempertahankan status quo.
Émile Durkheim mengkaji peran agama dalam menjaga solidaritas sosial.
Ia menguatkan solidaritas sosial dan membangun ikatan antarindividu dalam suatu kelompok.
Ritual-ritual keagamaan memperkuat kesadaran kolektif dan memberikan rasa identitas dan rasa kebersamaan.
Sementara, Max Weber menelusuri hubungan antara agama dan etos kerja yang membentuk kapitalisme. Baginya, agama dapat mempengaruhi tindakan individu dan perkembangan ekonomi.
Para pemikir ini hidup dalam konteks yang berbeda, sebelum munculnya kecerdasan buatan (AI), internet, dan revolusi digital.
Mereka menganalisis agama dalam dunia yang masih bergantung pada otoritas tradisional, di mana akses terhadap informasi terbatas dan tafsir masih bersumber dari komunitas tertentu.
Dalam perkembangan revolusioner ini, agama sekali lagi tak bisa dilepaskan.
-000-
Denny JA memperkenalkan perspektif baru yang melengkapi bangunan besar sosiologi agama. Ia tidak menggantikan teori klasik, tetapi menambahkan dimensi baru: bagaimana AI memengaruhi akses, interpretasi, dan peran sosial agama di era digital.
Dalam teorinya, Denny JA merumuskan beberapa prinsip yang didasari oleh interaksi agama dengan realitas yang melingkupinya seperti kehidupan bernegara, kemajuan ilmu pengetahuan yang melegitimasi atau mendelegitimasi narasi sejarah dalam teks agama.
Itu termasuk
juga membuka diri bagi kemajuan peradaban yang lebih menghargai hak asasi manusia, dan modernitas yang melahirkan revolusi digital yang memengaruhi cara manusia beragama.
Salah satu prinsip dalam hal ini adalah pergeseran otoritas keagamaan karena kemajuan dunia digital, terutama dengan lahirnya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Pergeseran Otoritas dan Akses terhadap Pengetahuan
Dalam masyarakat tradisional, informasi keagamaan diperoleh melalui guru, pemuka agama, atau lembaga keagamaan.
Struktur ini memastikan bahwa pemahaman agama mengalir dalam sistem sosial yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Namun, dengan munculnya AI, akses terhadap informasi menjadi lebih luas dan instan. Melalui mesin pencari dan asisten berbasis AI, seseorang dapat menemukan tafsir agama dari berbagai perspektif hanya dalam hitungan detik, kapan saja, selama 24 jam sehari.
Dulu, seseorang harus pergi ke perpustakaan untuk membaca kitab-kitab klasik atau menghadiri majelis untuk mendengar ceramah.
Kini, AI dapat mengumpulkan ribuan sumber, menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa, menganalisis perbedaan tafsir, bahkan memberikan ringkasan ajaran dari berbagai tradisi agama di dunia.
Jelas bahwa AI mengubah pola interaksi manusia dengan agama, meski tidak serta-merta menggantikan peran tradisional pemuka agama.
Mereka tetap memiliki tempat dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh seorang Dosen UIN Bandung tahun 2020, misalnya, 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui instagram dan youtube dari pada melalui organisasi keagamaan atau ustadz.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana komunitas keagamaan merespons era keterbukaan ini? Bagaimana menjaga keseimbangan antara akses informasi yang luas dengan pemahaman yang tetap mendalam?
Perkembangan inilah yang menjadi perhatian Denny JA. Baginya, agama tidak akan mati. Namun agama harus merespons perkembangan zaman, terutama perkembangan AI yang sangat revolusioner saat ini.
Agama sebagai Tradisi Kultural dan Ruang Refleksi
Denny JA merumuskan pemikiran sosialnya dengan melihat agama dari sisi kultural keagamaan. Selain aspek spiritual dan ritualnya, agama adalah institusi sosial yang tentu saja memiliki dimensi budaya yang berkembang seiring waktu.
Dalam hal ini agama tidak semata-mata berfungsi sebagai alat dogmatis, melainkan sebagai sumber nilai kultural yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Perayaan keagamaan kini sering melampaui batas komunitasnya. Natal dirayakan di berbagai negara sebagai festival budaya, yoga dari tradisi Hindu telah menjadi bagian dari keseharian banyak orang, dan puasa menjadi praktik yang diadopsi tidak hanya dalam konteks agama tertentu.
Denny JA melihat bahwa agama, dalam bentuknya yang lebih luas, bukan hanya tentang keyakinan individu tetapi juga fenomena sosial yang terus berkembang. Karena itu, bagi Denny, agama adalah warisan kultural milik bersama.
Paralel dengan itu, AI memungkinkan refleksi baru terhadap nilai-nilai yang diwariskan, serta memberikan wawasan lintas budaya yang lebih luas.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga agar pemahaman terhadap agama tetap substansial di tengah keterbukaan budaya dan perubahan sosial.
Apakah keterbukaan ini memperkaya pemahaman agama, atau justru mendorong pemaknaan yang lebih individualistik?
Teknologi telah lama menjadi bagian dari perjalanan manusia dalam memahami dunia. Dari mesin cetak yang mempercepat penyebaran kitab suci, hingga internet yang memungkinkan diskusi lintas agama dalam skala global. AI adalah kelanjutan dari perjalanan ini.
Denny JA berpendapat bahwa AI dapat membantu dalam kajian agama dengan memberikan perspektif yang lebih luas, menghubungkan teks dengan konteks, dan memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam.
Dalam kerangka yang lebih praktis, misalnya, dengan mudah teknologi AI bisa mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan antar-tafsir dalam berbagai agama, menghubungkan teks suci dengan konteks sejarah dan sosial saat itu, serta membantu menerjemahkan kitab-kitab klasik dengan akurasi yang lebih baik.
Namun, sekali lagi, Denny JA juga menyadari bahwa AI belum sampai pada tahap menggantikan pengalaman personal dan komunitas, melainkan alat untuk memperkaya pemahaman.
Ritual, doa, dan kebersamaan tetap menjadi bagian penting dalam praktik keagamaan yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar data atau informasi.
Bagaimana posisi agama di masa depan?
Bagi Denny, agama akan tetap menjadi bagian dari kehidupan manusia di masa depan. Namun cara manusia berinteraksi dengannya akan semakin dipengaruhi oleh teknologi.
Pemuka agama yang dapat memanfaatkan AI untuk mendukung pemahaman yang lebih mendalam akan lebih relevan dalam mendampingi komunitasnya.
Di sisi lain, tantangan baru juga muncul. Pertama, bagaimana AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dalam konteks keagamaan?
Kedua, bagaimana memastikan bahwa keterbukaan informasi tidak mengarah pada disinformasi atau penyederhanaan pemahaman?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian dari evolusi agama di era digital. Teknologi, dalam bentuk apa pun, selalu membawa perubahan.
Namun, nilai dan makna tetap bergantung pada bagaimana manusia menggunakannya.
-000-
Kesimpulan: Agama dan AI, Sebuah Lanskap yang Terus Berkembang
Tylor, Marx, Durkheim, dan Weber telah membangun fondasi dalam sosiologi agama, menjelaskan bagaimana agama berkembang dalam berbagai konteks sosial dan ekonomi.
Kini, Denny JA melengkapi pemahaman itu dengan menghadirkan perspektif tentang bagaimana agama berkembang di era AI. Bukan sebagai pengganti teori klasik, tetapi sebagai pelengkap yang relevan dengan zaman ini.
Perjalanan agama tidak berakhir dengan era digital, tetapi justru menemukan jalur baru. AI membuka ruang eksplorasi, tetapi pemaknaan tetap ada pada manusia yang menggunakannya.
Secara faktual, kehadiran AI mengubah posisi otoritas tokoh agama dalam kehidupan masyarakat, meskipun dalam aspek tertentu, peran tokoh agama masih diperhitungkan.
AI memungkinkan setiap orang untuk mempelajari agama dengan pendekatan yang lebih personal, tanpa paksaan dari komunitas atau pemuka agama.
Pertanyaan-pertanyaan tabu dalam agama kini bisa dijawab dengan lebih objektif, tanpa filter dogmatis. Namun di sisi lain, ritual dan pengalaman beragama yang lebih personal dalam menjalankan agama tetap tak tergantikan oleh AI.
Di masa depan, agama dan teknologi akan terus berdampingan, beradaptasi dengan perubahan, tetapi tetap menjadi bagian dari pencarian manusia terhadap makna dan kebijaksanaan.
“Teknologi membuka jalan baru, tetapi makna tetap ditentukan oleh bagaimana manusia menapakinya.”***
Ditulis ulang oleh POINT Consultant