Yang Menggigil di Arus Sejarah (7)
KETIKA REVOLUSI MEMAKAN ANAK-ANAKNYA SENDIRI
Oleh Denny JA
Yang Menggigil di Arus Sejarah (7)
KETIKA REVOLUSI MEMAKAN ANAK-ANAKNYA SENDIRI
Oleh Denny JA
(Tahun 1793, Revolusi meledak di Prancis mengumandangkan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Yang terjadi kemudian, justru teror demi teror yang jauh lebih kejam.) (1)
-000-
Aku mengenalnya ketika ia masih muda,
seorang pemuda yang tangannya gemetar,
saat pertama kali membaca Deklarasi Hak Asasi Manusia.
Matanya menyala, penuh api kebebasan.
“Kita akan membangun dunia baru,” katanya.
“Tak ada lagi raja, tak ada lagi rantai.”
Namanya Jean-Baptiste Vauquelin,
anak seorang tukang sepatu dari Nantes.
Ia bermimpi membakar istana dan membangun negeri dari abu.
Kami berbaris di jalan-jalan Paris,
dengan suara yang mengguncang langit:
“Vive la République!”
Kami adalah bayang-bayang yang bangkit,
melawan raja, melawan takdir.
Lalu Bastille jatuh.
Lalu takhta roboh.
Lalu kepala Louis XVI bergulir di tanah.
Kami bersorak.
Kami menang.
Atau begitu kami pikir.
-000-
Dunia baru yang kami impikan,
ternyata bukan ladang gandum dan anggur merah.
Ia adalah lautan darah,
tanpa pantai untuk berlabuh.
Jean-Baptiste yang dulu lembut,
kini duduk di kursi Komite Keamanan Publik.
Tangannya, yang dulu gemetar saat menulis puisi,
kini menandatangani ratusan surat kematian setiap hari.
“Revolusi harus bertahan,” katanya padaku.
“Demi kebebasan, kita harus mengorbankan segala.”
“Jika seratus kepala harus jatuh agar satu juta bisa bebas, biarlah!”
Aku melihatnya di Place de la Révolution,
di bawah bayangan guillotine yang haus darah.
Hari ini seorang bocah petani dieksekusi,
karena terlihat menangis saat mendengar doa untuk raja.
Ibunya sudah mati kemarin,
ayahnya dieksekusi seminggu lalu.
Aku mencengkeram lengan Jean-Baptiste.
“Kau tahu ini salah!”
“Anak itu tak berdosa!”
Ia menatapku dengan mata yang dulu bersinar cahaya,
kini hanya pecahan kaca yang tak memantulkan langit.
“Tak ada pengkhianatan kecil dalam revolusi.”
“Hari ini ia menangis untuk raja. Besok ia bisa mengangkat pedang.”
Lalu bilah jatuh.
Dan kepala kecil itu terjatuh di tanah,
mata masih terbuka,
seolah bertanya, “Apa salahku?”
-000-
Aku mulai takut padanya.
Pada Jean-Baptiste yang dulu aku cintai sebagai saudara.
Pada kata-kata yang dulu aku anggap suci.
Pada kebebasan yang kini beraroma darah.
Ia membakar Vendée,
menebas siapa pun yang berdoa dalam sunyi.
Biara menjadi abu.
Lonceng gereja berhenti berbunyi.
Hanya suara guillotine yang bergema di udara.
Tiga puluh ribu mati di tangan pasukan revolusi,
wanita dan anak-anak tenggelam di Loire,
dengan batu diikat di leher mereka.
“Demi Republik,” kata Jean-Baptiste.
Aku bertanya padanya,
“Apakah ini revolusi yang kita impikan?”
Ia hanya menatapku,
“Revolusi tidak menunggu air mata.”
-000-
Lalu giliran Jean-Baptiste tiba.
Pada bulan Juli 1794, roda sejarah berputar lagi.
Robespierre jatuh,
dan dengan dia, seluruh tangan kanannya.
Aku melihatnya di dalam penjara,
kini hanya bayangan seorang pria yang dulu percaya pada kebebasan.
Tangannya yang dulu menandatangani surat kematian,
kini terikat di belakang punggungnya.
“Mereka akan membunuhku besok,” katanya dengan suara pelan.
“Begini akhirnya.”
Ia tertawa, pahit, getir, kosong.
“Kita pikir kita menghabisi musuh-musuh revolusi.”
“Ternyata revolusi hanya memakan anak-anaknya sendiri.”
Aku ingin menangis.
Aku ingin berteriak bahwa aku masih mencintainya.
Meski aku membencinya,
aku tak ingin ia mati.
Tapi apa gunanya?
Guillotine tidak mendengar doa.
Revolusi tidak mengenal kasih.
Besok kepalanya akan jatuh,
dan aku menjadi satu-satunya yang masih mengingatnya.
-000-
Di Place de la Révolution,
di tengah sorakan ribuan orang,
bilah besi jatuh.
Darah bercipratan di batu-batu Paris.
Aku ingin menutup mata,
tapi aku tetap melihat.
Karena seseorang harus menjadi saksi.
Kepala Jean-Baptiste,
yang dulu penuh mimpi tentang dunia yang adil,
kini tergeletak di tanah.
Dan aku mendengar suaranya,
berbisik di dalam kepalaku:
“Revolusi tidak pernah menang.”
“Ia hanya berputar, dan memakan anak-anaknya sendiri.”
-000-
Aku meninggalkan Prancis di musim gugur itu,
bersama ribuan yang selamat dari teror.
Langit Paris tetap merah,
tetapi kali ini bukan karena matahari senja,
melainkan karena darah yang tak pernah kering.
Di kejauhan, suara guillotine masih terdengar,
seperti detak jantung yang tak mau berhenti.
Revolusi berakhir.
Tapi darah yang tertumpah, tak pernah benar-benar mengering.
Langit Paris akan tetap merah, selamanya.***
Jakarta, 15 Febuari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi revolusi perancis yang berakhir dengan teror pembunuhan.
Cairn.infohttps://shs.cairn.infoThe meaning of the Terror in the French Revolution
Dirilis ulang oleh POINT Consultant