Kisah Pasukan PETA Dipimpin Oleh Shodanco Supriyadi di Blitar
Pada zaman kependudukan Jepang, ada organisasi tentara sukarela bentukan Jepang, teman-teman.
Organisasi ini bernama PETA, singkatan dari Pembela Tanah Air.
Pemerintah kolonial Jepang saat itu mencoba meyakinkan pemuda Indonesia untuk mempersiapkan diri melindungi negara dalam perang Pasifik.
Namun sebenarnya pemerintah Jepang melatih pemuda Indonesia menjadi tentara untuk membantu Jepang melawan negara-negara sekutu.
Di sisi lain, pemuda Indonesia anggota PETA yang terpelajar mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Caranya dengan melakukan pemberontakan melawan penjajahan Jepang.
Pemberontakan Pasukan. PETA Dipimpin oleh Supriyadi.
Salah satu pemberontakan pasukan PETA adalah pemberontakan di Blitar. Saat itu pasukan PETA dipimpin oleh Shodanco Supriyadi.
Shodanco adalah tingkatan prajurit pemimpin peleton dalam pasukan PETA, teman-teman.
Pemberontakan ini terjadi sekitar enam bulan sebelum Indonesia merdeka. Yaitu pada tanggal 14 Februari 1945.
Pada tanggal tersebut, Supriyadi mengerahkan tentara PETA untuk melakukan pemberontakan pada pemerintah Jepang.
Shodanco Supriyadi dan teman-temannya merasa prihatin melihat keadaan rakyat Indonesia pada waktu itu.
Saat itu masyarakat kekurangan makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Ditambah lagi, pemerintah Jepang saat itu memberlakukan romusha atau kerja paksa.
Karenanya, Supriyadi merencanakan pemberontakan supaya rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan Jepang.
Merencanakan Pemberontakan Melawan Penjajah Jepang
Perencanaan pemberontakan ini bermula di tahun 1944.
Suatu siang, Shodanco Supriyadi mengadakan pertemuan rahasia. Pertemuan ini dihadiri oleh Shodanco Muradi, Budanco Sumanto dan Budanco Halir Mangkudijaya.
Budanco adalah pemimpin regu dalam pasukan PETA.
Mereka bersepakat untuk mempersiapkan pemberontakan, teman-teman.
Setelahnya, mereka menghubungi para pemimpin dan pasukan PETA di tempat lainnya.
Tokoh masyarakat juga dihubungi untuk diminta bantuannya mempersiapkan pemberontakan.
Akhirnya di bulan Juni tahun 1944, dilakukan pertemuan rahasia yang kedua.
Saat itu Shodanco mengatakan kalau para pemuda tidak bisa membiarkan tentara Jepang terus menerus menindas rakyat Indonesia. Perlawanan ini adalah pengorbanan demi kemerdekaan bangsa.
Shodanco Supriyadi mengatakannya karena risiko dan ancaman dari pemberontakan itu adalah ditahan oleh tentara Jepang, atau bahkan dihukum mati.
Pertemuan rahasia ketiga diadakan pada bulan Agustus tahun 1944. Semakin banyak orang yang hadir dan rencana pemberontakan semakin matang.
Berikut video pendek gambaran perjuangan Sodanco Supriyadi di Blitar bersama pasukan PETA :
Rencana yang Berubah.
Saat itu, rencana pemberontakan sudah matang dan semua orang sudah mendapatkan tugas masing-masing.
Rencananya, pemberontakan akan diadakan di Tuban. Karena saat itu seluruh daidan atau batalion pasukan PETA wilayah Jawa Timur akan mengikuti pelatihan bersama di sana.
Pada tanggal 2 Februaru 1945, sebagian daidan Blitar sudah berangkat menuju Tuban dan Bojonegoro. Ini termasuk para peserta pertemuan rahasia.
Pasukan lainnya diberangkatkan pada tanggal 5 Februari 1945. Namun tiba-tiba saat sampai di Kertosono, rombongan diperintahkan kembali ke Blitar.
Alasannya adalah daidanco atau komandan tertinggi di Bojonegoro meninggal dunia.
Tiba-tiba pemerintah Jepang juga memperketat peraturan. Prajurit tidak boleh bergerombol lebih dari lima orang dan tidak boleh melancong.
Karena pihak Jepang dirasa sudah merasakan akan ada pemberontakan, Shodanco Supriyadi kembali mengadakan pertemuan rahasia.
Pada tanggal 13 Februari 1945 malam mereka bersiap untuk melakukan pemberontakan.
Pukul 3 pagi tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA Blitar bersiap. Shodanco Supriyadi kemudian memberi komando dengan meneriakkan "Hajime!", yang dalam bahasa Jepang artinya, "mulai".
Pemerintah Jepang menghadapi pemberontakan ini dengan cara menghasut para prajurit dengan janji yang tidak ditepati. Kemudian para prajurit ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh tentara Jepang.
Para pejuang yang ditangkap dan diasingkan kemudian dibebaskan saat Indonesia merdeka di bulan Agustus 1945.
Sementara pemimpin pasukan PETA, shodanco Supriyadi hilang dan tidak diketahui nasibnya.
Ada yang mengatakan beliau gugur saat perlawanan, ada yang mengatakan beliau ditangkap dan dijatuhi hukuan mati, dan ada yang mengatakan beliau berhasil meloloskan diri dan menuju wilayah barat pulau Jawa.
Beliau juga pernah diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun beliau tidak pernah muncul.
Shodanco Supriyadi pun diberi gelar Pahlawan Nasional pada bulan Agustus tahun 1975.
Soepriyadi Dan Pemberontakan PETA Blitar (14 Pebruari 1945).
Shodancho Soeprijadi (FX Soeprijadi, lahir 12 April 1923) merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Penderitaan akibat kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial terhadap tentara PETA (yang adalah bentukan Jepang) dan masyarakat umum. Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang. Pemberontakan itu dilakukan pada Rabu Pahing 14 Feb 1945 sekitar pkl 3 pagi dan berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan pasukan PETA pimpinan Soeprijadi berhasil melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang, seperti senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99. Namun, komando Tentara Jepang berhasil mencegah pemberontakan itu menyebar ke ''daidan'' lainnya. Kemudian Jepang mengirim tentara PETA yang masih setia pada Jepang untuk memburu Soeprijadi dan pengikutnya. Tentara PETA yang tertangkap kemudian diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia. Sebanyak 68 orang anggota PETA yang memberontak berhasil ditangkap - 8 orang dihukum mati, 2 orang dibebaskan - sementara Soeprijadi sendiri tidak ditemukan sampai hari ini. Banyak spekulasi beredar tentang keberadaan Soeprijadi. Ada yg percaya bhw Soeprijadi moksa setelah melarikan diri ke Trenggalek, kota kelahirannya yang letaknya cukup dekat dengan Blitar dan kondisi geografisnya yang memungkinkan Soeprijadi untuk mengasingkan diri dan bersembunyi. Namun dongeng moksanya Soeprijadi kemungkinan dibuat Jepang untuk meredam kemarahan rakyat. Ada yang mengatakan ia ditangkap dan dibunuh secara keji, atau sebenarnya Soeprijadi telah tewas dalam pemberontakan itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti.
Mengulas Kembali Peristiwa 14 Februari 1945 di Blitar Merupakan Wujud Cinta Tanah Air Supriyadi Terhadap Indonesia
Selayaknya sejarah perjuangan Supriyadi dan pendukungnya menjadi hal yang layak diperingati setiap tahunnya sebagai wujud penghargaan atas dedikasi sang pahlawan untuk negeri.
Udara sejuk menjadi hal yang begitu mudah dinikmati di Kota Blitar yang minim polusi. Masih banyak pepohonan dan ruang terbuka hijau yang menambah asri pemandangan kota. Tak akan ada kendaraan berjejal di jalanan pada jam-jam sibuk karena kota ini memang tak pernah mengenal kemacetan, kecuali jika ada kegiatan tertentu yang memanfaatkan jalan raya sebagai tempat penyelenggaraan acara. Pun jika malam hari, tak sama seperti kota-kota besar yang tak pernah tidur, sebagian besar wilayah Kota Blitar akan terasa sunyi sepi menjelang tengah malam.
Berada di sisi selatan Provinsi Jawa Timur, Kota Blitar memiliki daya magnet tersendiri untuk menarik minat para pelancong dari luar daerah. Keberadaan Makam Bung Karno menjadi ikon kebanggaan yang membawa berkah tersendiri bagi Kota Blitar terutama dalam hal perekonomian. Geliat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar Kawasan Makam Bung Karno begitu terasa karena adanya sosok besar Sang Proklamator yang bersemayam di kota terkecil nomor dua di Jawa Timur ini.
Kota Blitar memang kecil, tapi menyimpan sejarah besar bagi bangsa Indonesia. Tak hanya tentang Bung Karno yang menoreh catatan sejarah penting di Kota yang berjuluk Blitar kota Patria ini. Patria, sebutan yang identik dengan patriot. Yaa, Kota Blitar memang memiliki patriot-patriot besar yang tercatat dalam sejarah panjang masa perjuangan kemerdekaan. Selain Bung Karno, tersebutlah pula nama besar Shodanco Supriyadi, sang heroik yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat peristiwa pemberontakan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Supriyadi menjadi sosok pahlawan kemerdekaan yang memiliki posisi tersendiri di hati setiap masyarakat Blitar yang paham akan sejarahnya di masa silam. Hingga namanya diabadikan menjadi salah satu nama ruas jalan utama di pusat Kota Blitar.
Di salah satu sisi jalan Shodanco Supriyadi, berdiri kokoh gedung-gedung bekas barak batalion pemberontakan PETA yang dialih fungsikan menjadi bangunan sekolah selama bertahun-tahun pasca kemerdekaan dan beberapa tahun belakangan ini sedang dalam proses pengembangan menjadi Museum PETA. Gedung-gedung dengan arsitektur khas jaman Belanda ini masih berdiri tegak dengan ciri khas pintu dan jendelanya yang menjulang tinggi. Di depan komplek bangunan juga dilengkapi dengan Monumen PETA yang dibangun sebagai simbol perjuangan Indonesia dalam melawan penjajah.
Monument PETA gagah menjulang menampakkan tujuh sosok pejuang gerakan PETA di Blitar yang diabadikan dalam bentuk patung. Di bawah monumen tertulis jelas tentang secuil kronologi yang terjadi pada dini hari tanggal 14 Februari 1945. Menggambarkan peristiwa heroik yang dikomandoi oleh Supriyadi.
“DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL 14 FEBRUARI 1945 TEPAT PADA JAM 02.30 DINI HARI BERDENTUMLAH SUARA MORTIR YANG PERTAMA SEBAGAI TANDA DICETUSKANNYA PEMBERONTAKAN TENTARA PETA BLITAR YANG DIPIMPIN SODANCHO SUPRIYADI MELAWAN PENJAJAH JEPANG. BERSAMA DENGAN GERAKAN PASUKAN TERSEBUT DIKIBARKANLAH BENDERA PUSAKA MERAH PUTIH DI TIANG BENDERA LAPANGAN APEL TENTARA PETA YANG TERLETAK DI SEBERANG MARKAS DAIDAN”
Pukul 02.30 Blitar masih tidur. Tapi Supriyadi bersama pasukannya telah menggempur markas Jepang di Blitar dari segala arah. Serangan pada pagi hari itu dipimpin oleh Supriyadi sebagai bentuk rasa prihatinnya yang memuncak pada rakyat Indonesia yang sangat menderita akibat eksploitasi tak manusiawi yang dilakukan oleh penjajah Jepang. Banyaknya rakyat Indonesia yang meninggal akibat romusha, hasil bumi rakyat yang dirampas semena-mena, pajak yang mencekik serta kaum perempuan yang dipaksa menjadi pekerja seks telah membuat Supriyadi berani memberontak meski Ia adalah tentara PETA yang notabene merupakan bentukan Jepang.
Aksi perlawanan tentara PETA di Blitar pada 14 Februari 1945 telah menjadi sejarah pemberontakan PETA yang terbesar dibandingkan di daerah yang lain. Supriyadi bersama pasukannya berhasil menumpas sejumlah tentara Jepang dan membawa banyak logistik, tak terkecuali persenjataan. Namun, gerakan ini dapat diantisipasi Jepang dengan cepat hingga Supriyadi tak mampu menggerakan kesatuan lainnya. Supriyadi dan pasukannya menyingkir, tetapi Jepang mengambil tindakan cepat dengan menangkap pendukung Supriyadi untuk diadili di pengadilan militer Jepang. Ada yang dipenjara beberapa tahun, hukuman seumur hidup bahkan 6 orang mendapat hukuman mati. Mereka yang mendapat hukuman mati inilah yang terabadikan dalam patung-patung Monumen PETA di Blitar. Ada Chudancho dr. Soeryo Ismail, Shodancho Soeparjono, Budancho Soedarmo, Shodancho Moeradi, Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan Budancho Soenanto.
Lalu bagaimana dengan Supriyadi ?
Nasib Supriyadi sendiri masih menjadi misteri hingga kini. Ia tak ikut diadili bersama pasukannya. Informasi tentangnya masih simpang siur. Entah ikut tertangkap Jepang lalu dibunuh tanpa ada yang mengetahui, atau melarikan diri dan bersembunyi. Bahkan selama bertahun-tahun ada saja oknum-oknum yang menyaru dan mengklaim dirinya sebagai Supriyadi. Hal ini tentu terbantahkan oleh pihak keluarga yang mengenal betul sosok Supriyadi yang asli.
Menengok Monumen PETA yang sengaja dibangun Pemerintah Kota Blitar untuk mengenang jasa besar Supriyadi akan menggali rasa nasionalis yang juga menumbuhkan rasa ingin tahu tentang peristiwa yang belum diketahui banyak masyarakat Indonesia pada umumnya. Pemberontakan PETA di Blitar menjadi salah satu kepingan perjuangan melawan penjajahan yang membawa efek berantai pada gerakan pemberontakan PETA di daerah lain.
Tak hanya Monumen PETA yang menyimpan memoir perjuangan Supriyadi. Tepat di seberang jalan dari keberadaan Monumen PETA, berdiri tegak sebuah monumen yang bentuknya runcing ke atas, mirip potlot (Bahasa Jawa dari pensil) sehingga monumen ini di beri nama Monumen Potlot. Pembangunan monumen yang ada di bagian belakang komplek Taman Makam Pahlawan (TMP) Raden Wijaya tersebut berkaitan dengan rangkaian peristiwa 14 Februari 1945. Menjelang subuh Sang Saka Merah Putih berhasil pula dikibarkan oleh Shodancho Parto Hardjono di tiang bendera lapangan apel tentara PETA. Inilah momen pertama kalinya bendera Merah Putih pernah dikibarkan di nusantara beberapa bulan sebelum kemerdekaan. Satu jejak sejarah yang jarang diketahui banyak orang.
Di kalangan masyarakat umum, peristiwa 14 Februari 1945 kalah pamor dengan Hari Valentine atau hari kasih sayang yang selalu diperingati setiap 14 Februari oleh sebagian besar masyarakat. Selayaknya sejarah perjuangan Supriyadi dan pendukungnya menjadi hal yang layak diperingati setiap tahunnya sebagai wujud penghargaan atas dedikasi sang pahlawan untuk negeri. Supriyadi mengajarkan langsung cara mencintai bangsa, membuktikan kasih sayangnya untuk negeri tercinta.
Kisah Shodanco Supriyadi di Tepi Laut Selatan
Pada 14 Februari 1945, beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Blitar terjadi peristiwa penting dalam perjalanan sejarah kemiliteran nasional. Di hari itu, meletus perlawanan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) Blitar di bawah pimpinan Shodanco Muradi dan Shodanco Supriyadi.
Kedua Perwira jebolan Pendidikan Komandan Peleton PETA di Bogor itu merupakan inisiator sekaligus penggalang pasukan PETA dan rakyat Blitar untuk melawan Jepang. Penyebabnya, karena sudah tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman tentara Jepang.
Dalam tempo kurang dari 3 hari, tentara Jepang berhasil melumpuhkan pasukan yang baru mengenyam pendidikan militer itu. Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta.
Enam orang salah satunya Shodanco Muradi divonis hukuman mati di Ancol pada 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.
Namun sosok Shodanco Supriyadi hilang secara misterius pasca peristiwa tersebut. Silang pendapat di antara beberapa sumber soal nasib Supriyadi menjadi daya tarik tersendiri. Terutama saat kemunculan Andaryoko, sosok yang mengaku sebagai Supriyadi pada tahun 2008 silam.
Beberapa sumber menyebutkan, Supriyadi merupakan pemuda yang sering melakukan laku prihatin dan banyak tirakat dalam hidupnya. Sehingga menurut kepercayaan Jawa, Supriyadi adalah orang sakti yang moksa (menghilang) saat menemui ajalnya.
Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku ‘Api Sejarah, sebelum melakukan perlawanan, Supriyadi memohon restu pada Kiai Ngabdullah Chatib dan Kiai Mohammad Cholil (dua ulama ternama di Blitar). Dari dua kiai inilah dibacakan doa untuk keselamatan dirinya menjelang perlawanan terhadap Jepang.
Bung Karno berdasarkan buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’, yang ditulis Cindy Adams juga menjelaskan bahwa Supriyadi sudah merencanakan perlawanan sejak tahun 1944, di kala Bung Karno sekeluarga mudik ke Blitar. Namun Bung Karno hanya diam, tidak menyetujui juga tidak melarang.
Harjosemiarso, Kepala Desa Sumberagung pada zaman penjajahan Jepang, beberapa saat setelah pecahnya pemberontakan PETA Blitar mengaku pernah menyembunyikan Supriyadi di rumahnya selama beberapa hari.
Dari dia pula diperoleh informasi bahwa Supriyadi kerap mengunjungi Pantai Selatan di sekitar Blitar. Lagi-lagi, berdasarkan kepercayaan orang Jawa, Pantai Selatan merupakan tempat ngelmu, mencari kesaktian dan ilmu kanuragan yang ampuh.
Karena di pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia ini dipercaya bersemayam Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Konon, siapa saja yang sering menjalankan tapa brata di pantai ini, dipercaya akan selamat dalam setiap gejolak.
Pasca menghilang, Bung Karno dianggap tahu keberadaan Supriyadi. Sehingga ketika Republik Indonesia berdiri, Supriyadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat oleh Sang Proklamator. Namun karena tak kunjung muncul, akhirnya jabatan itu dipegang oleh Imam Muhammad Sulyoadikusumo.
Perwira Intelijen.
Terlepas dari aura mistis dibalik kisah menghilangnya Supriyadi, beberapa kawan-kawannya di PETA mengakui bahwa Supriyadi adalah salah satu lulusan terbaik. Sebelum mengikuti Pendidikan PETA di Bogor, ia bersama Dzulkifli Loebis, Daan Mogot, dan Kemal Idris adalah lulusan Seinen Dojo, barisan pemuda Indonesia yang dididik ilmu intelijen oleh Nakajima.
Konon, ketika dinyatakan hilang, Supriyadi termasuk orang yang mendirikan Badan Istimewa (sekarang BIN) bersama Dzulkifli Loebis. Badan inilah yang bekerja secara rahasia dalam menyerap informasi Sekutu dan Belanda pasca Indonesia merdeka.
Herman Sarens Soediro dalam wawancaranya di sebuah televisi swasta pada tahun 2008 pernah menyebutkan, Supriyadi yang kerap menyepi ke Pantai Selatan bukan karena ingin bertapa. Tetapi di Pantai Selatan Jawa Timur itulah tempat intelijen Sekutu menyusup dari Australia untuk menghancurkan Jepang.
Supriyadi yang memiliki kemampuan intelijen mampu membaca situasi itu. Sehingga ia berkeyakinan hanya Sekutu yang bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman Jepang. Namun Herman Sarens Soediro meyakini bila Supriyadi sudah mati oleh Kanpetai (Polisi Rahasia Jepang) pasca peristiwa Blitar.
Bahkan beberapa teman PETA lainnya menyebut Supriyadi sebagai pengecut yang lari dari pasukannya saat dihukum mati oleh Jepang.
Apa pun asumsi soal misteri Supriyadi, pemerintah telah menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional pada 9 Agustus 1975 berdasarkan Keputusan Presiden No. 063/TK/1975. Kisah perjuangan Supriyadi bersama PETA Blitar tetap terkenang sepanjang masa.
Peristiwa itu turut memicu berdirinya Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai tindak lanjut janji kemerdekaan Kaisar Jepang.
Sumber Referensi :
- Wikipedia & kisah dr pak Soendoro
- Anhar,R. 2021. Pahlawan Nasional Supriyadi. Balai Pustaka
- Pemberontakan PETA di Blitar (1942-1945). Diakses dari https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3700/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
Ditulis oleh POINT Consultant