MULAT SARIRA ANGRASA WANI
Seorang pemimpin dalam kepemimpinan berdasarkan sila-sila Pancasila berani memahami dan melaksanakan Kepanjangan dari kalimat ini adalah Mulat sarira angrasa wani, rumangsa melu andarbeni, wajib melu angrungkebi = berani mawas diri, merasa ikut memiliki, wajib ikut menjaga. Saat menjadi pemimpin selalu melihat diri, apakah kekuranganku, sehingga kalau diberi kritikan atau masukan tidak cepat marah dan selalu menerima dengan legowo. Bukan malah bela diri, membela dirinya tetapi mesti semeleh adakah yang kurang bagiku, sehingga masih ada yang demikian mempersaalahkan.
Mulat Sarira Hangrasa Wani. Mulat berarti melihat diri sendiri. Sarira berarti badan, tubuh. Hangrasa berarti merasa sedang. Wani artinya adalah berani. Untuk memahami arti kata-kata tersebut, harus dibaca dari belakang, yaitu : berani merasa, melihat diri sendiri. Makna yang terkandung didalam kata-kata tersebut adalah seorang pemimpin harus bersedia secara terbuka untuk melihat kesalahan yang terjadi dalam dirinya. Suatu sikap keberanian untuk mawas diri. Suatu prinsip umum yang menganjurkan kepada setiap orang, terutama seorang pemimpin untuk mau merenungkan, melakukan refleksi, apakah mereka sudah bebar-benar telah melakukan tugasnya sebacara baik atau belum. Sebagai pemimpin, apakah mereka telah berbuat banyak bagi kepentingan rakyat atau belum. Rumangsa Handarbeni. Kata Rumangsa berarti merasakan, menyadari. Handarbeni artinya memiliki. Secara harafiah berarti, ikut merasakan sebagai miliknya atau empunya. Kata-kata tersebut bermakna terhadap tugas, tanggung jawab seorang pemimpin yang harus menyadari bahwa tugas-tugas tersebut harus dirasakan, disadari sebagai miliknya. Apabila sesuatu atau tugas tersebut diterima dan dianggap sebagai miliknya, diharapkan dapat mendorong melaksanakan tugas tersebut secara tanggung jawab dan tidak setengah hati. Melu Hangrungkebi. Melu berarti ikut, sedang Hangrungkebi berarti melindungi, siap berkorban untuk membela. Secara harafiah berarti, siap berkorban untuk membela, melindungi atau mengamankan. Secara simbolis menggambarkan, menjadi seorang pemimpin harus selalu siap untuk berkorban dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dengan segala tantangan atau resikonya. Ketiga komitmen tersebut sering digambarkan dalam sebuah hubungan pemimpin dengan bawahannya.
Bahwa bawahan bukan lagi seorang hamba melainkan adalah sahabat. Seorang hamba hanya melakukan tugas-tugasnya apabila disuruh oleh tuannya. Apabila tuannya tidak ada ditempat kemungkinan ia akan tidak melakukan sesuatu itu, tetapi seorang sahabat ia tahu kapan dan harus bagaimana ia melaksanakan tugas-tugasnya sebab itu miliknya, sebab itu adalah tanggungjawabnya sendiri. Merupakan salah satu faham kepemimpinan yang berpandangan bahwa hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin dilukiskan sebagai hubungan antara orang tua dengan anak. Faham ini didasarkan pada satu konsep pemikiran dasar agar dalam kehidupan satu organisasi bawahan selalu menunjukkan sikap loyal, hormat dan setia kepada pemimpin. Sebaliknya seorang pemimpin tampil menjadi panutan didalam pola pikir, sikap dan perilakunya selalu memberikan bimbingan, petunjuk dan tidak semena-mena kepada bawahan. Analog seperti suasana interaksi antara orang tua dan anaknya dalam satu keluarga rumah tangga. Seorang ayah yang baik ia tidak bertindak seperti Bos, tetapi terkadang sebagai teman atau sahabat bagi anak-anaknya, bertindak sebagai guru bimbingan konseling, sebagai seorang pelayan atau sebagai seorang yang tegas dan bersikap.
Seorang pemimpin sangat memahami bahwa kepemimpinan itu suatu titipan dari Yang Maha Esa. Saatnya akan diambil dan harus diberikan kembali. Saat memimpin ia melaksanakan dengan kepemimpinan penuh kasih dan persaudaraan dengan hendak mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradap. Bukan dengan tangan besi, secara otoriter tetapi selalu mawas diri, berkaca diri sudahkah menjadi pelayan yang setia, bukan memecah belah tetapi mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Kepemimpinan yang tidak secara otoriter, bukan dengan tangan besi yang semua selalu didasarkan kepada pemimpinpinnya tetapi yang selalu mengajak bawahannya untuk memusyawarahkan hal hal tertentu, sehingga didapatkan keputusan yang bermanfaat bagi banyak orang dan setiap keputusan yang selalu bertumpu pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kepemimpinan berarti suatu kesempatan baginya untuk melayani, terutama bagi yang lemah, kecil, miskin, disabilitas atau yang berkebutuhan khusus. Dengan kepemimpinan ia lebih berkesempatan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi yang dipimpinnya, terutama dan bagi seluruh rakyat pada umumnya, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian kepemimpinan yang mulat sariro selalu Tidak ada korupsi, Kolusi, Manipulasi dalam seluruh pelayanannya karena untuk diabdikan kepada bumi pertiwi yang kita cintai.
MULAT SARIRA HANGRASA WANI (2)
Mulat Sarira Hangrasa Wani, merupakan pepatah Hindu Jawa yang dipopulerkan oleh Sultan Agung, raja Mataram. Merupakan bagian dari yang disebut tri brata atau sering juga disebut tri dharma yang terdiri dari :
1. Rumangsa melu handarbeni.
2. Wajib melu hangrungkebi dan.
3. Mulat sarira hangrasa wani.
Frasa mulat sarira hangrasa wani yang artinya disederhanakan menjadi berani mawas diri berkaitan dengan rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki) dan wajib melu hangrung-kebi (wajib turut serta membela kebenaran). Ketiga diktum tersebut menjadi satu kesatuan utuh dalam kendali mulat sarira angrasa wani (berani mawas diri) menurut ajaran agama Hindu.
Untuk apa manusia harus selalu mulat sarira angrasa wanil Pertanyaan ini berkaitan dengan jati diri manusia yang sesungguhnya menurut agama Hindu. Setiap makhluk, termasuk manusia menurut agama Hindu sesungguhnya berasal dari paramatman (Tuhan) yang maha besar. Bagian terkecil dari paramatman yang kemudian disebut atman, mewujud ke dalam setiap makhluk. Ibaratnya setetes embun yang berasal dari air laut yang maha luas, demikianlah atman meresap ke dalam setiap wujud makhluk hidup.
Pada diri manusia, atman diikat oleh panca mahabhuta sehingga berwujud sebagai manusia yang unsur-unsurnya terdiri dari atman itu sendiri bersama pertiwi (tanah : zat padat), apah (air: zat cair), teja (api : panas), bayu (udara : angin), dan akasa (ether : hampa). Atman yang sesungguhnya merupakan bagian terkecil dari paramatman memiliki sifat-sifat identik. Sifat-sifat itu disebut asta aiswaiya yang terdiri dari anima (kecil sekecil-kecilnya), laghima (ringan seringan-ringannya), mahima (besar sebesar-besarnya), prapti (berada di mana-mana), prakamya (segala keinginan terwujud), isitwa (mengungguli segalanya), wasitwa (maha kuasa), dan yatrakamawasitwa (adikodrati).
Persoalan atman yang mengalami punarbhawa (reinkarnasi : tumimbal lahir), ialah keterikatan pada bentuk-bentuk semu yang tercipta dari unsur panca mahabhuta.
Bentuk semu itu disebut dasendria yang terdiri dari panca budhindria (indria perasa) dan panca karmendria (indria penggerak).
Panca Budhindria terdiri dari caksundria (rangsangan penglihatan : indera pada mata), srotendria (rangsangan pendengaran : indera pada telinga), ghranendria (rangsangan penciuman : indera pada hidung), jihwendria (rangsangan pencecapan : indera pada lidah), dan twakindria (rangsangan peraba : indera pada kulit).
Panca Karmendria terdiri dari garbendria (penggerak pada mulut), panindria (penggerak pada tangan), padendria (penggerak pada kaki), payundria (penggerak pada organ pelepasan), dan upasthendria (penggerak pada alat kelamin).
Oleh panca mahabhuta, atman digoda untuk melupakan sifat asta aiswarya yang sesungguhnya melekat padanya melalui panca budhindria (indria perasa) dan panca karmendria (indria penggerak). Melupakan jati dirinya sebagai bagian terkecil dari paramatman dengan segala sifatnya. Kenikmatan semu yang diciptakan melalui dasendria itu mengakibatkan atman dalam keadaan lipya (lupa) akan jati dirinya.
Pertanyaannya :
1. Apakah manusia mampu menghindari godaan rangsangan penglihatan (caksundria), rangsangan pendengaran (srotendria), rangsangan penciuman (ghranendria), rangsangan pencecapan (jihwendria), dan rangsangan peraba (twakindria) ?
2. Apakah manusia mampu mengendalikan penggerak pada mulut (garbendria), penggerak tangan (panindria), penggerak kaki (padendria), penggerak organ pelepasan (payundria), dan penggerak alat kelamin (upasthendria) ?
3. Itulah tantangan (chalenge) setiap diri manusia yang ditengarai tidak akan mampu mengendalikan dan larut dalam rangsangan panca budhindria (indria perasa) dan panca karmendria (indria penggerak).
4. Itulah yang menjadi dasar apakah setiap individu berani menyelenggarakan mulat sarira (mawas diri) ?
5. Apakah mulat sarira angrasa wani (berani mawas diri) dan menyadari dan mengendalikan pengaruh dasendria ?
Dalam keadaan biasa, dasendria hampir tidak mungkin dihindari. Gagodan melihat sesuatu (baik dan buruk) seakan tidak mungkin dapat dihindarkan. Demikian pula godaan mendengarkan yang merdu dan yang memekakkan, mengendus yang harum dan pengit, mencecap yang manis dan pahit, serta meraba yang licin dan kasar, hampir tidak mungkin bisa dihindarkan. Apalagi mengunyah makanan satwika dan caron, memegang yang patut dipegang dan yang tak patut, berjalan ke arah yang baik dan buruk, menyudahi kehidupan dengan alasan dan tanpa alasan, bersenggama dengan tujuan membangun wangsa maupun masukan-sukan.
Itulah sebabnya mulat sarira angrasa wani (berani mawas diri) harus disertai rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki) dan wajib melu hangrungkebi (wajib turut serta membela kebenaran). Mawas diri harus disertai dengan rasa memiliki dan membela kebenaran mutlak. Subrata (teguh memegang kendali jati diri) harus disertai dengan sudira (membela sesama tanpa pamrih), dan akhirnya akan mencapai sudharma (berada dalam jalur dharma yang hakiki).
Diktum tri brata atau tri dharma itu (rumangsa melu handarbeni) merasa ikut memiliki; wajib melu hangrungkebi: wajib turut serta membela kebenaran; dan mulat sarira hangrasa want berani mawas diri. Merupakan sarana agar kembali kepada kesadaran atman yang berstana dalam diri pribadi merupakan ekses dari punarbhawa: reinkarnasi: tumimbal lahir. Pada saatnya atman harus meninggalkan aspek-aspek lahiriah (panca mahabhuta) yang menyebabkannya mewujud sebagai manusia. Kembali kepada jati dirinya yang merupakan setetes embun yang berasal dari samudra luas yang disebut paramatman.
Agar sampai kepada tujuan itu, maka diperlukan mulat sarira hangrasa wani (berani mawas diri). Bersamaan dengan itu, pengetahuan tentang atman seperti dijarkan oleh teks weda dan kitab-kitab upanishad diperlukan untuk dikuasai. Tidak hanya dikuasai, namun juga diamalkan melalui sadhana (latihan oleh rohani). Bila kesadaran terhadap jati diri melalui mulat sarira hangrasa wani terwujud, maka cinta kasih (ahimsa dan tatwamasi) sebagai mata air kesejahteraan dan kebahagiaan sejati.
Kesadaran kelahiran sebagai manusia menurut Kitab Ramayana, “Merupakan keberuntungan yang sangat besar mendapatkan wujud sebagai manusia. Semua kitab suci menegaskan bahwa wujud sebagai manusia sangat sukar didapatkan bahkan oleh para dewa sekalipun. Oleh karena itu, mulat sarira hangrasa wani (berani mawas diri) diperlukan karena: Wujud manusia merupakan sebuah batu pijakan menuju neraka, surga, atau moksa. Melalui tubuh ini (wujud sebagai manusia) seseorang bisa mendapatkan pengetahuan, ketidakterikatan, dan bhakti. Demikian nasihat Ramawijaya dalam kisah Ramayana.
Mulat sarira hangrasa wani (berani mawas diri) diperlukan karena menurut teks Siwaratri Kalpa, sesungguhnya pada saat berwujud sebagai manusia Sang Hyang tma kelangen, begitu terpesona dengan segala kenikmatan yang diperoleh oleh panca indria. Walaupun segala kenikmatan itu bersifat semu (maya) dan palsu. Sepanjang waktu berwujud sebagai manusia pikiran memberi ruang gerak yang leluasa kepada panca indria sehingga atman dalam keadaan dikendalikan. Lalu lipya (tidak sadar) dan akhirnya aturu bergelimang kenikmatan maya. Mata selalu ingin melihat wanita cantik dan pria tampan, hidung mengendus-endus bau harum, lidah selalu inin mencecap makanan yang nikmat, telinga mencari-cari suara merdu, dan kulit menikmati sentuhan-sentuhan kelembutan. Begitu dahsyatnya pengaruh kenikmatan duniawi ini, menyebabkan Sang Hyang tma kelangen dan terbelenggu dalam kesibukan untuk mengejar kenikmatan yang diciptakan oleh panca indria, lupa akan asal usul jati dirinya.
Sekali lagi menurut ajaran tri bratha atau tri dharma, mulat sarira hangrasa wani (berani mawas diri) yang dilandasi oleh rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki) dan wajib melu hangrungkebi (wajib turut serta membela kebenaran) diperlukan dalam rangka mencapai tujuan agama Hindu, yaitu mokhsartam jagaddhita ya ca iti dharma.
MULAT SARIRA ANGRASA WANI (3)
Mulat sarira hangrasa wani adalah ungkapan filosofi Jawa Kuno, yang secara harfiah berasal dari kata mulat berarti melihat, sarira berarti badan, hangrasa berarti merasa, dan wani berarti berani. Secara terminologi mulat sarira hangrasa wani mempunyai pengertian berani melihat kekurangan diri sendiri, yang dalam bahasa popular saat ini adalah introspeksi atau mawas diri.
Lebih mendalam dari makna introspeksi, ungkapan mulat sarira hangrasa wani itu mengandung unsur hangrasa (kesadaran) dan unsur wani (keberanian/kemauan), maknanya ada kesadaran dan kesungguhan hati untuk melihat kekurangan diri.
Kemauan untuk mencari dan menemukan kekurangan diri bukan hal mudah, karena umumnya manusia mempunyai sifat egois dan merasa dirinya selalu benar. Sekalipun ia tahu dirinya mempunyai kesalahan, namun biasanya ia selalu berusaha untuk mencari pembenaran. Karena umumnya orang malu hati kalau kesalahan atau kekurangannya, yang merupakan aib itu terungkap dihadapan orang lain.
Untuk bisa melakukan introspeksi diri, maka seseorang harus menempatkan diri pada posisi yang paling rendah. Dengan kerendahan hati, kita akan lebih mampu untuk menyadari kesalahan yang telah kita lakukan. Introspeksi diri yang dilakukan dengan kerendahan hati dapat memberikan hasil yang lebih mendalam.
Sebaliknya introspeksi diri tidak dapat dilakukan bilamana kita masih ada rasa sombong. Introspeksi tanpa menyingkirkan rasa sombong tidak akan mungkin bisa dilakukan. Orang yang sombong tidak mau melakukan introspeksi karena ia selalu merasa dirinya benar.
Dalam khasanah Islam, introspeksi disebut dengan “muhasabah” (bahasa Arab; hasiba-yahsabu-hisab) yang artinya melakukan perhitungan atau evaluasi. Secara istilah keagamaan, muhasabah berarti suatu upaya dalam melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan melihat kebaikan dan keburukan dalam segala aspek.
Dalam QS. Al Hasyr ayat 18 Allah Swt berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya (introspeksi) untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan".
Umar bin Khattab memberi nasehat kepada kita dengan pesannya "Hisablah (evaluasilah) dirimu sebelum engkau dihisab (dievaluasi) oleh yang lain, karena hisab terhadap dirimu nanti akan lebih mudah jika engkau lakukan hisab diri sekarang"
Cara bermuhasabah (introspeksi) :
Melakukan muhasabah secara efektif haruslah dilakukan dengan konsep “mulat sarira hangrasa wani”, yaitu melakukan introspeksi (mulat sarira) dengan penuh kesadaran (hangrasa) dan kesungguhan hati (wani).
Beberapa tips melakukan muhasabah adalah sebagai berikut :
1. Hindari mindset bahwa kita yang paling benar.
Sikap membuka diri akan melatih dan menjauhkan diri dari sifat egois. Kita harus berhenti egois dan membuka pikiran dengan mencoba melihat persoalan dari sisi orang lain. Bisa jadi ada hal yang luput dari pikiran kita. Introspeksi dilakukan melalui perenungan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, “Adakah cara yang lebih baik/bijak?”
2. Menerima masukan dari orang lain.
Kita harus membuka diri untuk menerima masukan dari orang lain. Bahkan akan lebih baik bila dilakukan dengan proaktif, yaitu meminta masukan dan kritik dari seorang sahabat tentang diri kita atau tentang hal apa yang telah kita perbuat. Tentu cara menyampaiannya harus dengan tulus dan rendah hati agar sahabat kita tidak segan memberikan masukan secara jujur, bukan untuk menyenangkan hati.
3. Berkhalwat.
Secara harfiah pengertian khalwat adalah sepi tau menyepi. Dalam khasanah Islam, pengertian berkhalwat adalah mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan cara bertafakur, berdzikir, kontemplasi, menenangkan pikiran, dan sebagainya.
Berkhalwat adalah cara paling efektif untuk bermuhasabah (introspeksi), dengan aktifitas utamanya adalah tafakur (kontemplasi) dan istighfar.
Tafakur atau kontemplasi merupakan suatu kegiatan berfikir atau perenungan yang melibatkan qalbu terhadap segala fenomena yang terjadi di alam semesta, baik yang menyangkut pada pengalaman pribadi maupun orang lain. Sedangkan istighfar adalah yaitu ungkapan permohonan ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Aktifitas dalam berkhalwat lebih pada pemaksimalan daya indera dan rasa, bukan pada pemikiran. Karena pemikiran manusia sudah dipenuhi dengan hal-hal yang begitu banyak, bervariasi, dan dipenuhi egoisme. Ketika berkhalwat kita berupaya meninggalkan segala nafsu keduniawian dengan lebih fokus pada cara untuk memperoleh ketentraman jiwa.
Kekuatan memaafkan
Semua orang pasti tidak luput dari kesalahan baik sengaja maupun tak sengaja. Meminta maaf atas kesalahan terhadap orang lain adalah sikap yang baik. Namun memaafkan dengan tulus ikhlas atas kesalahan orang lain terhadap kita adalah sikap yang sangat mulia. Meminta maaf tidaklah sulit, tetapi memaafkan tidaklah mudah bahkan sangat berat.
Perlu dipahami bahwa orang yang sulit memaafkan tidak akan memperoleh kemuliaan, justru malah ketidak tenangan karena diliputi rasa kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar dari rasa kesal dan sesal, dan yang terpenting menjadi unsur untuk meraih kedudukan taqwa.
Orang bijak menasehati, “Memaafkan (mungkin) tidak bisa memperbaiki masa lalu, tetapi pasti memperindah masa depan”. Dan salah satu cara untuk dapat melonjakkan kekuatan spiritual kita adalah dengan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepada kita.
Untuk dapat menjadi pemaaf maka perlu latihan, salah satu cara dengan meluangkan waktu untuk memikirkan orang-orang yang pernah kita benci atau pernah menyakiti. Kemudian ingatlah kata-kata mereka yang menyakitkan, dan kemudian tenangkan batin kita. Katakan dengan lembut dan tulus, “aku telah memaafkanmu!”.
Nabi Muhammad bersabda, “ Allah akan memuliakan dan meninggikan derajat orang yang mempunyai sifat Hilm (sabar di atas sabar), yaitu sabar kepada orang yang membencinya, memaafkan orang yang mendzaliminya, mengasihani kepada orang yang memusuhinya, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim dengannya” (HR Thabrani).