Sejarah Politik Dagang Sapi
Pengertian Politik dagang sapi dapat dimaknai sebagai berikut :
1. Secara sederhana politik dagang sapi lazim didefinisikan sebagai praktik politik transaksional jual beli kekuasaan sebagai imbalan dukungan yang diberikan parpol atau elite bagi capres tertentu dalam pemilu hingga pilkada. Biasanya, pola relasi yang dibangun berdasarkan kepentingan taktis pragmatis jangka pendek.
1. Politik dagang sapi adalah tawar-menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi (lembaga dsb.
2. Politik dagang sapi artinya politik yang (disusupi) jual-beli kepentingan. Jadi, cabinet dagang sapi ya artinya cabinet yang penuh kepentingan. Siapa yang berkepentingan.
3. Politik Dagang Sapi merupakan tawar-menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi (lembaga dan sebagainya).
4. Arti politik dagang sapi adalah tawar-menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi (lembaga dan sebagainya).
Sejarah Politik Dagang Sapi
Elite adalah mereka yang dalam masyarakat memiliki kekuasaan dan pengaruh. Mereka yang memiliki otoritas dan bisa mengontrol semua sumber daya di dalam masyarakat.
Mereka menentukan kebijakan dan bisa mengarahkan apa saja dalam lembaga-lembaga masyarakat, politik dan sistem ekonomi. Mereka ini sangat sedikit dalam kerucut sebuah masyarakat, tetapi menempati tempat teratas.
Elite politik kita, tipe the founding father bangsa ini, adalah orang-orang pilihan yang langka. Dari elite seperti inilah muncul pemikiran-pemikiran kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan. Hasilnya berupa negara merdeka yang kita kecap sekarang ini.
Tetapi ketika Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, dan pemerintahan sudah terbentuk, para elite ini mulai berbenturan ideologi dan kepentingan. Masing-masing sudah muncul sebagai wakil-wakil partai dan kelompok.
Para elite ini terpisah dalam ideologi kepartaian yang berdasarkan keagamaan (Masyumi, NU, PSII,dll), nasionalis (PNI,PIR,Parindra,) dan Marxisme/sosialime (PKI, PSI, Murba) dan lain-lain menjadi pecahan partai yang lebih kecil.
Jika sebelumnya elite ini hanya dapat dipisahkan sebagai republiken dan non republiken, saat itu mereka sudah berpencar dengan ideologi partai dan kepentingan mereka masing-masing. Partai-partai berlomba menanam pengaruh dalam masyarakat sampai kepelosok desa.
Partai merasuk dalam lembaga pemerintahan. Para pejabat tinggi, hakim, jaksa berlomba masuk ke partai-partai favorit mereka. Muncullah pertama kali kata klik dalam dunia kepegawaian dari tingkat atas sampai yang terendah.
Militer dan polisi resmi dikatakan steril dari partai, tetapi kenyataannya mereka diam-diam dalam kapasitas pribadi, bersimpati pada partai tertentu. Ini terbukti kemudian ketika pemberontakan PKI di Madiun meledak, sejumlah perwira tinggi militer ternyata pendukung PKI.
Tidak mengherankan jika masyarakat sudah menganggap partai seperti messianaris, pembawa rezeki, bantuan, dan berkah.
Partai dapat memobilisasi mereka secara vertikal dan horizontal dalam jabatan formal pemerintahan dan legislatif, dalam berbagai jabatan yang empuk, ke dunia usaha yang menjanjikan, bahkan perlindungan bagi tokoh oportunis.
Pokoknya segala usaha dengan memanfaatkan "klik" teman separtai mendatangkan berkah. Sejak Indonesia merdeka, sampai 1957 tercatat enam kali Kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, silih berganti.
Mulai Kabinet Natsir, Sukiman Wirjosandjojo, Wilopo, Ali Sastroamidjojo (1 dan II) serta Burhanuddin Harahap. Di sinilah pada mulanya kata koalisi kita kenal.
Para pimpinan partai yang mendapat mandat membentuk kabinet, harus mendekati pimpinan partai lain dan membentuk koalisi pemerintahan. Ini disebabkan, ke 27 partai yang diterima ketika itu, tidak ada yang diakui sebagai partai mayoritas.
Dalam perundingan-perundingan itulah kemudian terjadi tawar menawar. Sebagaimana lazimnya dalam politik, selalu ada take and give, sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang disebut ketika itu politik dagang sapi.
Jika salah satu partai diajak duduk dalam kabinet, maka partai itu harus memberikan balas budi kepada partai yang memberikan. Tidak ada platform dan cita-cita politik sosial yang sama antara partai yang diajak dalam kabinet, cita-cita kebangsaan terlupakan.
Mereka berkoalisi untuk menambah perbandingan suara belaka demi mengalahkan partai lain. Dengan sikap oportunis para elite partai itulah yang menyebabkan kabinet-kabinet yang dibentuk ketika itu sangat rapuh.
Dari 1950 sampai 1957, umur kabinet rata-rata di bawah satu tahun. Belum pernah ada program atau GBHN yang resmi diterima dalam sekian kabinet yang silih berganti.
Praktis bisa dikatakan, belum pernah pemerintah melaksanakan sebuah program pembangunan yang ideal bagi rakyat, kecuali menjalankan administrasi rutin pemerintahan dan memberi reaksi masalah yang tiba-tiba saja.
Kini, kita pun disibukkan dengan masalah yang sama. Partai politik dan capres telah menentukan strategi koalisi mereka masing-masing. Mereka memilih teman berkoalisi berdasarkan pertimbangan diraihnya sintemen-sintemen politik, etnik, keagamaan.
Tampaknya, tak penting ada program bersama antara dua partai dan koalisi. Melainkan bagaimana memenangkan suara terbanyak pemilih untuk mencapai singgasana kekuasaan.
Keanggotaan partai sekarang, belum mengenal kader kecuali mungkin yang menjadi pengurus dan orang dekat pimpinan partai.
Pengurus dan pendukung sebuah partai di daerah, juga kebanyakan hanya sebagai pemain latar yang terbentuk karena konflik elite partai di tingkat pusat, atau pendukung figur tertentu untuk kepentingan semusim pemilihan.
Akan menjadi apa kebijakan partai itu bagi konstituennya di masa datang, belum terpikirkan. Jangan berbicara dulu tentang ideologi partai yang bersinergi dengan aspirasi mayoritas pendukungnya. Itu belum terpikirkan.
Berbeda di AS, setahu saya Partai Demokrat, target ideologisnya jelas yaitu cenderung menjanjikan berperannya pemerintah nasional dalam perekonomian, anti-trust atau kebijakan antimonopoli, program partai menjanjikan untuk membela orang miskin dan minoritas, dukungan bagi kaum buruh.
Partai Republik antara lain, cenderung menjanjikan pengurangan peran pemerintah nasional di dalam perekonomian, pengurangan program sosial, peningkatan otonomi pemerintah negara bagian dan lokal, program yang cenderung berpihak kepada kepentingan pebisnis besar.
Jelas, partai punya pilihan kebijakan dan ideologi yang dikenal secara meluas oleh calon pemilih. Berdasarkan program tersebut, konstituen menetapkan pilihan, partai mana yang sesuai aspirasi politiknya.
Di Indonesia hal tersebut belum ada, partai mana yang dipilih, hanya untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek. Konstituen partai ditakdirkan tidak menjadi siapa-siapa dan secara ideologis mendukung apa ?
Kecuali menunggu kursi legislatif, bupati, gubernur, dan jabatan apa saja kelak sebagai imbalan. Selama perilaku elite partai menganggap power sharing hanya dalam arti fisik, anggota koalisi duduk membagi-bagi kekuasaan dalam arti apa adanya.
Selama itu, power sharing hanya seperti "dagang sapi", apa yang harus saya balas dari yang Anda berikan. Bukan berbagi kekuasaan dalam tradisi pemerintahan demokrasi.
Bukan power sharing yang sebenarnya, untuk sama-sama memperkuat sumber daya yang dimiliki dalam membuat program yang maslahat bagi rakyat. Jika ini terus yang terjadi, maka para elite di negeri ini kembali hanya akan membangun koalisi yang rapuh.
Sebentar partai berkoalisi ke sini sebentar ke sana, seperti pendulum, mana yang menguntungkan. Mereka tidak memikirkan dan bekerja untuk kepentingan masyarakat dan rakyat yang telah memberikan mandat.
Rakyat yang ramai-ramai tergiur ikut dalam bursa dagang sapi dan berhura-hura, tetap saja hanya sebagai pecundang. Akankah kita akan mengulang sejarah yang sama ?