Yang Menggigil di Arus Sejarah (8)
AKU, BASTILLE
Oleh Denny JA
Yang Menggigil di Arus Sejarah (8)
AKU, BASTILLE
Oleh Denny JA
(Tahun 1789, Revolusi Perancis berkobar, ikut mengubah wajah politik dunia. Itu dimulai di penjara Bastille) (1)
-000-
Aku Bastille.
Telah berabad-abad aku berdiri,
lebih tua dari jerit yang terpenjara,
lebih sunyi dari doa yang terputus di tenggorokan.
Dindingku bukan sekadar batu dan mortir,
tapi ingatan,
tentang mulut-mulut yang dikunci,
tangan-tangan yang dirantai,
dan mata yang tak lagi mengenal cahaya.
Di sel paling gelap,
seorang lelaki menulis puisi dengan ujung kukunya,
di dindingku,
yang tak pernah bisa membaca.
Di lorong-lorongku,
seorang wanita meratap kepada bayangan,
berharap nama kekasihnya masih diingat angin.
Para raja datang dan pergi,
tapi aku tetap ada.
Aku bukan benteng,
aku adalah kesunyian yang dipahat menjadi batu.
Namun aku mendengar sesuatu yang mengalir di jalan-jalan.
Sebuah kata yang bergetar di dada rakyat.
Liberté, égalité, fraternité.
Kebebasan, kesetaraan, persaudaraan.
Aku melihat roti yang tak terbagi,
tangan-tangan yang bekerja tanpa upah,
anak-anak yang mati dalam lapar.
Aku tahu mengapa mereka datang.
-000-
Lalu, suatu pagi yang berdebu,
aku mendengar sesuatu yang belum pernah kudengar.
Tidak lagi ratapan.
Tidak lagi desah kepasrahan.
Tapi derap langkah, seribu kaki mengguncang bumi.
Teriakan yang menghunus langit.
Kemarahan yang menyala lebih tajam dari baja.
Tanganku dari batu dan besi,
tapi aku gemetar oleh pukulan palu.
Gerbangku menganga,
luka pertama dalam hidupku.
Dari celah tubuhku yang terbelah,
aku melihat wajah-wajah yang dahulu takut.
Sekarang mereka bangkit,
dengan mata merah dan obor di tangan.
Bukan lagi rakyat,
mereka telah menjadi gelombang,
yang tak bisa dihentikan.
-000-
Sudah lama aku mendengar,
jeritan orang- orang lapar,
longlong derita menusuk langit.
Di Place de la Concorde,
angin membawa bau besi dan kematian.
Orang-orang berdiri, mata mereka kosong,
menunggu kepala jatuh seperti buah busuk.
Begitu banyak kepala sudah dipancung.
Darah meresap ke batu-batu jalan,
bercampur dengan hujan dan nyanyian massa.
Mereka bersorak, tapi di antara riuh,
ada yang berbisik, “Besok, giliran siapa?”
Di Rue Saint-Antoine, roti lebih mahal dari darah.
Seorang ibu menyerahkan cincin pernikahan,
tapi si pedagang hanya menggeleng,
“Satu keping emas, atau kau pulang dengan tangan kosong.”
Seorang pria mengulurkan tangannya yang berlumur luka,
“Aku punya darah, apakah itu cukup?”
Pedagang tertawa getir,
“Di hari-hari ini,
darah lebih murah dari gandum.”
Di tangga kayu yang menuju maut,
seorang lelaki menatap langit Paris untuk terakhir kali.
Istrinya merintih di bawah panggung,
tangannya terulur, tetapi tak bisa menyentuh takdir.
“Dia hanya berkata, ‘Raja harus adil.’
Mengapa itu layak ditebus dengan kepala?”
Anaknya menangis, suaranya tenggelam
oleh genderang yang mengiringi keheningan.
Mata pisau berkilat,
sekedip waktu, dan segalanya sunyi.
Istri itu pingsan di tanah yang basah,
sementara kepala suaminya ditunjukkan kepada massa.
Di antara sorak dan sorai,
hanya angin yang membawa bisikan,
“Kebebasan datang dengan harga,
tetapi apakah harga ini terlalu tinggi?”
-000-
Aku, penjara Bastille, lalu jatuh.
Aku, yang dulu kekal,
hancur menjadi puing-puing.
Mereka bersorak,
mereka menari di atas tubuhku yang remuk,
mereka mencium tanah,
seolah kebebasan akhirnya lahir dari rahim batu.
Para tahanan berhamburan keluar,
matanya buta oleh cahaya.
Mereka gemetar di bawah langit yang terlalu biru.
Rakyat mengangkat senjata ke udara,
tapi di antara sorak kemenangan,
aku melihat sesuatu yang lain.
Dari reruntuhanku,
aku melihat pria-pria yang dulu tertindas,
kini berdiri di tempat raja-raja yang telah jatuh.
Aku melihat tangan yang dulu gemetar,
kini menggenggam tongkat kekuasaan.
Api membakar bendera raja, abu takhta beterbangan ke udara.
Di antara runtuhan batu dan darah,
tangan tanpa tubuh masih mencengkeram bendera kerajaan.
Aku melihat bayangan takhta,
dipahat dari pecahan tubuhku sendiri.
Dan aku bertanya—
Dulu aku penjara, kini aku puing.
Apakah kebebasan benar-benar lahir,
atau aku hanya digantikan oleh rantai yang baru?***
Jakarta, 17 Februari 2025
(1) Puisi Esai ini dramatisasi kisah yang terjadi di penjara Bastille, yang memulai Revolusi Perancis.
History.comhttps://www.history.comFrench revolutionaries storm the Bastille | July 14, 1789
Dirilis ulang oleh POINT Consultant