E-VOTING
E-voting berasal dari kata electronic
voting yang mengacu pada penggunaan teknologi informasi pada pelaksanaan
pemungutan suara.
Pilihan teknologi yang digunakan dalam
implementasi dari e-Voting sangat bervariasi, seperti penggunaan kartu pintar
untuk otentikasi pemilih yang bisa digabung dalam e-KTP, penggunaan internet
sebagai sistem pemungutan suara atau pengiriman data, penggunaan layar sentuh
sebagai pengganti kartu suara, dan masih banyak variasi teknologi yang bisa
digunakan dewasa ini. Dalam perkembangan pemikiran dewasa ini penggunaan
perangkat telepon seluler untuk memberikan suara bisa menjadi pilihan karena
sudah menggabungkan (konvergensi) perangkat komputer dan jaringan internet
dalam satu perangkat tunggal.
Kondisi penerapan dan teknologi e-voting
terus berubah seiring perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat.
Kendala-kendala e-voting yang pernah terjadi di berbagai negara yang pernah dan
sedang menerapkannya menjadi penyempurnaan e-voting selanjutnya. Salah satu
segi positif dari penerapan e-voting saat ini adalah makin murahnya perangkat
keras yang digunakan dan makin terbukanya perangkat lunak yang digunakan
sehingga biaya pelaksanaan e-voting makin murah dari waktu ke waktu dan untuk
perangkat lunak makin terbuka untuk diaudit secara bersama. Salah satu konsep
penerapan perangkat lunak adalah melalui Indonesia Goes Open Source (IGOS)
dengan diperkenalkannya aplikasi e-Demokrasi pada tahun 2007
Belakangan ini kata e-voting mendadak
sering diperbincangkan. Hal ini dikarenakan adanya wacana penerapan sistem
Pemilu elektronik atau e-voting dalam Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan
pada tahun 2019. Alasannya, supaya Pemilu dapat dilaksanakan dengan biaya yang
lebih terjangkau, lebih cepat, dan praktis. Namun, sebelum kita memberikan
dukungan atau menolak ide tersebut, ada baiknya kita kaji dahulu, bagaimana
penerapan e-voting di beberapa negara dan sistem elektronik seperti apakah yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Sistem Pemilu elektronik atau dikenal
dengan e-voting bukanlah hal yang baru di dunia. Sistem ini telah diterapkan di
beberapa negara seperti: Belanda, Brazil, Irlandia, Filipina, dan Amerika.
Belanda adalah salah satu negara pertama
yang mengadopsi e-voting. Hal ini wajar mengingat Belanda terikat dengan
Freedom of Information Act (FOIA). Dengan diberlakukannya e-voting di Belanda,
data rekaman proses pemilihan umum akan lebih mudah didapatkan.
Untuk menerapkan e-voting, Belanda
mengeluarkan perangkat hukum pada tahun 1965 terkait dengan pemanfaatan
komputer dalam Pemilu. Adapun pengaplikasiannya baru dimulai pada akhir tahun
1980-an. Sejak tahun 1994, pemerintah Belanda telah aktif mensosialisasikan
penggunaan e-voting. Penggunaan teknologi ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pelaksanaan Pemilu.
Penerapan e-voting pada saat itu,
disandingkan dengan jargon-jargon kemudahan, efisiensi waktu, kecepatan
perhitungan suara, dan penghematan anggaran.
Inisiasi pemanfaatan e-voting di Belanda
dilakukan tanpa melalui mekanisme kajian publik dan hampir tidak ada bahasan
mengenai kelayakan sistem jika ditinjau dari sisi keamanan maupun verifikasi.
Diskusi akademik saat itu, lebih banyak berkutat pada aspek kegunaan dan
kemudahan pelaksanaan e-voting. Walaupun pemerintah Belanda menerbitkan
prasyarat sistem e-voting pada tahun 1994, standar sistemnya masih belum
dijelaskan secara mendetail, termasuk juga bagaimana mekanisme kontrolnya. Bahkan
pada tahun 1999, pemerintah daerah mengembangkan sendiri perangkat lunak untuk
sistem e-voting yang digunakan dalam pemilihan lokal mereka.
Dalam Pemilu 2004, Belanda menerapkan
sistem pemilihan melalui internet sehingga pemilih yang tinggal di luar negeri
dapat berpartisipasi secara online. Pada tahun 2006, 90 persen suara pemilih
dipungut menggunakan sistem elektronik. Menariknya, seluruh sistem Pemilu
elektronik yang digunakan Belanda, disediakan oleh dua perusahaan pengembang
swasta domestik. Pemerintah daerah diharuskan membeli perangkat tersebut seharga
€ 5000 (berkisar Rp. 60 juta dengan nilai tukar saat itu) per buah, serta masih
dibebani biaya tambahan untuk perawatan, penyimpanan, distribusi dan persiapan
saat akan digunakan dalam sebuah pemilihan daerah.
Pada tahun 2006, muncul kampanye yang
bertajuk wij vertrouwen stemcomputers
niet (kami tidak percaya sistem Pemilu elektronik). Saat itulah, pemerintah
mulai memberikan perhatian terhadap isu-isu yang muncul. Hanya dalam hitungan
minggu, lalu terjadi pergeseran paradigma terkait pandangan masyarakat atas
e-voting. Kampanye yang berlangsung saat itu, membeberkan begitu banyak celah
keamanan dalam sistem e-voting sehingga September 2007, Komisi Penasehat
Pemilihan Umum menerbitkan laporan kritis berjudul "Voting with
Confidence”, yang mendorong Sekretaris Negara Urusan Dalam Negeri mencabut
Regulation for Approval of Voting Machine 1997. Lalu pada tanggal 1 Oktober
2007, Pengadilan Negeri Amsterdam akhirnya mencabut semua sertifikasi sistem
e-voting dan kembali ke sistem pemilihan manual pada Mei 2008. Proposal untuk
pengembangan sistem e-voting baru, sejak saat itu selalu ditolak.
Filipina merupakan negara ASEAN yang
sudah menerapkan e-voting secara nasional sejak Pemilu enam tahun lalu.
E-voting diberlakukan karena Filipina
punya sejarah buruk dalam kecurangan Pemilu.
Pada Pemilu 1986, Ferdinand Marcos
terbukti melakukan kecurangan sehingga mulai tahun 2010, Filipina mengadopsi
e-counting untuk tiga kali Pemilu dari
tahun 2010, 2013, dan 2016. E-counting memungkinkan perhitungan suara yang
lebih cepat daripada cara manual.
Dari segi partisipasi pemilih, e-voting
berperan besar dalam peningkatan partisipasi masyarakat. Sistem Pemilu
Elektronik di Filipina berhasil meningkatkan partisipasi pemilih dari 74,99%
pada tahun 2010 menjadi 77,57% pada tahun 2013, dan 81,62% pada tahun 2016.
Dari segi kecepatan, peningkatan
kecepatan perolehan hasil Pemilu dengan penerapan e-voting sangatlah
signifikan. Pada tahun 2010, hasil tidak resmi Pilpres dapat diketahui 2 jam
setelah TPS ditutup. Padahal pada sistem Pemilu manual tahun 2004, hasil
Pilpres baru diketahui setelah 40 hari. Kecepatan penghitungan suara ini mampu
menurunkan angka konflik akibat Pemilu. Pasca Pemilu 2010, polisi Filipina
mencatat insiden terkait Pemilu turun hingga 50% dibandingkan Pemilu 2004 dan
turun 65% dibandingkan Pemilu 2007.
Selain menuai pujian karena kecepatan
dan menurunnya konflik, Filipina juga mendapat kritikan terutama soal keamanan
sistem, persoalan transparansi, dan kendala teknis.
Bagaimanakah dengan Indonesia?
Ketergesaan dalam mengeluarkan kebijakan
yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak tidak boleh terjadi. Termasuk pula
ketergesaan dalam menentukan apakah bangsa ini akan menggunakan sistem
elektronik (e-voting) dalam Pemilu Presiden. Untuk sebuah safety-critical
system dengan tingkat resiko yang sangat tinggi seperti e-voting, ketergesaan
adalah kehancuran.
Terdapat argumen bahwa untuk
meningkatkan sistem Pemilu, kita perlu menerapkan alat pemungutan suara elektronik
(electronic voting machines, e-voting) atau mesin penghitungan suara elektronik
(e-counting) di TPS. Beberapa pihak merespon pernyataan ini dengan menyatakan
bahwa Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan teknologi yang rumit ini
dalam Pemilu Presiden tahun 2019.
Harus disadari bahwa e-voting bukanlah keajaiban
yang tiba-tiba tapi harus menyiapkan SDM (Maner) dan perangkat aplikasi yang
dapat memperbaiki sistem pemilihan di Indonesia. Masalah-masalah Pemilu yang
ada saat ini sebenarnya bisa diatasi dengan perbaikan sistem administrasi,
pengetatan pengawasan, atau penguatan landasan hukum dan regulasi; tanpa harus
melibatkan teknologi seperti e-voting. Kesiapan industri nasional terkait
pengadaan, penyediaan, dan pengembangan sistem e-voting dalam Pemilu Presiden
juga perlu dipikirkan.
Perlu dipahami bahwa tidak banyak pihak
dalam jajaran pemerintah, yang memiliki adequate understanding tentang
teknologi untuk Pemilu.
Lalu bagaimana solusinya ?
Apakah kita akan menyerahkan
pengelolaannya pada swasta ?
Sistem Pemilu elektronik Indonesia tidak
boleh diserahkan kepada pihak pengembang swasta (konsultan teknologi) dengan
berbagai macam alasan. Kegagalan penerapan e-voting di Irlandia, Belanda, dan
Jerman terjadi karena memberikan mandat pengembangan sistem e-voting kepada
pihak swasta. Pengembangan sistem e-voting
oleh swasta di Irlandia, Belanda, dan Jerman menisbikan transparansi dan
ketersediaan informasi publik, membatasi keterlibatan publik dalam proses
pengembangan sistem, meniadakan sistem kontrol dan evaluasi, sehingga akhirnya
menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, penyelenggara, dan hasil
Pemilu.
Menerapkan e-voting bukan hanya soal
mengganti kertas suara menjadi surat-suara elektronik, namun juga soal
validitas dan keamanan transaksi elektronik. Produk hukum, infrastuktur,
kesiapan masyarakat, efektivitas mekanisme kontrol, dan kesadaran publik perlu
dikaji terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk memakai e-voting.
Sistem e-voting (jika memang akan
diterapkan) perlu diuji terlebih dahulu dalam kerangka: fairness, eligibility,
privacy, receipt-freeness, coercion-resistance,
dan verifiability. Sistem e-voting yang diajukan pun harus menghindari
over-complexity, dan fungsi-fungsi enkripsi keamanannya harus dipahami
masyarakat.
Sebuah sistem e-voting perlu dibuat
sesederhana mungkin. Para perancang harus menghindari penggunaan algoritma yang
terlalu sukar dan mendasarkan rancangan mereka atas arsitektur sistem yang
sederhana. Semakin rumit sebuah sistem, maka semakin sulit untuk diuji dan
dinilai, yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat. Hal
ini berlaku pula untuk fungsi-fungsi enkripsi. Bahkan, jika memang penggunaan
algoritma enkripsi yang kompleks tidak dapat dielakkan, fungsi-fungsi tersebut
harus tetap dipublikasi agar masyarakat mengetahui.
Memperlakukan sistem e-voting seperti
halnya piranti lunak komersial atau sebaliknya, seperti layaknya sebuah proyek
rahasia, tentunya tidak akan membuat masyarakat percaya.
Salah satu aspek fundamental yang
membuat masyarakat Indonesia percaya terhadap proses Pemilu secara manual
adalah kemampuan mereka untuk dapat melihat dan memahami proses serta hasil
Pemilu di tingkat TPS. E-voting dan e-counting
adalah teknologi kompleks yang mungkin akan sukar digunakan dan
dipahami, sehingga akan sulit pula untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dengan maraknya berita mengenai
peretasan (hacking) dan manipulasi sistem komputer, teknologi pemungutan
ataupun penghitungan suara tidak membangun kepercayaan dan malah berpotensi
meningkatkan kecurigaan. Manipulasi mesin yang digunakan dalam e-voting dan
e-counting, ataupun munculnya persepsi bahwa alat tersebut dimanipulasi, dapat
menghancurkan hasil Pemilu di masa depan dan mempengaruhi stabilitas politik di
Indonesia.
Pertanyaan yang barangkali muncul di
masyarakat dengan pemberlakuan e-voting atau e-counting adalah:
Sejauh mana e-voting rentan terhadap
serangan hacker ?
Apakah e-voting tidak mempersulit para
pemilih berkebutuhan khusus/difabel ?
Apakah e-voting memberikan kesempatan
bagi pemilih untuk memverifikasi hasilnya ?
Apakah betul manufaktur mesin e-voting
tidak terikat pada Partai Politik tertentu, atau elit politik dari Partai
Politik tertentu ?
Apakah e-voting dapat mengamankan suara
pemilih ?
Apakah ada jaminan bahwa mesin e-voting
tidak dapat diprogram untuk mengubah hasil Pemilu ?
Asumsi bahwa penerapan e-voting atau
e-counting dalam Pemilu membuat negara kita nusantara Indonesia tampak lebih
maju adalah asumsi yang kurang berkenan.
Kita sebaiknya belajar dari pengalaman dan
kegagalan negara-negara lain. Hanya beberapa negara demokrasi di dunia yang
masih menerapkan alat tersebut (e-voting
dan e-counting). Sementara, sebagian besar negara telah kembali ke
penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual. Alasannya utamanya
adalah untuk mencegah manipulasi dan masih kurangnya pemahaman atau kepercayaan
publik.
Dalam diskusi yang dilakukan belakangan
ini, juga populer istilah e-recapitulation (e-rekap). E-rekap adalah sistem
dimana penghitungan, pengiriman, dan penayangan hasil Pemilu resmi akan
dikomputerisasi secara aman, akurat, transparan, dan cepat. Hasil resmi yang
kredibel dapat dihasilkan beberapa hari setelah Pemilu, layaknya di
negara-negara lain yang demokrasinya sudah maju.
Persoalan Pemilu di Indonesia saat ini
adalah panjangnya proses rekapitulasi yang memakan waktu hingga dua minggu.
Padahal di negara-negara lain, proses rekapitulasi tidak sampai seminggu.
Bahkan ada pula yang bisa selesai dalam hitungan hari. Proses yang panjang ini,
berpotensi menimbulkan terjadinya penggelembungan dan jual beli suara yang
dilakukan oleh oknum petugas rekapitulasi.
Pengamat Pemilu, Ramlan Surbakti menilai
bahwa rencana pemerintah dan DPR untuk menerapkan e-voting pada Pemilu 2019
tidak relevan dengan permasalahan Pemilu di Indonesia. Ramlan mengatakan bahwa
model pencoblosan dan penghitungan suara secara manual, justru bisa lebih
meminimalisir kecurangan dan kesalahan ketimbang sistem e-voting.
Salah satu penggiat demokrasi yaitu Titi
Anggraeni, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
mengatakan bahwa rekapitulasi elektronik (e-rekap) adalah teknologi Pemilu yang
dibutuhkan Indonesia. Bukan e-voting.
Jadi, kita tidak boleh cepat termakan
oleh klaim e-voting atau e-counting yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih
murah. Pemanfaatan teknologi dalam Pemilu tidak boleh dilakukan dengan
tergesa-gesa, penuh ambisi, apalagi hanya ikut-ikutan. Pengadopsian sebuah
teknologi atau sistem elektronik haruslah disesuaikan terlebih dahulu dengan
kebutuhan masyarakat.
e-voting di Indonesia
Penggunaan e-voting di Indonesia telah
dilakukan dalam skala terbatas baik dalam lingkup organisasi, perusahaan maupun
pemerintahan di skala paling kecil yaitu dusun atau desa.
Di Kabupaten Jembrana, Bali sejak
pertengahan 2009 telah dilakukan puluhan kali pemilihan kepala dusun di
desa-desa yang ada di kabupaten tersebut. Penggunaan e-voting di kabupaten
Jembrana telah menghemat anggaran lebih dari 60 persen, seperti anggaran untuk
kertas suara. E-voting ini juga diawali dengan penggunaan KTP (Kartu Tanda
Penduduk) berbasis chip atau kemudian disebut juga e-KTP. Penggunaan e-KTP
tersebut membuat pemilih tidak mungkin melakukan pemilihan lebih dari sekali.
TPS (tempat pemungutan suara) juga bisa menampung hingga 1000 pemilih,
sementara dengan sistem manual sekitar 500-700 pemilih saja per TPS yang layak.
Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan
pada Selasa, 30 Maret 2010 bahwa penggunaan e-voting adalah konstitusional
sepanjang tidak melanggar asas Pemilu yang luber dan jurdil[2] maka e-Voting
bisa dilakukan pada skala lebih luas di antaranya Pemilihan umum kepala daerah
dan wakil kepala daerah (Pemilukada).
Kabupaten Jembrana, Bali sudah
menyatakan kesiapannya untuk menyelenggarakan pemilihan bupati Jembrana pada
bulan Oktober 2010 dengan e-voting. Namun berbagai kesiapan masih perlu
dilakukan baik dari KPU maupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) dari
sisi kesiapan SDM dan pemahaman mengenai e-voting itu sendiri. Juga harus
dibuat perubahan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sehingga
paling cepat e-voting baru akan dilaksanakan di daerah lain pada tahun 2011. Namun
khusus kabupaten Jembrana, Bali diharapkan bisa dilaksanakan menggunakan
Peraturan KPU yang bisa diselesaikan sebelum Pemilukada di Jembrana
dilaksanakan.
Terkait dengan Pemilu Nasional, CETRO
juga pernah mengusulkan Pemilu Elektronik pada tahun 2014 nanti dan dilakukan
persiapan sejak saat ini (Agustus 2009 ketika diusulkan). Keputusan MK tersebut
memberi jalan untuk Pemilu Elektronik pada tahun 2014 yang harus diawali dengan
selesainya Single Identity Number (SIN) untuk seluruh penduduk Indonesia yang
direncanakan selesai pada tahun 2011.
E-voting memang tak hanya bicara
teknologi canggih, efisiensi biaya, efektivitas demi sebuah status demokrasi
digital, tapi lebih jauh dari itu soal kepercayaan publik. Sistem yang
mengandalkan pendataan, pengambilan, dan penghitungan suara dengan cara
elektronik ini memang masih meninggalkan jejak kelemahan, selain beberapa
dampak positif.
Tantangan
ini juga dialami Filipina yang belum lama ini menggelar Pilpres dengan sistem
elektronik. Filipina perlahan tapi pasti mengikuti jejak India dan Brazil yang
lebih dulu menggunakan e-voting. Bagaimana kans penerapannya di Indonesia?
Belajar
dari Filipina
Filipina merupakan negara ASEAN yang
sudah menerapkan e-voting secara nasional sejak Pemilu enam tahun silam.
E-voting diberlakukan karena Filipina punya sejarah kelam dalam kecurangan
Pemilu. Pada Pemilu 1986 penguasa diktator Ferdinand Marcos terbukti melakukan
kecurangan, yang berhasil dibongkar oleh lembaga pemantau Pemilu yang disegani,
National Citizen Movement for Free Election (Namfrel).
Mulai 2010, Filipina menggunakan sebuah
alat bernama Automated Election System (AES). Negara kepulauan ini sudah
memakai alat e-counting untuk tiga Pemilu dari 2010, 2013, dan 2016. Alat AES
memungkinkan negara dengan populasi 98 juta jiwa ini melakukan perhitungan
suara lebih cepat daripada cara manual. Langkah ini penting karena Filipina
terdiri dari 7.107 pulau.
Mesin ini juga sering disebut sebagai
Scan Paper Ballots atau nama populernya Electronic Counting Machine (ECM). Alat
ini berfungsi memindai secara elektronik kertas suara yang sudah ditandai
dengan alat tulis layaknya lembaran ujian. Sistem ini disebut semi e-voting,
yaitu menggabungkan antara proses manual pemberian suara yang dikombinasikan
dengan sistem otomatis penghitungan suara pemilih. Cara ini memang tak
memberikan kecepatan waktu seperti alat electronic voting machine (EVM) sebagai
alat e-voting murni berbasis online.
Sistem Pemilu dengan elektronik
berdampak positif bagi Filipina. Partisipasi pemilih meningkat sehingga makin
memperkuat legitimasi. Pada 2010 partisipasi suara mencapai 74,99 persen, lalu
naik jadi 77,57 persen pada 2013.
Ketua KPU Filipina, atau Commission on
Election (Comelec), Juan Andres Bautista pada hari pemilihan 9 Mei mengumumkan
kabar gembira, 81,62 persen dari 54,4 juta daftar pemilih menggunakan hak
suaranya. Pemilu 2016 Filipina jadi rekor sejarah dalam hal partisipasi publik.
Prestasi ini jauh lebih baik dari Pilpres Indonesia di 2014 yang hanya
menorehkan angka 70 persen.
Partisipasi pemilih Filipina dalam
Pemilu naik berkat e-voting. Namun, capaian paling gemilang dari demokrasi
digital Filipina soal kecepatan penghitungan suara. Di 2010, hasil tidak resmi
Pilpres dapat diketahui hanya 2 jam setelah TPS ditutup. Tahun ini, masyarakat
Filipina sudah dapat mengetahui Rodrigo Duterte sebagai pemenang Pemilu kurang
dari 2 jam. Saat masih pakai cara manual, hasil Pilpres 2004 baru diketahui
setelah 40 hari.
Kecepatan penghitungan suara mampu
meredam ketegangan di masyarakat. Pasca Pemilu 2010, Philippine National Police
(PNP) mencatat insiden terkait Pemilu turun hingga 50 persen dibandingkan
Pemilu 2004 dan turun 65 persen dibandingkan Pemilu 2007. Pada Pemilu 2010
memang masih ada 391 insiden, lalu turun hanya 196 insiden pada 2013.
Filipina menuai banyak kesuksesan dengan
e-voting. Namun, itu tidak berarti pelaksanaannya berjalan mulus. “Negeri
Lumbung Padi” ini juga menuai kritikan terutama soal keamanan sistem. Filipina
memang baru sebatas sistem semi e-voting yang relatif “lebih aman” dari sistem
e-voting murni dengan menggunakan EVM. Tapi tetap saja Comelec sempat dibuat
khawatir karena 2 bulan menjelang Pemilu, situs KPU Filipina ini sempat dibajak
sampai dua kali.
Selain keamanan, persoalan transparansi
juga masih jadi isu besar di Filipina. Muncul desakan agar ada upaya verifikasi
data suara. Akhirnya, jalan tengah diambil. Comelec memberikan ruang
keterbukaan untuk verifikasi data suara pemilih dengan membuka 30 persen
rekapitulasi pengambilan suara di TPS ke publik.
Di Indonesia, pola semacam ini sudah
ada, yaitu adanya proses scan formulir C1 saat Pemilu 2014 lalu. Pemilu
Filipina juga tak terbebas dari kendala teknis, laporan beberapa kasus alat
e-counting yang tak berfungsi.
Bagaimana
e-voting di Indonesia? Yang pasti, Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk
e-voting. Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) pasal 5 merupakan landasan hukum e-voting. Sayangnya, dalam UU ini tak
dibahas khusus soal skema sebuah sistem Pemilu e-voting.
Selain itu ada juga pasal 85 Perppu No 1
tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Tersurat jelas
dalam Perppu, bahwa suara bisa melalui peralatan suara secara elektronik,
selain dengan memberi tanda. Juga ada putusan MK No 147/PUU-VII/2009 yang
membahas soal e-voting dalam Pilkada. E-voting boleh dipakai asalkan tetap
mengacu pada azas LUBER dan JURDIL dan harus ada kesiapan dari penyelenggara
Pemilu di daerah.
Untuk urusan demokrasi digital,
Indonesia tidak nol-nol amat. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
pernah memperkenalkan sistem tersebut. Sistem e-voting BPPT ini bahkan sudah
diuji coba dalam skala lebih kecil yaitu pemilihan kepala desa (Pilkades) di
beberapa kabupaten di Indonesia sejak 2010.
Pada Pemilu 2004, KPU juga sudah mencoba
sistem yang diberi nama real count atau e-counting sebagai mekanisme hitungan
elektronik rekapitulasi suara yang menjadi pembanding atau opini kedua dari
hitungan manual yang jadi sumber resmi KPU.
Langkah BPPT mendapat dukungan
pemerintah baru. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo termasuk yang
bersemangat mendorong e-voting di Indonesia. Tjahjo bahkan sesumbar, sistem ini
akan diterapkan dalam Pemilu kepala daerah jilid II pada 2017 nanti.
“Saya ingin mulai tahun 2017 Pilkada
serentak tahap dua, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 sudah
menggunakan e-voting,” kata Tjahjo dikutip dari Antara.
Untuk memuluskan pelaksanaan e-voting
ini, pemerintah bergegas menuntaskan KTP elektronik atau e-KTP.
Penerapan e-voting di Indonesia pertama
kali berlangsung saat Pilkades di Jembrana, Bali pada 2010. Pada 2013, BPPT
melakukan uji coba dengan verifikasi pemilih menggunakan e-KTP di Desa Mendoyo
Dangin Tukad, Jembrana. Masyarakat cukup membawa E-KTP sebagai alat verifikasi
pemilih lalu mendapatkan kartu token. Kartu token untuk mengaktifkan “kertas
suara” di bilik suara. Pemilih cukup menggunakan jari pada layar sentuh, tanpa
perlu mencari paku untuk mencoblos.
Alat yang dikembangkan BPPT ini bisa
disebut masih semi e-voting, karena alat tak terkoneksi dengan internet saat
pengambilan suara. Proses koneksi dengan internet baru akan terjadi ketika akan
mengirim data ke pusat data KPU, dengan modem dari lokasi TPS. Sistem e-voting
buatan BPPT ini memangkas perhitungan suara berjenjang yang berlaku selama ini.
Rencananya, form C1 juga tetap ada, scan form C1 akan dikirim ke KPU dan
Bawaslu sebagai sebuah keterbukaan untuk proses verifikasi hasil rekapitulasi.
Tantangan
BPPT rupanya melangkah lebih jauh.
Selain uji coba, mereka juga melakukan survei. Istilahnya, semacam tes pasar
kepada para pemilih. Hasilnya cukup menarik, dari responden yang mereka
wawancarai, 99 persen mengaku masih buta dengan e-voting. Namun, yang lebih
menarik lagi, 99 persen dari mereka juga setuju dengan sistem Pemilu dengan
e-voting.
Namun, hasil dari BPPT ini bukan berarti
e-voting bisa langsung diterapkan di Indonesia. Untuk menggelar Pemilu era
digital, Indonesia harus punya bank data kependudukan yang mumpuni. Sampai saat
ini program KTP elektronik atau E-KTP belum tuntas 100 persen.
Kendala lainnya adalah soal kemampuan
Indonesia untuk dapat mendistribusikan perangkat-perangkat untuk mekanisme
e-voting serentak. Selain itu, alat e-voting butuh dukungan infrastruktur dasar
seperti listrik dan jaringan internet. Persoalan besar ketika alat ini dibawa
ke wilayah-wilayah terpencil. Meskipun persoalan semacam ini sudah bisa diatasi
di India, Negeri Hindustan itu menggunakan alat yang sudah menggunakan baterai.
Pemilu digital tak melulu dikenang
buruk. Swiss dan Estonia jadi contoh negara yang sukses menyelenggarakan Pemilu
e-voting. Kedua negara sempat dihadapkan dengan persoalan rendahnya partisipasi
pemilih. Sistem Pemilu e-voting jadi jawabannya. Estonia dengan 1,32 juta jiwa
berhasil menggelar Pemilu secara online untuk Pemilu pemimpin kota pada 2005.
Berselang dua tahun, negara ini sukses menggelar Pemilu parlemen secara online,
tercatat sebagai yang pertama di dunia.
Kunci sukses mereka karena sudah punya
modal jangkauan internet yang luas, sistem administrasi Pemilu yang modern
termasuk data identitas penduduk skala nasional yang sudah mapan, melibatkan
para ahli, dan konsensus politik yang kuat.
Estonia dan Swiss setidaknya menjawab
keraguan publik soal keamanan Pemilu digital. Perusahaan perangkat keamanan
digital McAfee, pernah melakukan studi yang mengungkapkan bahwa Pemilu secara
online memang tak populer karena persoalan kepercayaan yang rendah dari publik.
Namun, dengan perkembangan teknologi canggih transaksi keuangan secara online
saat ini, masalah keamanan penerapan Pemilu online bisa diatasi.
Di atas kertas maupun pengalaman nyata,
sistem Pemilu dengan e-voting membuahkan efisiensi waktu yang lebih cepat dalam
proses pengambilan suara, penghitungan, hingga tahap pengumuman. Sistem
e-voting bisa diterapkan di Indonesia. Desain besarnya sudah ada, 2010 dipakai
Pilkades, 2017 Pilkada, dan 2019 Pilpres.
Uji coba e-voting Pilkades 2010-2014
jadi sebuah miniatur untuk tangga Pilkada. Bila e-voting sukses di Pilkada,
maka tak mustahil pada 2019, bakal ada presiden pertama dalam sejarah yang
terpilih lewat pemilihan dari tombol atau layar sentuh saja.
Pengalaman Filipina bisa diambil
hikmahnya. Mereka memang masih berbenah untuk sebuah sistem Pemilu baru. Benang
merahnya, Indonesia dan Filipina sejajar untuk urusan teknologi informasi, tapi
Filipina berani mengambil langkah besar dengan demokrasi digital ala mereka.
Indonesia hanya perlu membenahi
persoalan infrastruktur dasar khususnya jaringan internet yang belum merata.
Indonesia punya bekal pengalaman e-voting Pilkades, teknologi dari BPPT, payung
hukum yang sudah ada, kemauan politik sang penguasa, dan masyarakat yang akrab
dengan teknologi. Jalan e-voting hanya tinggal menunggu pengesahan dari KPU.