POLITIK IDENTITAS
Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton daripada nilai strategis perbedaan. Kalau didefinisikan dalam kalimat sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka. Gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan pembebasan LGBT adalah contoh dari pengorganisasian politik semacam ini.
Politik identitas diyakini sebagai politik paling mendalam dan berpotensi paling radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain. The Combahee River Collective merinci bagaimana pengalaman mereka sebagai perempuan kulit hitam, berbeda dari wanita kulit putih, dan ini penting karena memahami cara-cara di mana penindasan rasial, ekonomi, gender, dan lainnya terkait dan membentuk kehidupan mereka membantu memastikan bahwa tidak ada yang bisa tertinggal.
Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide kebaikan terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas, secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas kekitaan terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual pada era modernisasi yang serba mekanik, muncul kegagapan untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Sehingga terjadi ketidak sesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik. Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit yang rasa nasionalisme patriotiknya dan tidak bermoral budi pekerti di Indonesia, terutama kondisi masyarakat Indonesia di mana suasana primordialisme dan sektarianisme masih cukup kuat sehingga sangat mudah untuk memenangkan simpati publik, memicu kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu-isu etnis, agama dan kelompok tertentu.
POLITIK INDENTITAS DI INDONESIA
Politik Islam di Indonesia cenderung mengarah pada politik identitas. Sebenarnya, perkembangan politik Islam di Indonesia berfluktuasi sejak era Orde Baru hingga era reformasi saat ini. Politik Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu. Menurut Gonda Yumitro, MA, Ph.D realitanya Islam sebenarnya memiliki posisi yang sangat strategis karena memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, dan umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Namun, Islam sering digunakan sebagai alat politik. Ketika membutuhkan dukungan politik, para pemimpin sering menggunakan identitas Islam sebagai alat untuk mencari dukungan.
Contoh lain misalnya, politik identitas juga memainkan peran utama dalam kancah pilkada beberapa tahun yang lalu, di mana beberapa anggota komunitas muslim memobilisasi massa dalam jumlah besar melawan salah satu kontestan pilkada beberapa tahun lalu di DKI Jakarta dan berlanjut di Pilpres 2019 yang berbarengan dengan Pileg.
Politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi individu setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua.
POLITIK IDENTITAS DAN MASYARAKAT BERADAB (society civil)
Dalam struktur masyarakat Indonesia yang terbagi atas berbagai ragam ras, budaya, etnis, agama, sampai aliran kepercayaan mengisyaratkan tentang konstruksisosial yang terbentuk merupakan pengejawentahan dari pluralisme bangsa Indonesia yang telah dikemas dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan tersebut berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa dari ancaman disintegrasi yang selalu mengintai dalam realitas kebangsaan Indonesia dewasa ini.
Tetapi episode kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan pada permasalahan menguatnya sentimen primordialisme yang telah merambah di segala sektor kehidupan masyarakat tanpaterkecuali. Wacana tersebut semakin kentara, ketika kontestasi politik sudah di ambang pintu. Politik identitas yang sejatinya merupakamn perjuangan rakyat dalam mengaktualisasikan karakteristik khasnya sebagai bagian untuk saling memperkaya dialektika wacana dalam konteks kompetisi politik, berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lain. Kontestasi yang seharusnya saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, tetapi malahan saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA yang terkesan menunjukkan sifat yang destruktif bagi pembangunan sebuah bangsa.
Wacana Civil Society (masyarakat madani/masyarakat berperadaban) yang telah berkembang sejak awal abad ke 21 menemukan relevansinya dari situasi dan kondisi sosial politik di Indonesia di bawah rezim reformasi dewasa ini. Konsepsi negara demokratis yang menjunjung tinggi penghargaan atas keberagaman lokalitas,persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, sinergisitas seluruh elemen bangsa dapat terwujud ketika Civil Society mengalami penguatan dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang berimplikasi pada meredupnya praktik politik identitas di Indonesia. Kondisi ideal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengembalikan roh dan spirit Pancasila yang telah dirumuskan oleh para Founding Fatherske dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang dianugerahi tata warna mozaik kultural warga negaranya.
Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan polifik yang fokus perhatinnya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi orang asli yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi orang pendatang yang harus melepaskan kekuasaan.
Jadi politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang politik guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Dari dua definisi diatas tentunya sangatlah cocok dengan situasi politik sekarang ini. Dimana wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya yang notabene berbeda identitasnya melalui berbagai serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya.
Yang menjadi catatan, bahwasannya politik identitas yang merebak dalam konteks politik kekinian merupakan suatu antitesis atas sentralisme kekuasaan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Dimana politik identitas direpresentasikan melalui pembentukan partai politik yang mengusung ideologi Islam yang di masa pemerintahan orde baru terkungkung oleh dominasi kekuasaan politik yang bercorak nasionalisme. Politik identitas adalah suatu pengejawentahan atas beragamnya identitas bangsa indonesia dalam hal suku bangsa, etnis, dan agama yang ingin mengartikulasikan kepentingannya dalam struktur politik dan pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat baik ketika konsepsi politik identitas didasarkan pada kesadaran untuk tetap meneguhkan asas persatuan nasional yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Buya Syafii Maarif dalam buku Politik Identitas dan Masa Depan Prularisme Kita bahwa Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Civil Society sebagai cita-cita ideal dari proyeksi masyarakat yang didambakan ideologi Pancasila menemukan relevansinya dalam menyikapi berbagai konstraksi politik yang diakibatkan oleh politik identitas. Dimana Pancasila sebagai simbol supremasi hukum dan identitas nasional menjadi faktor penting bagi terbentuknya masyarakat yang menginginkan harmonisasi relasi soasial di tengah keragaman identitas yang saling menegasikan.
Dengan Pancasila masyarakat akan berusaha menjalin serta membangun sistem komunikasi yang saling membutuhkan satu sama lainya, dan mampu membentuk sikap kesanggupan memelihara identitas kelompoknya bahkan kelompok yang berbeda dengannya dalam berinteraksi di ruang bersama untuk menerima pluralisme dan toleransi yang harus diaplikasikan dengan mengakui dan menghormati perbedaan antara satu kelompok dengan lainnya.
Dengan begitu, perbedaan menjadi rahmat Allah yang harus dijaga secara dinamisdan berkelanjutan, sehingga dapat mewujudkan terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya dari budaya bangsa dalam bentuk integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomidi tingkat lokal, nasional ataupun global.Dan pada akhirnya simpul pengikat antara Pancasila dan civil society akan membentuk persenyawaan mulitukulturalisme yang di dalamnya terbingkai dengan indah interaksi antar masyarakat yang saling menaruh hormat dan berdiri tegak di atas kesamaan visi-misi dalam proses pembangunan Bangsa Indonesia yang lebih demokratis.
Menurut Jean L. Kahin dan Andrew Arato menkonsepkan masyarakat madani sebagai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak di atas prinsip-prinsip egaliterisme dan inklusivisme universal. Dari penyataan tersebut mengisyaratkan akan kesetaraan kedudukan dan keterbukaan dari seluruh komponen masyarakat dalam menciptakan suatu ruang publik yang menegosiasikan beragam kepentingan menuju satu tujuan bersama. Sedangkan Nicos Mouzelis mendefinisikan bahwa civil society adalah semua kelompok sosial dan lembaga sosial, dalam sebuah tatanan sosial, yang muncul di tengah-tengah ikatan kelompok-kelompok primordial dan institusi-institusi lainnya. Dari definisi tersebut dapat kita tarik suatu wacana, bahwasannya Civil Society dibangun di atas fondasi komposisi masyarakat yang masih memegang teguh ikatan kesukuan dan keagamaan. Tetapi civil society berdiri tegak tanpa terpengaruh oleh terpaan sentimen primordialisme dan bahkan meleburkannya dalam suatu ruang yang memberikan penghormatan atas keberagaman tersebut.
Praktik politik identitas yang cenderung menguat dewasa ini yang mengedepankan isu sektarian merupakan suatu bentuk kemunduran aktifitas politik masyarakat dalam iklim demokratisasi. Hal ini tentunya menghambat bagi keberlangsungan penyelenggaraan roda pemerintahan secara demokratis yang notabene merupakan amanah reformasi.
Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia ketika diperas dari isi sila-silanya, maka akan didapatkan saripati yang mengidealkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan universal, seperti nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, dan Keadilan. Kondisi tersebut sejalan dengan tujuan dari pembentukan civil society yang dikemukakan oleh Bahmueller bahwa Civil Society mengisyaratkan meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Dimana individu masuk dalam suatu komunitas sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang harus dijunjung tinggi keberadaannya dan diaplilkasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimana individu tersebut berdomisili.
Kehidupan yang penuh dengan sikap toleransi, egaliter, inklusivisme universal dan menghargai perbedaan dalam suatu ikatan sosial merupakan kondisi yang diidealkan civil society dan selaras dengan masyarakat yang di cita-citakan Pancasila.
Civil Society sebagai implementasi dari konsepsi masyarakat Pancasila menjadi ujung tombak untuk mewujudkan tatanan demokratis di Negara Indonesia dalam menghadapi hambatan dan rintangan dalam bentuk isu sektarianisme yang selalu menghadang perjalanan Bangsa Indonesia. Politik identitas sebagai bagian dari realitas keindonesian harus mampu menjadi penyeimbang dari gerak pendulum kehidupandemokratis Bangsa Indonesia yang dikaruniai kekayaan budaya dalam wujud simpul Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa agar proses demokratisasi di Negara Indonesia tetap bergerak dalam poros dan koridor yang telah diamanatkan oleh Para Pendiri Bangsa (Fonding Fathers).
DAMPAK NEGATIF POLITIK IDENTITAS
Sangat perlu langkah kreatif dan antisipatif untuk mencegah dampak negatifnya. Pluralisme di Indonesia merupakan kondisi normal, karena Indonesia pada dasarnya memiliki keragaman etnik, budaya, dan agama.
Bahwa pada satu sisi, politik identitas berdampak terhadap demokrasi di Indonesia. Namun, hal yang sama juga terjadi sebaliknya, mengingat demokrasi melewati masa pasang surut, terutama setelah proses reformasi.
Upaya untuk mencari solusi atas dampak negatif terhadap politik identitas di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, demokrasi nampaknya telah memicu lahirnya pendekatan identitas dalam politik, yang berpotensi memberi dampak negatif.
Politik identitas dapat berakibat perpolitikan di Indonesia, yang mempunyai dampak positif dan juga negatif.
Bahaya politik Identitas, Salah satu hal yang membuat Hitler dan nazi menjadi berkuasa di Jerman. Ialah eksploitasi politik identitas. Baik dengan mengglorifikasi bangsa arya dan mensetankan orang yahudi. Persoalan identitas ini sifat inheren sesuatu hal yang tidak bisa kita pilih-pilih. Bahkan agama sekalipun, ada beberapa orang yang gak menjalankan agama nya dengan baik namun meyakini agama tetap menjadi identitas dirinya. Sehingga disini lah problem dari politik identitas tersebut.
Identitas sebagai politik pada dasarnya tidak masalah, karena itu bagian dari realita dari mana kita berasal, yang menjadi problem dikala identitas ini di amplifikasi, dimanipulasi untuk target-target politik sembari membenturkan dengan identitas lawan. Padahal kita hidup dalam sebuah pluralitas atau kemajemukan yang tidak bisa kita hindari. Dan kita juga tidak hidup dalam logika zero sum, bila yang satu menang maka yang lain kalah sebagaimana apa itu politik terbuka.
Dan yang paling berbahaya ialah politik identitas bisa mengesampingkan rasionalitas, dari hal ini akan banyak sekali rentetan akibat nya, bisa kebijakan yang tidak tepat, kebijakan yang sekadar populis. Isu-isu yang menyertai jelang pemilu menunjukkan kian brutalnya klaim pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana cara memberi hukuman kepada anak. Opini-opini menyesatkan disebar layaknya virus-virus yang siap menyerang kewarasan. Sisi universal kemanusiaan dicerabut demi mencapai hasrat kelompok. Kita seperti digiring untuk melupakan kodrat manusia yang dianugerahi identitas primordial yang personal sebagai bentuk kesempurnaan ciptaan Sang Maha Kuasa.
Bahaya politik identitas bagi keutuhan bangsa, selengkapnya dapat disimak dalam uraian berikut ini :
1. MENGANCAM KEUTUHAN NUSANTARA NKRI
Saat ini ancaman terhadap keutuhan bangsa semakin mengkhawatirkan karena politik identitas yang mengedepankan identitas agama menjadi semakin mengental. Bukan hanya politik identitas, bahkan, saat ini ada kelompok-kelompok yang mulai mempersoalkan ideologi bangsa. Tentunya hal ini menjadi ancaman yang sangat besar bagi keutuhan bangsa. sangat ironis, kenapa pada pemilu beberapa tahun lalu, fenomena ini muncul pihak-pihak yang mempersoalkan ideologi bangsa. Padahal dulu tidak ada, bahkan hingga era Orde Baru dan beberapa pemilu langsung di era reformasi hingga pemilu 2019 tidak ada yang mempersoalkan ideologi bangsa, pemahaman mengenai bahaya dari politik identitas di tengah masyarakat. Perlu diberikan sebab isu SARA itu menyangkut emosi massa yang sebagian bahkan tidak mengetahui fakta sebenarnya seperti contoh pelanggaran norma sosial dan contoh pelanggaran nilai nilai Pancasila.
2. MENIMBULKAN ADU DOMBA.
Sejatinya politik yang mengatasnamankan identitas akan dapat membawa dampak adu domba antara pihak stud an lainnya. Terlebih lagi jika berkaitan dengan identitas baik isu agama atau personal maka hal ini akan dirasa lebih sensitive. Karena politik identitas itu sejatinya kejam dan tajam karena bisa menjerumuskan mereka mereka kedalam jurang permusuhan yang pada akhirnya akan membawa berbagai dampak yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
3. HILANGNYA PLURALITAS.
Pluralisme (pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti paham atas keberagaman. Definisi dari pluralisme seringkali disalahartikan menjadi keberagaman paham yang pada akhirnya memicu ambiguitas. Pluralisme juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, gologan, agama,adat, hingga pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukanadanya kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau sekelompok orang.
4. MENIMBULKAN POLARISASI.
Polarisasi isu pribumi dan non-pribumi juga tak bisa dianggap angin lalu. Memori kita masih segar mengingat kerusuhan yang menelan korban jiwa tak terperikan di hari-hari jelang runtuhnya rezim Orde Baru. Isu non-pribumi dikoar-koarkan untuk menyerang mereka yang berkulit putih dan bermata sipit, identitas yang kini sering disebut dengan istilah aseng, asong, asing mungkin ada istilah-istilah tabu yang lain yang bisa mengarah perpecahan serta keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Padahal, jika masyarakat peduli literasi dan diberikan informasi yang proporsional, akan menemukan jejak-jejak pribumi yang tak hanya dimiliki oleh satu suku atau ras saja. Deretan pejuang kemerdekaan nasional lahir dari identitas yang berbeda-beda. Jika tetap ngotot dengan sentimen pribumi, maka sesuai sejarah, kita akan kembali ke era homo erectus sejuta tahun silam sebagaimana hukuman bagi pelanggaran ham ringan..
5. MEMBAWA PERSELISIHAN.
Perselisihan soal agama dan klaim ketuhanan tentu tak akan pernah selesai. Bahkan, seorang yang mengaku atheis pun pada hakikatnya tak mungkin menyangkal keberadaan kodrati. Penjelasan yang sangat rasional dari Dostoevsky, bila dinyatakan bahwa di alam semesta ini tidak ada Tuhan, menjadi jelaslah bahwa semua perbuatan apapun akan dibenarkan. Kalimat ini memberikan penjelasan bahwa kebenaran bisa hadir pada setiap kelompok, tapi yang berhak menentukan kebenaran universal hanya Tuhan. Artinya, untuk dimensi ketuhanan, bisa saja sekelompok orang memegang teguh kebenarannya, sama halnya dengan kelompok lain. Semua bisa benar, juga bisa salah.
Realitanya, jika benturan identitas primordial ini terus-menerus dibiarkan, maka demokrasi kita tak ubahnya hukum rimba.
6. POLITIK IDENTITAS LEBIH BERBAHAYA DARI POLITIK UANG
Politik identitas sangat berbahaya dibandingkan dengan politik uang. Ia mengingatkan bahaya laten politik identitas berpotensi muncul kembali di Pilpres, Pileg, Pilkada serentak 2024. Tidak ada jaminan tidak akan terjadi. Praktik politik identitas memang tidak semasif intensitas dari penggunaan politik uang dan juga politik dinasti, grafiknya juga tidak naik terus-menerus atau lebih fluktuatif. Daerah juga tidak banyak yang menggunakan politik identitas tersebut. Dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia menerima dampak buruk yang jauh lebih besar dari penggunaan praktik politik identitas. Ancaman politik identitas ini jauh lebih berbahaya dari politik uang, karena tiga sebab, pertama politik identitas tidak bersifat temporal seperti politik uang, politik uang dia hanya berlaku pada waktu tertentu saja.
Maksudnya bahwa tidak ada praktik politik uang yang terjadi setelah kepala daerah terpilih ditetapkan atau praktik ini akan berakhir dalam waktu tertentu, namun politik identitas tetap terjadi meski kepala daerah sudah memangku jabatan.
Kemudian politik uang hanya bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, sementara politik identitas meskipun satu daerah yang menyelenggarakan pilkada namun pengaruhnya bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Dan sebaliknya jadi kasusnya temporal, lokalistik, tapi efeknya justru menyebar, dan panjang, dia terjadi di satu tempat tapi meluas efeknya sampai ke seluruh Indonesia. Praktik politik identitas juga memicu keterbelahan di tengah masyarakat, dan hal itu tidak terjadi di politik uang.