POLITIK/ISU SARA
(Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan)
Isu sara adalah salah satu isu yang sedang berkembang dengan pesat di Indonesia belakangan ini.
Kepanjangan sara yaitu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan telah menjadi salah satu pokok konflik sosial yang rupanya sangat sensitif bagi sebagian besar publik. Salah satu alasannya adalah karena multikulturalisme yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kemajemukan / keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai digunakan oleh para elit politik dalam kampanye-kampanyenya. Mobilisasi massa menggunakan konten sara dirasa dapat menjadi salah satu jalan tercepat dan termudah untuk menarik simpati dan dukungan. Dan pada praktiknya, hal ini memberikan hasil yang cukup signifikan.
Dalam konsep sara ada pengertian konflik horisontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan ekonomi-politik antar-golongan (Taufik A.Mullah, 1997).
Dalam sejarahnya, banyak rentetan kerusuhan dan konflik selalu didasarkan pada sentimen dan konsep sara. Hal ini dikonstruksikan oleh para pemegang kekuasaan. Mereka cenderung tidak pernah bergeming dari perspektif lain dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali sara yang selalu dijadikan sebagai tersangka utama dan kausa prima dari gejolak sosial tersebut.
Dampak sosiologis dari kondisi seperti ini membuat konstruksi sosial tentang makna sara dalam masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim bahkan kontestan kompeteter mengimbangi akibatnya menjadi tidak sangat sehat suhu pertarungan perpolitikan. Sara dipandang oleh negara sebagai sumber perpecahan dan konflik sosial.
Hal ini lantas menjadikan sara sebagai suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. Sara oleh masyarakat selalu dilihat sebagai sebuah potensi konflik daripada energi politis yang dapat mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan yang menjadi kepanjangan sara adalah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun di dalam masyarakat baik dalam masyarakat pada jenjang perkembangan tradisional maupun modern. Kenyataan sosial menegaskan bahwa masyarakat-masyarakat di dunia ini terdiri dari berbagai macam etnis, agama dan golongan. Kenyataan seperti itu tidak jarang menciptakan problem sosial seperti masalah konflik dan disintegrasi.
Tetapi pada sudut lain (berdasarkan temuan-temuan historis) sara justru dijadikan arena pemberdayaan dan demokrasi. Elemen-elemen dalam sara tidak selalu terpisah secara kaku. Ada kemungkinan terjadi hal yang oleh seorang sosiolog bernama Peter Blau (1964) dinamakan cross cutting afiliation. Misalnya, ada orang-orang yang berbeda ditinjau dari etnis tetapi disatukan dalam agama, ekonomi, dan kepentingan yang sama.
Karena sara merupakan kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi melalui monolitikisasi masyarakat, cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan pasti berakhir dengan disintegrasi sosial (Berger dan Neuhauss, 1977).
PENYEBAB POLITIK SARA
Politik sara adalah suatu kegiatan yang dilakukan politikus dengan memanfaatkan isu suku, agama, ras dan antar golongan sara untuk mendapatkan simpati dari masyarakat saat pemilihan umum. Regulasi penggunaan isu sara diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Maraknya politik bernuansa sara (suku, agama, ras, dan antargolongan) serta politik identitas di pemilihan kepala daerah disebabkan karena lemahnya kaderisasi di tubuh internal partai politik.
Politik sara tidak boleh dipandang secara sempit, tetapi harus dilihat secara luas sebagai kelemahan parpol melakukan kaderisasi dan rekrutmen.
Politik sara marak terjadi di Indonesia karena kaderisasi tidak berjalan dan rekrutmen calon tidak dilakukan secara demokratis.
Faktor lain terjadinya politik sara karena kadernya lemah, maka yang mainkan adalah politik sara demi meraih kekuasaan. Yang muncul di ruang publik, kata dia hanya ujaran kebencian yang berdaasarkan sara.
Pertarungan kontestan bukan lagi soal program, visi dan misi para kandidat, tetapi llebih soal sara yang bisa memecah-belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.
Politik identitas dan sara merupakan tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia di Pilpres, Pilkada Serentak, pemilihan calon legislatif dan Pemilu 2024. Polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi sara bakal menguat. Peristiwa pada beberapa Pilpres dan Pileg serta Pilkada serentak beberapa tahun kemarin bisa jadi membuat beberapa oknum beranggapan bahwa kampanye jahat, hoax, fitnah dan politisasi sara dalam kampanye merupakan pendekatan yang mudah, murah dan efektif menjadi basis pemenangan pilkada. Apalagi jika aktor yang terlibat tidak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif dan demokratis.
Sebagaimana diketahui, data terakhir menunjukkan ada 200 juta pengguna Facebook dan medsos di Indonesia (nomor 4 terbesar di dunia), 70 juta orang pengguna twitter, dan 65 juta orang pengguna Instagram. Ini menunjukkan bahwa media sosial ternyata jadi pisau bermata dua. Media sosial bisa menjadi medium luar biasa berkembangnya kampanye jahat, hoax, fitnah, dan politisasi sara.
Lebih berbahaya lagi, adalah media perpesanan personal macam medsos android, dan sejenisnya yang menjadi medium tak terbendung untuk menyebarkan kebencian, kabar bohong, dan fitnah seputar calon, penyelenggara, maupun teknis administrasi pelaksanaan pilkada.
Perlu langkah bersama untuk mencegah politik sara dan politik identitas di Pilpres, Pilkada Serentak, pemilihan calon Pilpres, Pilkada Serentak, pemilihan calon legislatif dan Pemilu 2024.
Langkah tersebut adalah :
1. Partai politik perlu mengusung kader-kader yang berkualitas, berjiwa budaya berbudi pekerti karakter bangsa dan berintegritas di Pilkada sehingga pertarungan di Pilkada tidak diwarnai oleh kampanye berbau sara, tetapi pertarungan program-program membangun daerah.
2. Menciptakan masyarakat yang melek digital. Karenanya pendidikan bagi warga untuk menjadi pengguna digital yang bijaksana mesti menjadi agenda prioritas berkesinambungan dan juga terkonsolidasi antar semua pemangku kepentingan terkait pemilu, meliputi KPU, Bawaslu, Kominfo, Kemdiknas, Kemdikti, Kempora, KPPPA, Kemendagri, pemerintah daerah, dan tentu masyarakat sipil dan institusi yang terkait baik pemerintah maupun swasta/lembaga dalam hal ini masyarakat Indonesia seluruhnya.
3. KPU sebagai ananat menjalankan UU bisa mengambil inisiatif untuk mengkonsolidasikan seluruh aktor negara yang memiliki otoritas dan sumber daya untuk bekerja sama melawan penyimpangan politik SARA, kampanye hoax, berita dusta, maupun fitnah dalam pilkada dan pemilu. Tentu dengan transparansi, akuntabilitas, dan tindakan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, kepastian hukum, dan penghormatan pada HAM.
4. Soliditas dan konsolidasi gerakan kritis masyarakat sipil dan jurnalisme media adalah bentuk pengawasan yang bisa menjadi penyeimbang dalam pesimisme penegakan hukum pemilu. Harapannya, ini akan membentuk pemilih yang berani menuntut kompetisi partai yang kompetitif dan memaksa lahirnya politisi-politisi berintegritas.
PERAN GENERASI MUDA MENANGKAL ISU SARA
Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa dalam suksesi kepemimpinan bangsa Indonesia peran generasi muda tidak dapat dilepaskan dan tidak dapat dilupakan. Pemuda mengambil setiap bagian penting dari sejarah perjalanan kepemimpinan bangsa ini. Seperti peran pemuda dalam peristiwa Rengasdengklok, Sumpah Pemuda dan yang paling lekat dalam ingatan kita adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 dimana generasi muda Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peristiwa reformasi pemerintah dan dorongan untuk melaksanakan proses demokrasi yang lebih substansial.
Tidak heran mengapa generasi millenial pada akhirnya ditempatkan pada posisi penting di era sekarang ini karena jumlahnya yang begitu dominan dan diketahui bersama bahwa generasi millenial sangat dekat dengan teknologi, kehidupan generasi ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi dan internet.
Selain itu, generasi millenial memiliki karakteristiknya tersendiri, mereka memiliki sifat yang lebih toleran terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi yang semakin cepat, di mana anak muda zaman sekarang dapat berinteraksi dengan manusia dari berbagai belahan dunia. Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung dan tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang tidak mengenal batas-batas antara negara satu dengan negara yang lain.
Globalisasi membuat generasi millenial menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, wawasan mereka terhadap keberagaman pun menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup tinggi dari generasi ini, dari sikap yang toleran ini diyakini bahwa generasi millenial memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi di negeri ini.
Issue-issue sara muncul ke permukaan publik dan menjadi konsumsi masyarakat yang mengakibatkan kurang produktif, yang seharusnya masyarakat disuguhkan dengan berbagai program unggulan bukan dengan issue-issue yang bisa memecah belas persatuan bangsa. Terkadang berbagai cara dilakukan oknum-oknum kepentingan untuk mendapatkan suara dalam pilkada seperti menyebarkan kebencian atau mempolitisasi isu sara. Cara ini dianggap efektif untuk mendapatkan simpati warga. Namun akibatnya, penyebaran isu sara di dunia politik dapat menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatan sebagai tindakan sara.
Politik sara adalah suatu kegiatan yang dilakukan politikus dengan memanfaatkan isu suku, agama, ras dan antar golongan sara untuk mendapatkan simpati dari masyarakat saat pemilihan umum.
Regulasi penggunaan isu sara diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.
Politisasi sara dinilai menjadi yang tertinggi sebagai faktor penghambat Pemilu. Potensi yang bisa menghambat penyelenggaraan pemilu yang terttinggi adalah politisasi sara dan identitas mencapai 30 - 35 persen.
Politik SARA sangat berbahaya apabila terus menerus mendapat tempat di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai generasi millenial, sudah seharusnya cerdas dalam memilih kepala daerah. Generasi Millenial juga dituntut untuk aktif dalam menangkal hoax, utamanya yang marak beredar di media sosial yakni dengan melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang. Kontribusi setiap pihak juga sangat diperlukan untuk mewujudkan Pilkada sebagai hajatan demokrasi masyarakat Indonesia dan melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Mengingat bahaya penggunaan isu sara tersebut, generasi muda penerus bangsa Indonesia terus semangat mengkampanyekan gerakan-gerakan positif yang bisa menjaga kondusifitas selama gelaran Pilkada serentak tahun 2024 mendatang berlangsung, diantaranya :
1. Pluraritas adalah kekayaan potensial yang tidak dimiliki negara lain.
2. Jangan memanggil orang dengan julukan berdasarkan sara.
3. Jangan menghakimi dan berpikir negatif tentang suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda.
4. Meningkatkan toleransi suku, ras, dan golongan yang berbeda.
5. Jangan memaksakan kehendak pada orang lain.
6. Menyaring informasi disekitar kita.
7. Menghormati dan mengasihi orang lain.
8. Melakukan dan memikirkan hal-hal positif secara bersama-sama.
9. Menyadari bahwa isu sara dapat memecah belah bangsa.
10. Peran generasi millenial sangat penting karena ciri khas berpikir yang rasional, kreatif serta inovatif, diharapkan menjadi garda terdepan dalam menangkal isu sara dalam suksesi Pilpres, Pilkada Serentak, pemilihan calon legislatif dan Pemilu 2024 di Indonesia.