Islamofobia
Istilah Islamofobia pertama kali viral diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan Runnymede Trust Report tahun 1991 dan didefinisikan sebagai permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam, dan, dengan demikian, ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam.
Islamophobia merupakan sebuah istilah yang digunakan
sebagai sebutan kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi,
ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Muslim.
Islamofobia adalah sebuah fobia atau suatu ketakutan,
kebencian atau prasangka terhadap Islam atau Muslim secara umum, terutama bila
dipandang dari sisi
Islamophobia merupakan ketakutan dan kebencian yang tidak
rasional terhadap Islam.
Islamophobia bukanlah hal baru. Allah Swt di dalam
Alquran Surat At-Taubah ayat 32 dan Surat As-Shaff ayat 8 menyebut bahwa
kebencian yang diwujudkan (makar) terhadap Islam akan selalu ada. Meskipun
begitu, umat Islam tidak selayaknya berdakwah dengan cara konfrontatif.
Rasulullah bahkan mengajarkan agar umatnya mendakwahkan Islam dengan cara yang
santun dan menjaga lisannya dari menjelekkan kepercayaan, iman, atau ajaran
agama selainnya.
Sebenarnya, istilah Islamophobia ini sendiri sudah
terjadi sejak zaman Rasulullah, ketika beliau berdakwah dan terdapat banyak
para kaum kafir Quraisy yang menentang ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
tersebut.
Islamophobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan yang
tidak masuk akal dan prasangka terhadap, Muslim atau Islam. Islamophobia sudah
menyebar semenjak kejadian 9/11, dunia sudah meragukan dan takut akan adanya
Islam hampir disetiap negara. Teman-teman pasti sudah tahu mengenai kasus yang
terjadi di Rohingya, Ughyur, dan ditempat lainnya.
Teori konstruktivisme
Islamofobia merupakan studi kasus teori konstruktivisme
dalam hubungan internasional. Teori konstruktivisme adalah teori yang meyakini
bahwa segala sesuatu yang terjadi di masyarakat saat ini tidak terbentuk dengan
sendirinya tetapi terjadi atau muncul sebagai hasil konstruksi atau kreasi
manusia dalam jangka panjang. Isu Islamofobia sesuai dengan pemikiran
konstruktivisme dikarenakan Islamofobia merupakan tatanan yang telah lama
diatur oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan di balik fenomena ini. Oleh
karena itu, pihak-pihak yang berkepentingan segera menyebar dan mengkampanyekan
ke seluruh dunia bahwa Islam adalah agama yang kejam dan tidak manusiawi
sehingga cepat atau lambat sebagian masyarakat terutama warga Eropa dan Amerika
mempercayainya dan akhirnya mereka yang meyakininya turut menyebarkan
Islamophobia. Pandangan konstruktivisme ini sesuai dengan fenomena Islamofobia
yang merupakan hasil konstruksi panjang bahwa Islam itu kejam, keji, dan tidak
manusiawi. Karena proses pembangunannya, Islamofobia seperti sekarang ini.
Konstruktivisme juga menekankan bahwa orang yang kuat
atau hebat adalah orang yang dapat menciptakan sejarahnya sendiri melalui
pengetahuan yang dimilikinya (Robert & Sorensen, 2009: 307-308).
Pengetahuan ini akan digunakan untuk menciptakan suatu kekuatan baru, misalnya
kemampuan untuk mengkonstruksi atau menciptakan suatu pandangan tertentu yang
dianggap benar oleh masyarakat.
Mengutip Surat Al-An’am ayat 108 yang berisi larangan
Allah Swt untuk memaki sesembahan umat agama lain. Hal ini kata dia perlu
diperhatikan. Apalagi di Indonesia, kehidupan keagamaan adalah hal yang sakral
sehinga setiap umat beragama wajib untuk saling menghormati kepercayaan yang
berbeda.
Maka janganlah menghina agama orang lain dalam konteks apapun
juga,
Pada masyarakat luas, kita harus berhati-hati untuk tidak
menghina agama lain.
Untuk menjaga harmonitas antar umat beragama yang saling
menghargai, Dadang juga berharap pemerintah merespon dengan cara melakukan
perincian pasal penistaan agama yang melindungi Islam dan agama lain dari
hasutan dan kebencian.
nilai-nilai Islam benar-benar mengayomi seluruh umat
manusia sebagai pengejawantahan dari ayat :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الانبياء 107)
Dan
Kami tidak mengutusmua wahai Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta.
Sudah
dari semula bahwa Islam adalah agama yang mempunyai nilai-nilai unggul bahkan
tidak bisa diungguli oleh kekuatan lain. Islam adalah agama yang penuh kasih
(QS. Al-Baqarah: 83 dan 195), toleran (QS. Al-Kahfi: 29 dan QS. Al-Kafirun: 6),
moderat (QS al-Baqarah: 143), mengakui dan menghargai perbedaan (QS: Hud 118),
demokratis (QS As-Syura 38), egaliter (QS. Al-Hujurat: 13), simple/fleksible
(QS. Al-Hajj: 78 dan Al-Baqarah: 185). Bahkan ayat yang pertama turun adalah
seruan untuk berpikir dan menganalisis alam semesta melalui Iqra’ atau membaca
(QS. Al-Alaq: 1-3) serta puluhan ayat yang mendukung kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Dari
nilai-nilai universal yang dahsyat itu, umat Islam pernah melahirkan
tokoh-tokoh dan ilumwan kelas internasional di zaman kejayaannya. Sebut saja
ahli fisika (Ibnu Haitham, peletak dasar ilmu teleskop), kimia (Abu Bakar
Muhammad ar-Razi/Rhazes), kedokteran (Ibnu Sina/Avessina), matematika
(Al-Khuwarizmi dengan aljabarnya, Umar Khayyam dengan Geometrinya dll), ilmu
astronomi (Abu’l Hasan al-Harrani), filsafat (Ghazali dkk), sosiologi (Ibnu
Khaldun), ekonomi (Al-Mawardi), seniman (Muhammad al-Farabi) dan ratusan
cendekiawan, ilmuwan, pakar, sastrawan yang tiada terhitung jumahnya, belum
lagi ahli ilmu agama yang melahirkan karya-karya hukum, Islam dari berbagai
disiplin ilmu dan mazab. Singkat cerita, Islam telah menyumbang peradaban dunia
yang adiluhung, luhur, bernilai tinggi dan benar-benar mengubah wajah dunia
kala itu dengan semangat rahmatan lil alamin-nya.
Menangkal Islampobia
Islam sangat menjunjung tinggi masalah toleransi terhadap
pemeluk agama yang lain, terutama dalam masalah akhlak (tingkah laku) orang
Islam terhadap siapapun, baik itu terhadap saudara, tetangga, teman dan lain
sebagainya. Bahkan terhadap umat yang lain. Ketika ada orang Islam yang membuat
retaknya kerukunan hidup antar umat beragama, tentunya hal itu tidak berdasar pada
ajaran Islam, melainkan mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Islam itu menyeluruh, jadi segala permasalahan hidup
pasti ada di Islam. Sebagai muslim, kita adalah cerminan Islam yang dilihat
orang non muslim. Bagaimana sikap kita, begitulah mereka menilai Islam. Islam
itu indah, damai, tenteram, dan aman, dan kita harus memberi pemahaman kepada
saudara non-muslim dengan sikap kita yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bahwa
islamophobia telah secara nyata menggerogoti keharmonisan kebhinekaan di
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya fenomena saling mengkafirkan antar
sesama Muslim dan kefanatikan antar golongan Islam di Indonesia. Sebagai
tawaran menghadapi ancaman perpecahan dari tingginya pengaruh islamophobia
adalah dengan menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil alamin untuk menjaga
keharmonisan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Isu islamophobia secara tidak sadar telah hadir di tengah
masyarakat dan dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia,
khususnya narasi-narasi yang mengarahkan islamophobia seperti :
1.
Terorisme.
2.
Ekstrimisme dan.
3.
Radikal yang masif
digaungkan melalui media sosial.
Islam bahkan agama lain telah mengamalkan sesuai dengan
dasar dan konstitusi negara untuk menjaga kesatuan negara. Sehingga perlu
diberikan kesadaran bagi masyarakat agar bersinergi untuk memberantas
islamophobia.
bahwa problem utama di Indonesia adalah terkait
permasalahan antara nasionalisme dan Islam yang kadang-kadang pasang surut,
padahal arus nasionalisme dan arus Islam itu sudah diselesaikan dengan perumusan
Pancasila khususnya pada sila pertama. Fenomena saat ini adalah mereka yang
memberikan narasi tentang Islam merupakan mereka yang anti pemerintah, maka
kemudian ketika kita membicarakan tentang anti-islamophobia itu orang yang di
luar pemerintahan, sedangkan orang yang di pemerintahan justru dianggap sebagai
pelaku, penggagas atau bahkan bagian dari islamophobia, paling tidak bagian
dari pemerintah, sepeti misalnya para buzzer dan sebagainya. Kalau ada isu
tentang Islam yang diributkan, langsung cepat diangkat. Oleh karena itu, kita
telah menjalankan bernegara yang tidak sehat, permasalahan tantangan di Indonesia selain
islamophobia adalah korupsi dan pejabat yang haus kekuasaan. Sisi lain,
Islamophobia bisa jadi motif dari oligarki dan kekuasaan. Oleh karena itu,
salah satu bentuk melawan oligarki dan kekuasaan tersebut melalui proses
pemilihan ke depan untuk memilih pemimpin negara juga perlu kita ubah. Dan hal
yang terpenting adalah memiliki pemerintah yang mau memerangi korupsi
Ke depan yang harus dilakukan untuk berantas islamophobia adalah kita harus kembali kepada asumsi dasar bernegara, yaitu Pancasila. Tetapi ketika kita berbicara tentang Pancasila, terkadang kesannya klise, padahal nilai-nilainya memiliki unsur yang baik sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dengan hal ini jika menerapkan Pancasila tidak adalagi islamophobia ataupun phobia dengan agama yang lain, dan semua agama harus menempatkan tempat yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai agamanya dalam kerangka Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Ada dua hal yang dapat menangkal Islamophopia di Indonesia
:
Pertama, internal umat muslim harus berupaya
mempromosikan Islam Wasathiyah (tengah). Wasathiyah berasal dari akar kata
wasatha.
Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy
al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti :
وَسَطُ الشَّيْءِ
مَا بَيْنَ طَرْفَيْهِ
Artinya:
“sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi
Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah
terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian
tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu
Katsir dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada
di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah
di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga
bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa
kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ,
kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji,
seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung.
Dan
demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan, artinya dan demikianlah
Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama
Islam. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami
memilihkannya untuk kalian.
Kami
menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat,
pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan
dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak
seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.
Al-Thabary
memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna
seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata
al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang
bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Di
antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu :
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَكَذَالِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا
.
Artinya:
Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat
yang wasathan.
Beliau
berkata : (maknanya itu) adil.
Berdasarkan
pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih
menggunakan kata al-wasath dari pada kata al-khiyar ? Jawaban terkait hal ini
setidaknya ada dua sebab, yaitu :
a.
Pertama,
Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam
sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya
harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang
(proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak
bisa memberikan penilaian dengan baik.
b.
Kedua,
penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam
yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka
berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam
hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Berdasarkan
pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti makna yang
terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap
melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith),
terpilih, adil dan seimbang.
Ditinjau
dari segi terminologinya, makna kata wasathan yaitu pertengahan sebagai
keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah
yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan
material (madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas
(jama’iyyah).
Kontekstual
(waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur).
Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum),
sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.
Bahkan,
amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan dalam
prinsip-prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan
anthropocentris (hablun min al-nas).
1.
Pertama, internal
umat muslim harus berupaya mempromosikan Islam Wasathiyah (tengah).
2.
Kedua, yaitu
menampilkan Islam yang ramah, santun, dan memberikan solusi ke agama lain.
Menurut Gus Mus Ada Empat
Strategi Atasi Islamophobia
Ajaran Islam yang sejati sebagaimana pemahaman Ahlussunah
wal Jamaah berintikan rahmat dan bertujuan memperbaiki moral masyarakat. Namun,
karena sering muncul pemberitaan kaum ekstremis melancarkan kekerasan, kalangan non-muslim menganggap bahwa
tindakan-tindakan keliru dari sebagian umat Islam itu benar-benar merupakan
ajaran Islam, dan menyalahkan Islam sebagai agama.
Pengasuh Pondok Pesantren Leteh Rembang ini menuturkan,
ada empat dasar stategi untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu :
1.
Pertama,
menenekankan pengertian perjuangan mengatasi ekstremisme agama adalah bagian
dari perjuangan mewujudkan tata dunia yang damai dan adil.
2.
Kedua, gagasan
ekstrimesme Islam yang bersumber dari pemahaman agama yang dangkal harus
dihadapi dengan penyebarluasan ajaran para ulama Aswaja yang mendalam ilmunya.
3.
Ketiga, konsolidasi
dan mobilisasi para ulama (Aswaja) seluruh dunia untuk membimbing umat agar
pemahaman tentang Islam yang berintikan rahmat menjadi konsensus yang kuat di
kalangan umat Islam di seluruh dunia.
4.
Keempat, kerja sama
erat di antara kelompok muslim moderat dengan kelompok yang obyektif di luarnya
untuk menetralisir pandangan-pandangan ekstremis Islam dan Islamophobia yang
berkembang dalam masyarakat. Empat hal itu harus dilakukan segera oleh ulama
dan umaro.
Islamophobia dan Pancasila
Islam memberikan solusi terhadap problem yang
tengah dihadapi dunia Islam. Umat yang jadi wasit dengan menegakkan keadilan.
Islam menjadi penengah antara pemahaman ekstrem kiri dan kanan.
Misalnya, pihak yang ingin membawa umat beragama tidak
mempunyai sikap Ketuhanan.
Ekstrem kanan, misalnya beragama secara berlebihan,
misalnya mendirikan negara Islam. Ini berlebihan karena tidak ada perintah
Al-Quran secara spesifik.
Yang ada dalam Islam adalah prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam.
Negara untuk mencari jalan tengah dan mampu memberikan
solusi.
Isu Islamophobia secara tidak sadar telah hadir di tengah
masyarakat dan dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia,
khususnya narasi-narasi yang mengarahkan islamophobia seperti terorisme,
Ekstrimisme, dan radikal yang masif digaungkan melalui media sosial.
Padahal, Islam bahkan agama lain telah mengamalkan sesuai
dengan dasar dan konstitusi negara untuk menjaga kesatuan negara. Sehingga
perlu diberikan kesadaran bagi masyarakat agar bersinergi untuk memberantas
islamophobia.
Bahwa memberantas islamophobia menjadi angin segar
setelah PBB menetapkan hari anti-islamophobia. Hal tersebut juga telah
dilakukan oleh pemerintah melalui pengarustamakan Islam moderat. Pentingnya moderasi beragama yang terus
digaungkan untuk menghilangkan perilaku keberagamaan yang merugikan umat Islam
sendiri dan menakutkan orang lain. Amanat menetapkan hari anti-islamophobia tersebut bahwa tidak boleh ada yang menyakiti
dan tersakiti karena hal tersebut dapat memacu ekstrimisme yang dapat mengancam
stabilitas nasional. Islamophobia merupakan bentuk lain dari ekstrimisme dan
kita harus menangkal dan melawan secara bersama-sama dengan cara-cara manusiawi
dan beradab.
Sementara itu, problem utama di Indonesia adalah terkait
permasalahan antara nasionalisme dan Islam yang kadang-kadang pasang surut,
padahal arus nasionalisme dan arus Islam itu sudah diselesaikan dengan
perumusan Pancasila khususnya pada sila pertama. Dan di era disrupsi ini perlu
ada perhatian khusus terkait isu-isu islamophobia terlebih di ruang publik. Dunia
media sosial menjadi nafas kehidupan kita, oleh karena itu dari sisi ideologi
jika islamophobia marak terjadi di medsos ini, secara perlahan islamophobia
akan merusak kesatuan dan kebangsaan.
Fenomena saat ini adalah mereka yang memberikan narasi
tentang Islam merupakan mereka yang anti pemerintah, maka kemudian ketika kita
membicarakan tentang anti-islamophobia itu orang yang di luar pemerintahan,
sedangkan orang yang di pemerintahan justru dianggap sebagai pelaku, penggagas
atau bahkan bagian dari islamophobia, paling tidak bagian dari pemerintah,
sepeti misalnya para buzzer dan sebagainya. Kalau ada isu tentang Islam yang
diributkan, langsung cepat diangkat. Oleh karena itu, kita telah menjalankan
bernegara yang tidak sehat. Permasalahan tantangan di Indonesia selain
islamophobia adalah korupsi dan pejabat yang haus kekuasaan. Sisi lain,
Islamophobia bisa jadi motif dari oligarki dan kekuasaan. Oleh karena itu,
salah satu bentuk melawan oligarki dan kekuasaan tersebut melalui proses
pemilihan ke depan untuk memilih pemimpin negara juga perlu kita ubah. Dan hal
yang terpenting adalah memiliki pemerintah yang mau memerangi korupsi. Ke depan
yang harus dilakukan untuk berantas islamophobia adalah kita harus kembali
kepada asumsi dasar bernegara, yaitu Pancasila. Tetapi ketika kita berbicara
tentang Pancasila, terkadang kesannya klise, padahal nilai-nilainya memiliki
unsur yang baik sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dengan hal ini jika
menerapkan Pancasila tidak adalagi islamophobia ataupun phobia dengan agama
yang lain, dan semua agama harus menempatkan tempat yang sama untuk
memperjuangkan nilai-nilai agamanya dalam kerangka Pancasila dan konstitusi UUD
1945.