ALGORITMA POLITIK & POLARISASI
Kemajuan Teknologi dan informasi telah menghadirkan berbagai situasi baru didalam iklim politik baik lokal, nasional bahkan internasional. kecanggihannya memproses data kerap digunakan didalam usaha meningkatkan bisnis periklanan, mengingat masif-nya jumlah pengguna social media di Indonesia, merupakan angka yang seksi untuk dijual. Teknologi juga telah menempatkan kita di dalam situasi shifting hampir setiap saat, atau dalam kata lain teknologi telah berhasil mengubah cara manusia hidup, berfikir bahkan hingga mengambil sebuah keputusan termasuk keputusan politik.
FB dan Instagram (media sosial lainnya) contohnya dengan jumlah pengguna diatas 70 Juta mereka telah mencoba mengolah angka tersebut dengan merekam dan menganalisis riwayat penjelajajahan media sosial. Dari semua informasi seperti riwayat klik, suka, komentar, pencarian, teman-teman, lokasi, hingga pandangan politik akan dicatat dan digunakan untuk memutuskan informasi yang muncul dan tidak muncul di Timeline kita. Upaya penyaringan ini dilakukan lewat algoritma.
Di satu sisi hal ini memudahkan seseorang untuk menerima informasi mengenai hal yang diminati namun disisi lain hal ini sekaligus menyumbat datangnya informasi baru yang mungkin tidak diminati oleh pengguna, Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, rata-rata penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia adalah 1-3 jam dalam sehari. Adapun persentasenya mencapai 43,89 persen. Sementara itu, ada pula pengguna yang mengakses internet selama 4-7 jam dalam sehari dengan persentasenya mencapai 29,63 persen. Selain itu, sebanyak 26,48 persen pengguna internet di Indonesia juga mengaksesinternet selama lebih dari 7 jam dalam sehari. Angka ini memberi kesan bahwa bisa lahir dampak negatif akibat dari algoritma sosial media yang diterapkan, dimana jumlah pengguna nya sangat banyak, diakses dengan waktu yang cukup lama dan bahkan diakses setiap hari.
CONTOH MOMENTS DI USA SEBAGAI TOLOK UKUR BAIK DAN BURUKNYA
Hal ini lah yang disadari oleh Tim kampanye Donald Trump pada pemilu di US dimana sosial media berperan penting sehingga dilakukan operasi politik bersama dengan lembaga survei sekaligus konsultan politik internasional, Cambridge Analytica yang mengumpulkan data melalui fitur survei di facebook untuk kemudian beberapa pengguna ditargetkan untuk menjadi sasaran iklan politik Trump.
Melalui penggunaan data yang dimiliki facebook maka Iklan politik Trump bisa langsung menyasar segmen pemilih yang sesuai dengan apa yang di iklankan, sebagai contoh Segmen pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters) akan mendapatkan iklan dengan bujukan memilih, kelompok pemilih yang peduli pendidikan akan mendapatkan iklan mengenai program pendidikan, begitu juga kelompok pemilih yang memiliki kepedulian di dalam isu isu tertentu. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa Hillary yang unggul dimayoritas survei di US justru kalah dengan Trump, bahkan Sampai hari-H sebelum pencoblosan, poling dari Economist/YouGov, Bloomberg, IBD, ABC, Fox News, Monmouth, CBS News, dan Reuters memperkirakan Hillary menang dengan selisih 1 sampai 6 persen. Hanya poling dari LA Times yang menunjuk kemenangan Trump pada angka 5 persen. Hal tersebut menjadi masuk akal ketika diketahui banyak pendukung trump yang malu mengungkapkan kepada publik mengenai dukungan politiknya, namun disaat yang bersamaan justru mendapatkan pesan secara masif melalui sosial medianya.
HUBUNGAN POLARISASI DAN ALGORITMA POLITIK
Polarisasi yang lahir akibat dari algoritma politik yang menyebabkan militansi dukungan berlebih pada trump ternyata melahirkan situasi baru dimana sebuah penelitian menyimpukan bahwa ada Family Arguments diantara keluarga yang mendiskusikan pilihan politiknya pada Thanksgiving Dinner ketika Pilpres Amerika 2016 sehingga makan malam tersebut menjadi lebih singkat 30-50 menit dari biasanya. Militansi berlebih yang lahir akibat dari algoritma politik di US ternyata terbukti menimbulkan efek samping negatif pada situasi intim para pemilih. Tidak heran mengapa Isitilah istilah seperti Post-truth dan filter bubble yang merupakan efek dari algoritma sosial media juga hadir di dalam kontestasi pemilu Indonesia tahun 2019 ini dimana memang algoritma yang dimainkan para politisi telah menciptkan pengingkaran terhadap eksistensi gagasan lain selain daripada yang diminati oleh para pengguna, polarisasi jelas ada dan juga terbukti membuat dampak negatif pada proses pemilihan umum di Indonesia. Oleh karna nya penting bagi kita didalam memilah informasi yang masuk sehingga tidak termakan oleh algoritma sosial media yang digunakan untuk kepentingan politik demi mencegah polarisasi yang kelewatan.
POINT Consultant