ALLAH MAHA PENGASIH DAN MAHA PENYAYANG
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
(YANG MAHA PENYAYANG LAGI MAHA PENGASIH)
Kedua sifat ini berasal dari kata رَحْمَة. Terjemah kedua sifat ini dengan yang maha penyayang lagi maha pengasih adalah terjemah yang mendekati kebenaran. Tambahan maha untuk menunjukkan bahwasanya rahmat Allah SWT tidak sama dengan rahmat makhluk-Nya. Oleh karenanya dibedakan keduanya dengan kata Maha yang menunjukkan puncak sayang dan puncak kasih. Allah SWT berfirman,
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ
“Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (Al-Kahfi: 58)
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman,
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Mukmin: 7)
Dalam ayat ini Allah SWT menggandengkan antara rahmat dan ilmu. Sebagaimana kita ketahui ilmu adalah sifat bagi Allah SWT maka begitu juga rahmat adalah sifat bagi Allah SWT. Penulis ingin menekankan hal ini karena para penolak sifat seperti Asyairah dan Muktazilah mengatakan bahwa Allah SWT tidak memiliki sifat rahmat. Kita katakan yang benar Allah SWT memiliki sifat rahmat dan dalilnya sangat banyak sekali, Nabi Muhammad Saw bersabda,
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.”
Kita tahu bahwasanya seorang ibu memiliki sifat sayang kepada anaknya, kemudian Rasulullah Saw mengatakan bahwa Allah SWT lebih sayang. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw membandingkan antara kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya dengan kasih sayang ibu kepada anaknya. Perbedaannya adalah kasih sayang Allah SWT adalah maha, berbeda dengan kasih sayang seorang ibu.
Kisah ini disebutkan dalam Shahih Muslim dan lainnya tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Kita tahu bahwasanya kasih sayang terbesar yang ada di alam semesta ini adalah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, kasih sayangnya lebih besar dari pada yang lainnya. Terlebih lagi ibu tersebut kehilangan anaknya, dia mencari-cari namun tidak mendapatkannya. Begitu ia menemukan anaknya maka ia segera mendekap sang anak dan menyusuinya. Ini adalah gambaran kasih sayang yang terbesar yang ada saat itu. Ketika Nabi Muhammad Saw melihat pemandangan seperti itu maka beliau menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjelaskan kepada para sahabat agar mereka bisa mengerti tentang makna rahmat Allah SWT. Oleh karenanya ketika Nabi Muhammad Saw bertanya kepada para sahabat,
أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟
“apakah kalian memandang bahwa ibu ini akan melempar anaknya ke api?”
Maka para sahabat menjawab: tentu tidak wahai Rasulullah, bagaimana mungkin dia akan melemparkannya sementara dia mampu untuk menyelamatkannya. Rasulullah Saw pun berkata,
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.”
Jika kita tahu bahwasanya Allah SWT sangat sayang kepada kita maka kelazimannya adalah apabila kita tertimpa sesuatu hendaknya kita segera menuju Allah SWT. Bukankan jika kita tertimpa suatu permasalahan maka kita akan pergi kepada orang yang sangat sayang kepada kita? Bukankah anak kecil ketika tertimpa suatu masalah maka dia akan berlari menuju ibunya? Ini dikarenakan ibunya adalah orang yang paling menyayanginya. Seseorang tidak mungkin pergi kepada orang yang tidak menyayanginya. Nah, jika kita tahu bahwa Allah SWT maha sayang kepada hamba-hamba-Nya maka seharusnya segala permasalahan kita serahkan kepada Allah SWT. Ini adalah di antara fungsi mengapa kita harus mempelajari tentang sifat rahmat Allah SWT.
Penulis ingin menjelaskan bahwasanya Ahlusunah menetapkan Allah SWT memiliki sifat rahmat. Adapun ahli bidah di antaranya Muktazilah dan Asyairah mereka mengingkari sifat rahmat. Mereka mengatakan bahwasanya Allah SWT tidak memiliki sifat rahmat, menurut Muktazilah bahwa rahmat adalah majas sebagaimana yang dikatakan oleh Zamakhsyari di awal kitabnya al-Kasysyaaf, ia berkata,
هُوَ مَجَازٌ عَنْ إِنْعَامِهِ عَلَى عِبَادِهِ
“maksud dari rahmat adalah majas dari karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya.”
Adapun Asyairah maka mereka menempuh dua metode sebagaimana yang disampaikan oleh Ar-Razi dalam kitabnya Syarah al-Asma’ al-Husna:
Pertama: menakwilkan sifat rahmat kepada sifat iradah/kehendak sehingga maknanya adalah kehendak Allah untuk memberi kebaikan kepada hamba-hamba-Nya. Mereka menakwilkan sifat rahmat dengan sifat iradah karena menurut mereka Allah SWT hanya memiliki 7 sifat. Mereka tidak menetapkan sifat rahmat karena menurut mereka Allah SWT tidak boleh memiliki sifat rahmat, karena sifat rahmat/sayang tidak bisa dibayangkan kecuali untuk manusia, dan ini tertolak dari Allah SWT. Maka kita katakan kepada mereka bahwasanya begitu juga sifat iradah/kehendak, kehendak tidak mungkin kita bayangkan kecuali kepada manusia.
Jika mereka mengatakan bahwa kehendak Allah SWT tidak sama dengan kehendak manusia, maka kita jawab begitu juga sifat sayang Allah SWT tidak sama dengan sifat sayang manusia. Bagaimana bisa sifat sayang Allah SWT disamakan dengan sifat sayang makhluk ?
Kedua: menafsirkan rahmat sebagai makhluk sehingga artinya rahmat adalah karunia itu sendiri.
Keyakinan Allah SWT memiliki kasih sayang adalah yang diyakini oleh masyarakat secara umum. Orang awam dengan fitrahnya akan meyakini bahwa Allah SWT memiliki sifat sayang, berbeda dengan orang yang telah terkena syubhat akan menolak sifat sayang untuk Allah SWT.
Sifat kasih sayang Allah SWT memiliki dampak kepada makhluk/alam semesta. Allah SWT berfirman,
فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maka perhatikanlah dampak-dampak rahmat Allah (hujan), bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Rum: 50)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memiliki sifat rahmat dan menciptakan kasih sayang, dan di antara rahmat yang Allah SWT ciptakan adalah hujan. oleh karenanya Allah SWT menamakan hujan dengan rahmat, Allah SWT berfirman,
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan).” (QS. Al-A’raf: 57)
Allah SWT menamakan hujan dengan rahmat Allah SWT. Jadi ada rahmat berupa sifat rahmat Allah SWT dan ada rahmat yang Allah SWT ciptakan untuk manusia dan alam semesta. Jadi perlu dibedakan antara rahmat yang merupakan sifat Allah SWT dan rahmat yang merupakan dampak dari sifat rahmat Allah SWT yang Allah SWT ciptakan di atas muka bumi ini. Di antara rahmat yang Allah SWT ciptakan adalah sebagaimana yang Nabi Muhammad Saw sabdakan,
إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ، وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ، وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً، يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Dari seratus rahmat tersebut, hanya satu yang di turunkan Allah kepada jin, manusia, hewan jinak dan beracun. Dengan rahmat tersebut mereka saling mengasihi dan menyayangi, dan dengan rahmat itu pula binatang buas dapat menyayangi anaknya. Adapun Sembilan puluh sembilan rahmat Allah yang lain, maka hal itu ditangguhkan Allah. Allah akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang saleh pada hari kiamat kelak.”
Ini merupakan dalil bahwasanya rahmat yang Allah SWT turunkan baru satu. Adapun sembilan puluh sembilan akan Allah SWT khususkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman pada hari kiamat kelak.
Makna الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Jika digabungkan dalam satu konteks Ar-Rahman memiliki makna yang berbeda dengan Ar-Rahim.
Jika terpisah, yaitu dalam satu konteks hanya disebutkan salah satunya maka Ar-Rahman maknanya sama dengan Ar-Rahim. Ini adalah kaidah dalam banyak kata di bahasa Arab:
إذا اجتمع افترق وإذا افترق اجتمع
“jika bersatu berpisah dan jika berpisah bersatu”
Contoh dalam hal ini sangat banyak. Contohnya kata al-birr dan at-taqwa jika digabungkan maknanya berbeda seperti dalam firman Allah SWT,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“dan tolong-menolonglah kalian dalam al-birr dan at-taqwa.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalam ayat ini al-birr dan at-taqwa disebutkan secara bersamaan, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. At-taqwa artinya meninggalkan kemaksiatan dan al-birr artinya melakukan ketaatan. Namun jika keduanya disebutkan secara sendiri maka al-birr artinya sama dengan at-taqwa yaitu meninggalkan kemaksiatan dan menjalankan ketaatan. Seperti firman Allah SWT,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Allah SWT berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Begitu juga kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim, jika keduanya disebutkan secara terpisah maka keduanya memiliki makna yang sama. Namun jika digabungkan dalam satu konteks maka terdapat khilaf di antara ulama berkaitan maknanya:
Pertama: Ar-Rahman artinya kasih sayang umum mencakup mukmin dan kafir. Ar-Rahim artinya kasih sayang khusus hanya untuk orang yang beriman. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Yang menjadi dalil mereka adalah karena Allah SWT ketika menyebutkan Ar-Rahman menjadikannya mutlak untuk siapa saja. Adapun ketika menyebutkan Ar-Rahim Allah SWT mengkhususkan hanya kepada orang yang beriman([5]), seperti firman Allah SWT,
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Allah SWT berfirman,
إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka (orang-orang yang beriman).” (QS. At-Taubah: 117)
Kedua: Ar-Rahman sifat dzatiyah lazimah yang wazan-nya فَعْلَانُ yang menunjukkan penuhnya rahmat Allah SWT. Adapun Ar-Rahim adalah sifat muta’addiyah yaitu sifat yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Artinya diri Allah SWT yang maha penyayang disebut dengan Ar-Rahman, dan Allah SWT menyampaikan kasih sayang-Nya kepada makhluknya maka disebut Ar-Rahim baik yang mukmin ataupun yang kafir. Ini adalah pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah([6]), beliau berdalil dengan firman Allah SWT,
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Kata النَّاسِ (manusia) umum mencakup mukmin dan kafir.
Pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya Ar-Rahman berkaitan dengan dzat Allah SWT dan Ar-Rahim berkaitan kasih sayang Allah SWT kepada makhluk-Nya.
Ibnul Qayyim memiliki pembahasan yang indah yang berkaitan dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Betapa sering dalam ayat Allah SWT menggandengkan Ar-Rahman dengan Arasy, Allah SWT berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thaha: 5)
Mengapa Allah SWT hanya menyebutkan sifat Ar-Rahman ketika menyandingkan dengan Arasy dan tidak menyebutkan sifat yang lain? Karena Arasy Allah SWT adalah makhluk yang paling tinggi dan paling besar. Sebagaimana yang sering disebutkan dalam kitab tauhid bahwasanya antara bumi dengan langit yang pertama berjarak 500 tahun perjalanan. Tebal langit pertama berjarak 500 tahun perjalanan. Antara langit pertama dengan langit kedua berjarak 500 tahun perjalanan. Langit kedua juga memiliki ketebalan 500 tahun perjalanan. Lalu jarak antara langit kedua dengan langit ketika berjarak 500 tahun perjalanan, dan seterusnya hingga langit ketujuh. Setelah langit ketujuh ada kursi Allah SWT. Kita tahu bahwasanya kursi Allah SWT sangat luas, Allah SWT berfirman,
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Setelah kursi Allah SWT terdapat air dan setelah air terdapat Arasy dan Arasy Allah SWT sangat besar. Jika kursi Allah SWT dibandingkan dengan langit dan bumi maka seperti logam yang dilemparkan di padang pasir. Logam itu adalah langit dan bumi, sementara kursi Allah SWT seperti padang pasir. Kursi Allah SWT dibandingkan dengan Arasy seperti logam yang dibandingkan dengan padang pasir. Kursi Allah SWT adalah logam sedangkan Arasy adalah padang pasir. Allah SWT di atas Arasy di luar alam semesta. Sehingga ketika Allah SWT beristiwa di atas Arasy dengan menyebutkan Ar-Rahman maka menunjukkan kasih sayang Allah SWT meliputi seluruh makhluk-Nya. Allah SWT berfirman,
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Mukmin: 7)([7])
Inilah hikmah mengapa Allah SWT menyebutkan Ar-Rahman di atas Arasy yaitu untuk menunjukkan bahwasanya kasih sayang Allah SWT meliputi seluruh makhluk yang berada di bawah Arasy.
PEMBAGIAN RAHMAT ALLAH SWT
Rahmat umum, yaitu rahmat yang berkaitan dengan keduniaan. Seperti kasih sayang di antara makhluk, rezeki yang Allah SWT berikan, memenuhi kebutuhan mereka dan lainnya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda,
لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى يَسْمَعُهُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِنَّهُ يُشْرَكُ بِهِ، وَيُجْعَلُ لَهُ الْوَلَدُ، ثُمَّ هُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada siapa pun yang lebih bersabar atas gangguan yang ia dengar melebihi Allah SWT, ia disekutukan dan dianggap punya anak kemudian Dia memaafkan dan memberi mereka rezeki.”
Rahmat yang umum ini adalah satu rahmat yang Allah SWT turunkan ke dunia dan hanya berlaku di dunia saja. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa rahmat tersebut ketika di penghujung hari kiamat akan diangkat kembali oleh Allah SWT. Oleh karenanya di penghujung hari kiamat yang ada yang kerusakan di alam semesta ini, tidak ada rahmat, tidak ada yang beribadah kepada Allah SWT, dan yang ada hanyalah seburuk-buruknya manusia.
Rahmat khusus, yaitu rahmat yang diraih dengan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.” (QS. Al-A’raf: 156)([10])
Ayat ini menunjukkan bahwa ada rahmat khusus. Jika seseorang ingin meraih rahmat Allah SWT yang khusus maka dia bisa meraihnya dengan ketakwaan. Ini sangat banyak di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman,
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat. (QS. Al-An’am: 155)
Allah SWT berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56)
Allah SWT berfirman,
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Rahmat khusus ini berlanjut hingga di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan rahmat ini sampai kepada Ahli tauhid pelaku maksiat yang masuk neraka. Dalam satu hadits disebutkan ketika pelaku maksiat masuk ke dalam neraka Jahanam maka masing-masing malaikat dan manusia memberi syafaat kepada mereka,
شَفَعَتِ الْمَلَائِكَةُ، وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ، وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ، وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنَ النَّارِ، فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا،
‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafaat. Sekarang yang belum memberikan syafaat adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam.
Bayangkan! Orang yang telah masuk ke dalam neraka jahanam masih mendapatkan rahmat Allah SWT maka bagaimana lagi dengan orang yang masuk ke dalam surga Allah SWT?
Ini adalah sifat rahmat Allah SWT, maka barang siapa yang ingin meraih rahmat khusus Allah SWT maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT. Juga jika ingin mendapatkan rahmat Allah SWT maka rahmatilah makhluk, Nabi Muhammad SAW bersabda,
«الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ»
“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar-Rahman, berkasih sayanglah kepada siapa pun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian.”
Jika kita ingin disayangi oleh Allah SWT maka sayangilah makhluk, sayangilah orang-orang yang miskin, orang-orang yang susah, bantulah orang-orang yang menderita, sayangilah istri, suami, anak-anak, dan hewan-hewan. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda,
وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ “
“dan kambing (yang akan engkau sembelih), jika engkau menyayanginya maka Allah akan menyayangimu.”
Di antara yang perlu kita perhatikan juga adalah kasih sayang sesama penuntut ilmu dan para dai. Sampai-sampai disebutkan dalam istilah perkataan para ulama,
العِلْم رَحِمٌ بَيْنَ أهْلِهِ
“ilmu memiliki rahim (kekerabatan) antara sesama penuntut ilmu.”
Maka hendaknya sesama penuntut ilmu saling menyayangi, saling memberi uzur, jangan saling mencela dan mencari kesalahan. Adapun saling hasad sesama penuntut ilmu maka ini tidak benar. Hendaknya jika ada penuntut ilmu yang berhasil dalam berdakwah dan lainnya kita ikut senang dan kita dukung.
Kita juga harus hati-hati, karena jika ada seorang yang berbuat dosa yang menghilangkan rahmat Allah SWT maka dia sangat mudah diazab oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ، وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidaklah ada perbuatan dosa yang akan disegerakan siksanya bagi pelakunya oleh Allah di dunia dan disisakan baginya di Akhirat selain (melebihi dosa) kezaliman dan memutuskan silaturahmi.”
Ini dikarenakan berbuat zalim dan memutus silaturahmi bertentangan dengan kasih sayang. Seharusnya seseorang menyayangi yang lainnya akan tetapi dia malah menzaliminya. Maka perbuatan ini sangat mudah untuk diazab oleh Allah SWT. Sebaliknya orang yang menyambung silaturahmi dia akan dipanjangkan umurnya dan dimudahkan rezekinya.
Semoga Allah SWT menjadikan kita hamba-hamba yang penyayang sehingga kita dikasihi oleh Allah SWT.