MELEK POLITIK
Melek Politik artinya paham atau mengikuti perkembangan masalah politik. Mahasiswa tidak boleh terjun dalam dunia politik praktis akan tetapi bukan berarti tidak melek politik.
Arti kata Melek politik adalah paham atau mengikuti perkembangan masalah politik.
MELEK POLITIK ADALAH URGENSI
Melek politik bagi masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi kebutuhan semata, melainkan sebuah keharusan yang wajib dipenuhi. Pasalnya, setelah menjadi bangsa yang dijajah selama 3,5 abad lamanya, pengelolaan sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia sudah jauh tertinggal dengan bangsa lain yang semakin maju. Dan menjadi apatis hanya membuat ketertinggalan kita semakin parah. Padahal kalau dipikir-pikir, orang Indonesia itu cukup potensial. Kekayaan sumber daya alam kita juga terbilang sangat luar biasa. Dan kita masih ketinggalan jauh.
Semua menyangkut soal kebijakan. Sayangnya, kebanyakan dari orang Indonesia masih buta akan politik dan cenderung menghindar dari berbagai hal yang menyangkut soal politik. Padahal segala macam selalu dibayang-bayangi oleh urusan politik. Hal ini yang pernah dikatakan oleh Bertolt Brecht, bahwa : Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Maka suka atau tidak, apabila kita ingin mengawal kehidupan demokrasi dan mendukung terciptanya kontrol sosial serta menjamin pemerintahan yang bersih, caranya adalah dengan membentuk kehidupan masyarakat yang melek akan politik; tidak hanya tahu cara kerja dan sistem, melainkan juga paham ke arah mana politik dapat mengintervensi kehidupan sehari-sehari. Sehingga, pada akhirnya kita memahami bahwa untuk mencapai kehidupan yang sebagaimana dicita-citakan ialah dengan turut berpartisipasi di dalamnya.
Seperti halnya yang tercatat dalam lembar sejarah, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya dapat dicapai melalui genjatan senjata atau perang gerilya belaka. Melainkan beragam gerakan diplomatik politik di atas meja hijau internasional yang diyakini oleh para founding father’s kita.
Seperti halnya Perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 yang nantinya menjadi cikal-bakal pengakuan Belanda atas Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar. Konfrensi tersebut diselenggarakan pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.
Politik sama seperti apa yang pernah dikatakan oleh Sabam Siarit tatkala mengutip pandangan Soekarno (Aryo Putranto, 2018), yakni Bila memperjuangkan kemerdekaan itu adalah politik, maka politik itu suci. Bila mengusir penjajah, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan itu adalah politik, maka politik itu suci.
MEMAHAMI SUBTANSI
Dalam memahami dan memanifestasikan melek politik, sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang atau kelompok tentang politik itu sendiri. Akan tetapi, sangat disayangkan, pemahaman mengenai politik bagi masyarakat Indonesia masih terbatas pada defenisi politik secara formal, yakni politik dimanifestasikan dengan pemilu, pemerintah, kekuasaan, negara, partai politik, dan konstitusi.
Di sisi lain, pelaksanaan pemilu sebagaimana seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat meninggalkan sisi gelap yang tidak dapat terelakkan. Pasalnya, pada masa-masa pemilu kita terbiasa dengan budaya money politics atau politik uang.
Jual beli suara menjadi hal yang akrab dalam kehidupan berdemokrasi kita, bahkan beberapa masyarakat cenderung mengharapkannya. Belum lagi ditambah dengan buruknya praktik perpolitikan masa kini yang sedikit-banyak memberikan stigma negatif pada mata masyarakat. Politik sering kali dianggap sebagai hal yang buruk, kotor, dan kejam sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya melek politik sangat minim.
Padahal, politik juga memiliki arti sebagai proses pembuatan keputusan untuk mengatur sebuah negara. Bilamana negara sendiri memiliki tujuan antara lain untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Maka dari itu, politik secara etika (filsafat moral) dapat dikatakan sebagai suatu upaya dalam mengatur masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
Sebagaimana kita telah menyelenggarakan pemilu yang pertama pada 1955, sudah semestinya dalam rentang waktu tersebut cukup untuk menjadikan masyarakat kita lebih berpengalaman dalam menentukan pemimpin yang paling berkualitas melalui proses pemilu. Namun sayangnya tidak demikian, sebab pemilu bagi sebagian masyarakat masih dianggap tidak memiliki pengaruh apa pun bagi kehidupan mereka.
KURANGNYA MELEK POLITIK
Pada titik inilah dapat kita simpulkan bahwa masih minimnya kesadaran dan pengetahuan politik di dalam sebagian kehidupan masyarakat. Akibatnya, sulit sekali bagi masyarakat Indonesia untuk keluar dari budaya masyarakat yang semi parokial atau bahkan tidak memiliki keinginan untuk berperan dalam menentukan suatu proses politik. Yang mana seharusnya masyarakat tidak terbatas pada partisipasi politik dalam Pemilu saja, namun juga turut serta berpartisipasi dalam mengawal proses perpolitikan di dalamnya.
Secara garis besar, sikap apatis masyarakat terbentuk akibat sistem politik kita yang masih foedal. Masih banyak aturan dan kebijakan hukum yang berlaku adalah hukum warisan kolonial Belanda. Padahal, politik seharusnya menjadi sebuah tema yang sangat menarik dan dapat kita temui di berbagai sudut publik, tidak terkecuali di warung kopi yang telah menjadi tempat tumbuh suburnya obrolan politik.
Melek politik menjadi kebutuhan seperti halnya manusia membutuhkan sesuap nasi. Melek politik berarti memiliki pemahaman akan dasar politik yang seharusnya diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat secara merata, meliputi berbagai perbuatan, keputusan, kebijakan, peraturan, persetujuan atau penolakan dan pengetahuan untuk memperoleh serta memvalidasi informasi secara faktual.