Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Korporasi sebagai entitas usaha yang hadir dalam kehidupan masyarakat memberikan sumbangan signifikan dalam pembangunan ekonomi, hampir di sebagian negara maju terdapat suatu korporasi besar yang menopang pembangunan nasional negara tersebut, melalui kegiatan kegiatan perekonomian yang menyerap sektor ketenagakerjaan dan membantu pemerintah mensejahterakan perekonomian rakyatnya. Namun tidak banyak yang memahi bahwa sesungguhnya korporasi tidak memliki wujud nyata seperti manusia karena awalnya korporasi adalah nomenklatur yang dipopulerkan oleh para pebisnis dan ekonom untuk mengemas entitas bisnis dalam tranksaksi perdagangan. Kendati korporasi tidak berwujud namun adalah fakta umum sebagian besar masyarakat menerima dan memahami bahwa korporasi bisa melakukan kegiatan yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pada kenyataannya kegiatan Korporasi membutuhkan manusia untuk merealisasikan rencana dan atau strategi bisnisnya, apapun korporasinya baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum tentunya difasilitasi oleh pengurus maupun karyawan dan atau kuasanya, karena korporasi sebagai suatu badan secara nyata tidak mempunyai wujud yang jelas sebagaimana manusia. Dan sebab itu korporasi selalu membutuhkan manusia untuk mewujudkan kegiatan dan kepentingan usahanya
Permasalahan kemudian timbul ketika pada kenyataannya disamping korporasi korporasi yang bermanfaat bagi masyarakat, tidak sedikit dari korporasi melakukan kejahatan. sebagai contoh kasus lama yakni Bantuan Likuidasi Bank Indonesia yang muncul berlatar belakang karena krisis dalam bidang hukum, akibat lemahnya instrument hukum untuk mengantisipasi kejahatan korporasi dan tidak berkembangnya pemikiran penegak hukum dalam mempidanakan kejahatan korporasi, maka dalam sejarah hukum pidana di Indonesia meskipun pemidanaan korporasi sudah diterapkan namun penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi masih minim mengingat belum seragamnya perspektif penegak hukum dalam menerima pemikiran mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, khususnya memahami pengertian dan lingkup kejahatan korporasi.
KEJAHATAN KORPORASI
Rumusan secara tegas mengenai Kejahatan Korporasi tidak diatur secara yuridis formil, karenanya sebagai upaya memahami pengertian utuh mengenai kejahatan korporasi terlebih dahulu dijelaskan secara parsial pengertian dari kejahatan dan korporasi itu sendiri dengan mengacu pada beberapa sumber hukum sekunder maupun primer antara lain sebagai berikut:
Menurut Kartono, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief dalam buku Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT Alumni, 1998) pada halaman 4, menjelaskan Kejahatan secara sosiologis yakni :
Semua ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercantum dalam undang-undang pidana).
Selain itu, definisi kejahatan juga dijelaskan oleh Larry J. Siegel dan John L. Worral dalam bukunya Essentials of Criminal Justice, 11th Edition, (USA: Cengage Learning, 2017), yang pada halaman 31 mendefinisikan Kejahatan sebagai berikut :
Crime is a violation of socieal rules of behavior as interpreted and expressed by criminal legal code created by people holding social and political power. Individuals who violate these are subject to sanctions by state authority, social stigma and loss of status.
Terjemahan bebas:
(Kejahatan adalah sebuah pelanggaran aturan sosial dalam berprilaku sebagaimana yang ditafsirkan dan di ekspresikan dalam hukum pidana yang dibuat oleh orang-orang yang memegang kekuasaan politik. Individu yang melanggar aturan ini dikenakan sanksi oleh otoritas negara, stigma sosial dan kehilangan status)
Berdasarkan kedua penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejahatan dalam perspektif pidana adalah semua tindakan, perbuatan dan tingkah laku yang secara sosial, ekonomis dan politis melanggar ketentuan hukum pidana, yang dapat dikenakan sanksi berupa pemidanaan oleh negara dan sanksi sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya merujuk pada pengertian Korporasi berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Tipikor maupun Pasal 1 Ayat (1) Peraturan MA RI 13/2016 dirumuskan dengan pengertian sama sesuai kutipan berikut: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Terkait hal tersebut oleh karena belum ada pengertian yang jelas secara yuridis formil yang mendefinisikan mengenai kejahatan korporasi, maka untuk memahami hal tersebut terlebih dahulu akan diuraikan pendapat-pendapat ahli mengenai kejahatan korporasi termasuk dengan mengaitkan dengan pengertian tindak pidana korporasi sebagaimana diatur dalam regulasi.
Menurut Prof. Bismar Nasution dalam artikel Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya sebagaimana dipublikasikan dalam website dengan alamat https://bismarnasution.com/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawabannya/, yang di akses pada tangal 4 Agutus 2018, pengertian Kejahatan Korporasi pada pokoknya merujuk pendapat Sally Simson dalam Corporate Crime, Law and Social Control (New York: Cambridge University Press, 2002) yang menjelaskan:
Kejahatan Korporasi merupakan bagian dari white collar crime. Pengertian kejahatan Korporasi yang paling mudah untuk dimengerti adalah pengertian yang ditawarkkan oleh Braithwaite. Kejahatan Korporasi menurut pengertian yang diberikan oleh Braithwaite adalah perbuatan dari suatu korporasi, atau pegawainya yang bertindak untuk korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.
Selain pendapat tersebut, menurut Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M dalam bukunya Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2017) pada halaman 273 menjelaskan secara tidak langsung pengertian dan lingkup kejahatan korporasi dengan merumuskan pengertian tindak pidana korporasi yaitu:
“….. perbuatan yang dilakukan oleh direksi dan atau pegawai dari suatu korporasi pada setiap tingkatannya yang menjalankan tugas dan fungsi serta bisa dianggap bertindak mewakili korporasi yang dapat mengakibatkan tanggungjawab pidana, baik kepada korporasinya maupun bersama dengan pegawainya secara pribadi …..”
Terkait dengan beberapa pendapat di atas, untuk melengkapi pemahaman mengenai kejahatan korporasi secara menyeluruh, maka perlu memperhatikan pengertian Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 sesuai kutipan berikut:
Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.
Berdasarkan rujukan pendapat ahli serta dengan mengacu pada Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 maka dapat disimpulkan bahwa Kejahatan Korporasi adalah perbuatan korporasi yang direpresentasikan oleh orang yang mewakili korporasi sepanjang dilakukan bertindak atas nama serta untuk kepentingan korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dimintakan tanggungjawab secara pidana.
UNSUR PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM KORPORASI ATAS KEJAHATAN KOPORASI
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro dalam bukunya Kejahatan Korporasi Suatu Fenomena Lama Dalam Bentuk Baru pada halaman 705-706, menjelaskan bahwa Kejahatan Korporasi terbagi menjadi dua yaitu Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime) dan Kejahatan oleh Organisasi.
Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime) biasanya bersembunyi dibalik korporasi-korporasi yang menjalankan usahanya secara sah, Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime) umumnya menggunakan kekerasan dan didalam organisasi tersebut terdapat lapisan-lapisan dimana lapisan paling atas ditempati oleh orang terhormat dengan status sosial tinggi sebagai penyandang dana yang memanfaatkan lapisan yang ada dibawahnya, merekalah yang memenuhi unsur white collar crime. Sedangkan Kejahatan oleh Organisasi dilakukan oleh kaum terpandang berpendidikan dan memiliki status sosial tinggi yang mendirikan Korporasi secara sah untuk menjalankan bisnisnya, namun mereka membiarkan korporasinya digunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
Terkait dengan hal tersebut, lingkup Kejahatan Korporasi Menurut Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H dalam bukunya Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), pada halaman 44 memberi penjelasan dengan mengutip pendapat Steven Box mengenai tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dengan ruang lingkup sebagai berikut:
1) Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
2) Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3) Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.
Sesuai dengan judul artikel, maka yang akan menjadi pokok pembahasan sekaligus batasan dalam artikel ini adalah terkait dengan Crimes for corporation.
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia khususnya terkait korupsi, konsep Korporasi sebagai suatu subjek hukum telah diakui dan diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Tipikor yakni, sebagai berikut:
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”.
“Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersamasama.”
Menurut Lakso Anindito dalam Jurnal Integritas Anti Korupsi (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Nomor 1, Maret 2017), dalam sub artikel mengenai Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis pada halaman 20 menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 20 Ayat (2) UU Tipikor, suatu tindakan dianggap dilakukan oleh Korporasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur penting sebagai berikut:
1) Adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan sebagaimana yang dimaksud oleh UU Tipikor;
2) Pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersamasama; dan
3) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi.
Pendapat tersebut kiranya tidak keliru, namun demikian belum menguraikan lebih jelas mengenai unsur-unsur pertanggungjawaban pidana korporasi. Pendapat lain yang lebih spesifik yang menjelaskan unsur-unsur agar Korporasi dapat dimintakan perjanggungjawaban hukum secara pidana, juga disampaikan oleh Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M, dalam bukunya Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2017) yang pada halaman 273 merumuskan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya secara pidana yakni:
a) Actus Reus, artinya perbuatan dilakukan harus didalam lingkup kekuasaannya. Dengan kata lain, perbuatannya dalam menjalankan tugasnya itu masih dalam cakupan tugas atau kewenangan korporasi.
b) Perbuatan itu dilakukan dengan sengaja (mens rea).
c) Perbuatan itu dilakuan oleh pelaku yang cakap jiwa atau mentalnya.
Untuk memahami unsur tersebut dapat mengacu pada suatu ilustrasi kasus yang diuraikan oleh Djoko Sarwoko dalam Varia Peradilan XIII No. 146, (Jakarta: Ikahi, 1995) yang pada halaman 150 menerangkan contoh kasus sebagai berikut:
Ketika seorang pegawai mengatur agar diperoleh harga pasti dalam suatu tender yang diikuti oleh korporasi tempatnya bekerja dengan memberikan sogokan ke panitia tender, yang dilakukan pegawai itu agar korporasinya mendapat tender dimaksud dan meraih keuntungan besar, maka kepada karyawan dimaksud, maupun bersama-sama korporasinya, dapat dibebani dan diminta pertanggungjawaban secara pidana. Pada saat pemidanaan dijatuhkan maka kepada korporasi yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi pidana penjara, dan hanya dapat dihukum denda atau pencabutan perizinannya.
Berangkat dari penjelasan tersebut, Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M, menambahkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang karyawan, yang dilakukan masih dalam lingkup tugas pekerjaannya, yang langsung atau tidak langsung dapat memberikan keuntungan bagi Korporasi merupakan sebab atau alasan dimintakannya pertanggungjawaban Korporasi.
Selanjutnya guna melengkapi kajian unsur-unsur pertanggungjawaban pidana Korporasi, selain berdasarkan pendapat ahli sebagaimana telah diuraikan, penting kiranya untuk mempertimbangkan perspektif hakim dalam menilai kesalahan-kesalahan suatu korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan MA RI 13/2016, antara lain:
a) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
b) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi khususnya terkait tidak pidana Korupsi yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Adanya Actus Reus yang diidentifikasi dari perbuatan pengurus Korporasi yang dalam menjalankan tugas sesuai lingkup atau kewenangan yang diberikan korporasi melanggar UU Tipikor;
2) Pihak yang mewakili Korporasi adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersama-sama;
3) Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mewakili Korporasi tersebut, dilakukan dengan kesadaran atau sengaja (mens rea);
4) Orang yang mewakili Korporasi tersebut cakap jiwa atau mentalnya serta dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
5) Korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
6) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
7) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
PERTANGGUNGJAWABAN PENGURUS TERKAIT PIDANA KORPORASI DAN SANKSI PIDANA KORPORASI DALAM PERSPEKTIF KORUPSI
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro dalam bukunya Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994) pada halaman 107-108 menjelaskan bahwa pemikiran menempatkan Korporasi sebagai suatu subjek hukum salah satunya didasarkan pada teori pelaku fungsional (functioneel daaderschap) dengan penjelasan sebagai berikut:
Dalam lingkungan sosial ekonomi, pembuat (korporasi) tidak perlu melakukan perbuatan itu secara fisik (fysiek dader), tetapi bisa saja perbuatan itu dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatannya masih dalam ruang lingkup fungsi dan kewenangan korporasi. Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini menjadi perbuatan korporasi dapat dilakukan, bila perbuatan itu dalam lalu lintas masyarakat dipandang sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan, dan ini yang disebut dengan pelaku fungsional (functioneele daader).
Terkait hal tersebut, menurut Mahrus Ali dalam bukunya Kejahatan Korporasi (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008) pada halaman 37-38 menjelaskan bahwa karena korporasi tidak bisa melakukan perbuatan sendiri, maka perbuatan itu dialihkan kepada pegawai korporasi berdasarkan ketentuan yang secara tegas tercantum dalam anggaran dasar. Jika perbuatan itu melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum (tindak pidana), sesungguhnya perbuatan itu merupakan tindak pidana yang hakikatnya dilakukan Korporasi.
Selain teori tersebut, teori pertanggungjawaban pidana korporasi juga dapat didasarkan pada teori identifikasi. Menurut Simon Goulding dalam Company Law 2nd edition, (London: Cavendish Publishing, 1999) pada halaman 57 menjelaskan bahwa:
“Identification theory proceeds on the basis that there is a person or a group of person within the company who are not just agents or employees of the company but who are to be identified with the company and whose thoughts and actions are the very actions of the company it self”.
Terjemahan bebas:
(Teori identifikasi didasarkan bahwa ada seseorang atau sekelompok orang dalam perusahaan yang bukan hanya agen atau karyawan perusahaan, namun seorang tersebut diidentifikasi sebagai perusahaan dan pemikiran serta tindakannya merupakan tindakan perusahaan itu sendiri”)
Teori tersebut berkembang dinegara common law system dan biasa disebut dengan tori pertanggungjawaban pidana langsung atau teori direct corporate criminal liability, bahkan dalam Pasal 1 Ayat (10) Peraturan MA RI 13/2016 memuat ketentuan mengenai identifikasi pengurus korporasi sesuai kutipan berikut:
Pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Dalam konteks korporasi merupakan suatu perseroan terbatas, teori identifikasi menganggap dan mempersamakan perseroan terbatas sebagaimana manusia, dalam teori tersebut yang dimaksud dengan directing mind and will pada suatu perseroan terbatas sama dengan apa yang terdapat dalam kalbu atau pikiran orang-orang yang mengendalikan korporasi, dalam hal ini direksi atau posisi lain yang menentukan kebijakan perusahaan tersebut.
Menurut Prof. Sutan Remi Syahdeni dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006) pada halaman 100, menjelaskan bahwa Doktrin tersebut mengajarkan bahwa untuk bisa memberikan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi, siapa yang melakukan tindak pidana harus mampu diidentifikasi oleh penuntut umum sebagai perseroannya. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan directing mind and will dari korporasi, maka pertanggungjawaban pidana baru dapat dibebankan kepada Korporasi.
Kedua pendapat tersebut dianggap tepat oleh Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M, karena telah menerima gagasan bahwa Korporasi bisa melakukan delik, tetapi juga padanya ada elemen mens rea, yang sebagai konsekuensinya, jika korporasi bersalah dapat dipidana. Penerapan teori indentifikasi dan teori pelaku fungsional diterapkan dalam beberapa perundang-undangan di Indonesia, termasuk Pasal 20 Ayat (2) UU Tipikor.
Selain itu, beliau juga menambahkan, karena korporasi itu hanya bisa berbuat dengan “tangan pihak lain”, dalam hal ini pengurusnya, maka pengurus yang bersangkutanpun harus pula dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana korporasi mempunyai dua struktur pertanggungjawaban, yaitu dengan pembebanan pertanggungjawaban dan pemberiaan sanksi kepada pengurus maupun juga kepada Korporasi.
Pemikiran tersebut tidak berarti seluruh pengurus korporasi harus bertanggungjawab bila korporasi terbukti melakukan kejahatan atau tindak pidana korporasi, melainkan pertanggungjawaban pengurus korporasi harus didasarkan pada kualitas perbuatan pidana yang dilakukan oleh masing-masing pengurus Korporasi yang dipersangkakan melakukan tindak pidana. Dalam mengindentifikasi perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, dapat menggunakan kontruksi hukum lembaga perwakilan sebagaimana yang dikenal dalam hukum perdata dan konsep pemberian kuasa, sehingga dapat terlihat jelas dan nyata sumber perintah atau arahan dari orang dalam korporasi dimaksud.
Sanksi terhadap Korporasi dalam konteks tindak pidana Korupsi diatur secara tegas dalam Pasal 20 Ayat (7) UU Tipikor sesuai kutipan berikut:
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 25 Jo. Pasal 31 Jo. Pasal 32 Peraturan MA RI 13/2016, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pidana pokok terhadap Korporasi berupa pidana denda dan/atau pidana tambahan yang dapat berupa perampasan barang bukti, uang pengganti, ganti rugi dan restitusi, yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
* Erlangga Kurniawan S.H., M.H., C.L.I adalah advokat / praktisi hukum indonesia, partner pada Feri Samad LAw Firm, pendiri kantor hukum Ercolaw dan lawyeronline.id
Sumber:
1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi;
3. Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”, (Bandung: PT Alumni, 1998);
4. Larry J. Siegel dan John L. Worral “Essentials of Criminal Justice, 11th Edition”, (USA: Cengage Learning, 2017);
5. Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M “Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Kencana, 2017);
6. Sally Simson “Corporate Crime, Law and Social Control”, (New York: Cambridge University Press, 2002);
7. Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002);
8. Simon Goulding “Company Law 2nd edition”, (London: Cavendish Publishing, 1999);
9. Prof. Sutan Remi “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006);
10. Lakso Anindito “Jurnal Integritas Anti Korupsi”, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Nomor 1, Maret 2017);
11. Mahrus Ali “Kejahatan Korporasi”, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008);
12. Djoko Sarwoko “Varia Peradilan XIII No. 146”, (Jakarta: Ikahi, 1995).