BADUT POLITIK
Badut politik adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Bukan kebodohan manusia lugu, melainkan kebodohan manusia yang berusaha tampak pintar tapi gagal. Maka tawa yang lahir dari perilaku badut politik ini bukanlah tawa kebahagiaan yang wajib disyukuri.
Tawa bagi perilaku badut politik adalah tawa yang mewakili perasaan tidak enak, seperti yang berlangsung dalam discomfort humor. Bedanya, ini bukan panggung komedi. Ini realitas politik. Dengan demikian, jika dalam konteks panggung komersial penonton dirugikan sekadar karena batal terhibur, dalam kehidupan sosial para badut politik merugikan kemanusiaan karena eksistensi mereka yang mubazir.
Tawa dalam perasaan tidak enak atas kekonyolan badut politik ini, jika dijabarkan lebih jauh, adalah tawa yang lahir dari perasaan jengkel, marah, getir, dan keterhinaan karena kecerdasan yang tertawa telah dilecehkan. Semua itu campur aduk jadi satu, tapi tetap menjelma tawa karena berlangsungnya kerja humor dalam perilaku tersebut: bisosiasi, yang berarti lahirnya tawa akibat kejutan karena harapan tak terpenuhi dari perbenturan dua kerangka acuan tak sepadan (Koestler, 1980 [1964]: 321-9). Dalam hal badut politik, ketika sensasi keterkejutannya memudar, saat itulah ketersadaran kritis melahirkan geleng-geleng kepala, yang memiliki makna dominan seperti berikut: kok bisa?
Artinya, perilaku badut politik yang menimbulkan tawa itu untuk sekilas berada di luar nalar orang banyak (yang sudah salah kaprah disebut "akal sehat"). Namun, ketika "disehatkan", alias diperiksa lebih rinci sebab-akibatnya, meskipun sebetulnya kemudian akan "masuk akal" (untuk tidak mengatakannya "terpaksa bisa diterima") juga urutan peristiwanya, kebadutannya tidak perlu dimaklumi dalam keseriusan politik. Dalam politik, semua orang harus serius dan pintar. Jika tidak, gelanggang politik akan menjadi panggung komedi dan para "negarawan" (ya, tanda kutip itu ada maksudnya!) akan menjadi badut-badut politik yang berpengaruh besar terhadap adab politik itu sendiri.
Menjelang tahun 2024 merupakan tahun politik, sehingga wajar terjadinya gejolak gonjang-ganjing politik di tingkat nasional maupun daerah. Sektor perekonomian, investasi dan sosial serta agama pun ikut terkena imbas gejolak memanasnya perpolitikan. Tak salah jika kita katakan bahwa saat ini Politik Badut kian mempesona bahkan menerjang rambu-rambu demokrasi alhasil produk inkonstitusipun bisa dijalankan penguasa. Para aktor politik saling menjelma seperti badut, berubah wajah untuk sekedar mengelabui lawan, menjelma sebagai seorang aktor politik yang cerdas.
Badut Politik ini biasanya mengumbar senyum disetiap perhelatan, cari sensasi, tebar pesona, tebar janji politik, jadi sosok seorang pahlawan dalam setiap peristiwa terkait kemanusiaan, rasa simpati terhadap masyarakat ekonomi lemah, serta berbagai program misi visi seakan menghipnotis segenap lapisan masyarakat. Diera digitalisasi saat ini doktrin bagi masyarakat seakan layaknya seperti sampah. Masyarakat saat ini sudah cerdas, money politik, jargon politik yang kian menjamur di tengah kisruhnya peperangan antar aktor politik seakan dijadikan sebagai senjata bagi masyarakat. Momentum yang terjadi kian membuat masyarakat merasa muak akan perpolitikan yang hanya janji disaat kampanye.
Seiring berjalannya waktu, kita sering mendengar disekitar kita banyak yang beranggapan bahwa terserah orang berpolitik, saat orang politik kampanye, ambil uangnya, bantuan baik sembako maupun apapun bentuknya, soal pilih atau tidak tergantung dibalik bilik suara.
Politik yakni cara untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Berbicara etika erat kaitannya dengan moral, sopan santun, tata krama serta cara bersikap budi pekerti. Dimana saat ini perpolitikan yang terjadi di daerah atau negara kita apakah sudah layak dikatakan etika politik sudah diterapkan dengan amburadul dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Tahun politik 2024 bisa dikatakan tahun politik badut konyol dan bermoral bejat.