PANCASILA SEBAGAI HUKUM DASAR MENGATUR TATA NEGARA DI INDONESIA
Pancasila merupakan intisari dari Pembukaan UUD-45 yang terdapat pada alinea ke 4 dengan dasar pemikiran yg demikian maka Pancasila merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD-45 keduanya merupakan satu kesatuan.
Pembukaan UUD-45 berdasarkan marwah aslinya berisi gambaran umum tentang Ideologi negara, maka Pancasila sebagai intisarinya berfungsi sama. Presiden Soekarno pernah menegaskan pada saat menjelang usai Sidang Kedua BPUPKI, bahwa Pancasila merupakan Philosophische Grondslag bangsa Indonesia, maksudnya adalah filosofi tentang hukum dasar tata negara yang disarikan dari kenyataan budaya leluhur bangsa Indonesia yang telah berabad-abad hilang.
Dengan demikian jelas sekali bahwa kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai bentuk dasar ketata negaraan. Oleh karena itu Pancasila merupakan bentuk dasar rancang bangun tata kelola negara serta sebagai acuan dasar tentang wujud bangunan tata negara yang terdiri atas lembaga-lembaga yang fungsinya mengatur jalannya sistem pemerintahan, sehingga Pancasila tidak ada kaitannya dengan persoalan perilaku manusia seperti yang dijabarkan dalam butir2 Pancasila.
Bentuk lembaga negara yang berlangsung saat ini berbeda dengan Marwah aslinya, perbedaannya diakibatkan karena adanya perubahan pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD-45 melalui proses amandemen yang dimotori oleh Ketua MPR hasil Pemilu 1999 yaitu Prof. DR. Muhammad Amin Rais, MA. Perubahannya antara lain, MPR tidak lagi berfungsi sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang berdudukan sebagai motor penggerak sistem pemerintahan, wewenang MPR saat ini diambil alih oleh pimpinan partai politik, perubahan lainnya yaitu dihapusnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan dibentuknya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan anak haram dari UUD-45 yang berhasil menyingkirkan DPA sebagai anak yang syah dari UUD-45. Akibat dari amandemen tersebut susunan Lembaga Tinggi Negara beserta lembaga turunannya menjadi menyimpang dan bertentangan dengan Pancasila serta bertolak belakang dengan amanat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-45 sehingga bangsa kita tidak lagi mempunyai jati diri karena menjadi bangsa pengekor sistem hidup liberalis.
Alinea keempat pada Pembukaan UUD-45 menyebutkan bahwa IDE dasar tentang wujud bangunan tata kelola negara yang berkedaulatan rakyat disusun berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ide tentang wujud bangunan dasar tata kelola negara yang terdapat pada alinea keempat tersebut diberi nama PANCASILA, dengan demikian maka Pancasila merupakan bagian dari Pembukaan UUD-45 bukan bagian yang berdiri sendiri seperti yang difahami saat ini, sehingga membicarakan Pancasila tidak bisa lepas dari UUD-45 begitu sebaliknya membicarakan UUD-45 terikat dengan Pancasila.
Sila Pertama KETUHANAN YANG MAHA ESA berkedudukan sebagai PONDASI dalam wujud bangunan tata kelola negara berdasarkan PANCASILA serta sekaligus sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan kehidupan sejahtera adil dan makmur, karena berdasar Sila Pertama tersebut setiap pemeluk agama apapun kalau benar-benar memahami serta patuh terhadap agama yang diyakininya dipastikan dapat berlaku adil dan tidak menempatkan manusia lainnya dibawah derajatnya serta tidak memperlakukannya seperti budak belian, sehingga mereka yang tidak bisa berlaku demikian otomatis tidak bisa digolongkan sebagai manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa artinya tergolong kedalam golongan manusia tidak berKetuhanan atau Atheis.
Konsekuensi logis dari pemahaman Sila Pertama tersebut, sebenarnya TIDAK ADA MANUSIA YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA kalau disekitar kita masih ada manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan sementara yang kaya raya tutup mata, sebaliknya mereka malah memamerkan kekayaan, seperti para politikus dan para konglomerat yang senang menghitung kekayaan untuk dipublikasikan sebagai parameter kesuksesan dalam hidupnya.
Kondisi demikian membentuk sifat mereka menjadi egois serta merasa mempunyai derajat lebih tinggi dari yang lain bahkan mendudukkan dirinya menjadi penentu atas manusia lainnya dan seolah mengambil over kuasa Tuhan, yang berakibat mereka menjadi lupa bahwa dirinya adalah manusia ciptaan Tuhan. Hakikat yang sebenarnya mereka itu termasuk golongan manusia ATHEIS dimata Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka tidak merasa dirinya atheis, karena konsep agama mengklasifikasikan manusia atheis tidak demikian.
Manusia yang berKetuhanan YME adalah manusia yang berakhlak sangat mulia yang tidak bisa diraih dengan standar kemampuan Ilmu apapun atau setinggi apapun derajat sosial yang melekat pada dirinya, hanya mereka yang beradab dan rendah hati yang bisa meraih predikat manusia yang berKetuhanan, manusia yang demikian inilah yang disebut sebagai NASIONALIS sejati atau manusia yang berpredikat sebagai seorang SATRIO PINANDITO. Seharusnya manusia model inilah yang diperbolehkan menjadi WAKIL RAKYAT.
Dengan demikian Sila Pertama bukan membicarakan tentang aturan peribadatan suatu agama melainkan membicarakan manusia yang berKetuhanan. Sedangkan persoalan ibadah keagamaan diatur pada Batang Tubuh UUD-45 pasal 29 ayat 2 (Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu). Berdasarkan pasal tersebut pelaksanaan peribadatan adalah hak individu BUKAN HAK LEMBAGA KEAGAMAAN, jadi ibadah adalah hak individu yang harus dilindungi melalui penjabaran undang-undang turunannya.
Berdasarkan Sila Pertama tersebut maka Sila Kedua KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB secara otomatis menjadi pernyataan dan komitmen setiap warga negara yang ber-Ketuhanan, sehingga siap secara aktif menghapus sistem perbudakan atau penjajahan. Dengan demikian kedudukan Sila Kedua ini berfungsi sebagai Tiang Penyanggah bangunan tata kelola negara berdasarkan Pancasila. Dan Sila Ketiga PERSATUAN INDONESIA merupakan Rangkaian Pengikat untuk dapat mewujudkan perangkat birokrasi tata kelola pemerintahan sesuai Pancasila.
Selanjutnya Sila Keempat merupakan gambaran bentuk susunan dasar perangkat tata kelola negara dalam bentuk kelembagaan yang mampu menjalankan dan mewujudkan KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA (Sila Kelima), sehingga harapan terwujudnya kehidupan sejahtera adil dan makmur pasti tercapai.
Kepatuhan warga negara terhadap Sila Pertama, Kedua dan Ketiga merupakan syarat mutlak untuk bisa membentuk susunan tata kelola negara berdasarkan Sila Ke-4 Pancasila. Kepatuhan dimaksud merupakan manifestasi jati diri warisan leluhur yang telah lama hilang dari kesadaran bangsa Indonesia, yang diakibatkan selama berabad-abad bangsa kita terlalu mengagungkan konsep serapan dari luar yang dibawa oleh para penjajah, yaitu konsep hidup yang bergelimang kemewahan yang dikemas melalui konsep kebenaran semu dengan standard pahala dan dosa yang membuat manusia silau melihatnya, bagaikan fata morgana ditengah padang pasir tandus yang menjanjikan surga dalam khayalan, tetapi tanpa sadar kita menjadi bola permainan hidup mereka sehingga menjadi terpuruk diperlakukan seperti budak oleh dirinya sendiri.
Pancasila sebagai konsep tata kelola negara warisan leluhur merupakan jati diri bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan saling welas asih atau saling kasih sayang, memayu hayuning bawono yaitu menjadikan dunia ini indah nan mempesona tanpa intrik dan rekayasa kemanusiaan, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Sehingga Tuhan Yang Maha Esa tidak akan merubah nasib bangsa kita, kalau kita sendiri tidak mau merubahnya dengan satu ketulusan hati berkomitmen terhadap ketiga sila tersebut diatas.
Kemudian bentuk susunan tata kelola negara menurut Sila Keempat Pancasila, “KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT”, artinya kedaulatan di tangan rakyat yang dipimpin atau diatur oleh hukum (hikmat artinya hukum) yaitu hukum yang berlaku turun temurun yang diwariskan oleh para leluhur bangsa Indonesia, karena penyusunannya di dapat dari hasil penyelidikan Anggota BPUPKI dalam upaya mempersiapkan ideologi dan konstitusi dasar untuk pendirian sebuah negara yang anti imperialis. Oleh karena itu hukum dimaksud bukan hukum yang diadopsi dari pemikiran luar seperti dari konsep Liberalisme atau Komunisme ataupun pemikiran berdasar agama, karena konsep pemikiran tersebut diyakini akan tetap membentuk model hidup sosial piramid dengan hukum rimbanya yaitu kelas yang diatas akan menindas atau memperbudak kelas dibawahnya, seperti pembuktian yang berlangsung saat ini. Konsep pemikiran demikian bertentangan dengan prinsip Sila Kedua dan bertentangan pula dengan Pembukaan UUD-45 alinea pertama.
Selanjutnya “Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” merupakan bentuk kebijakan dalam pengambilan keputusan melalui proses musyawarah dengan semangat gotong royong yang diputuskan melalui sebuah LEMBAGA PERMUSYAWARATAN yang dijabarkan di dalam pasal 1 dan pasal 2 (UUD-45 naskah asli) yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat berfungsi menjalankan kedaulatan rakyat. Sehingga MPR dimaksud adalah sebuah Lembaga Tertinggi Negara sebagai dasar pengatur tata kelola negara menurut Demokrasi Pancasila, yang di cita2kan para pendiri NKRI bukan model Demokrasi Barat yang kita anut saat ini.
MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dalam tata kelola Demokrasi Pancasila merupakan mesin politik atau motor penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Anggota MPR merupakan PERWAKILAN yang dipilih dan ditetapkan dengan prinsip kebijaksanaan langsung oleh rakyat melalui proses musyawarah dimulai dari tingkat RT untuk memilih anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa/DPRD Tingkat III), tentunya yang menjadi pertimbangan sebagai bakal calon Anggota MPR harus manusia yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan siap bekerja tanpa pamrih serta berdedikasi tinggi untuk tujuan mewujudkan kemakmuran bangsa sehingga wakil rakyat adalah manusia pilihan yang tinggal diwilayahnya, bukan manusia yang ingin memperkaya diri seperti yang berlangsung saat ini. Selanjutnya dari anggota BPD dipilih dan ditunjuk melalui satu kebijaksanaan diantara anggota BPD tersebut sebanyak 2 (dua) orang atau lebih untuk mewakili dan duduk sebagai anggota DPRD Tingkat II dan seterusnya berjenjang sampai tingkat pusat melalui proses musyawarah dengan semangat gotong royong, sehingga pemilihan anggota DPR secara berjenjang menjamin hasil kebijaksanaan Tingkat Pusat akan terkoneksi langsung sampai Tingkat Desa dan dipastikan mereka yang duduk di Lembaga tersebut tidak mewakili kepentingan pribadi maupun golongan ataupun partai, sehingga tidak ada petugas partai. Pemilihan melalui proses musyawarah sudah menjadi kebiasaan turun temurun masyarakat Indonesia dalam menentukan pemimpin.
Dengan pemilihan perwakilan mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, selanjutnya tidak ada lagi pemilihan perwakilan untuk Daerah Tingkat 2, Tingkat 1 maupun Tingkat Pusat secara langsung. Sehingga pasal 19 ayat (1) UUD 1945 (hasil perubahan kedua), penetapan anggota DPR dan Utusan Daerah melalui PEMILU yang diatur dengan mekanisme partai politik (bukan melalui musyawarah) merupakan praktek Demokrasi Barat yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila, sehingga pasal tersebut cacat hukum, apabila tetap dipaksakan dan diberlakukan maka BATANG TUBUH UUD 45 menjadi bertolak belakang dengan PEMBUKAAN nya, secara objektif UUD 1945 (hasil perubahan) tidak tepat disebut sebagai UUD tahun 1945 lebih tepat disebut UUD tahun 2002, sehingga secara fulgar bisa dikatakan amandemen oleh Anggota MPR hasil Pemilu tahun 1999 merupakan bentuk kudeta terhadap NKRI yang berideologi Pancasila tanpa mereka sadari.
Anggota MPR terdiri dari Perwakilan Daerah, Utusan Daerah dan Utusan Golongan (pasal 2 ayat 1 UUD-45 naskah asli), ketiga perwakilan tersebut setelah selesai bertugas mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetap GBHN, anggota MPR tersebut menempati posisi di Lembaga Tinggi Negara, yang fungsinya sebagai motor penggerak Demokrasi Pancasila. Anggota Perwakilan Daerah duduk sebagai anggota DPR, sedangkan Utusan Daerah dan Utusan Golongan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA sebagai lembaga tinggi negara dihapus melalui amandemen oleh MPR hasil Pemilu tahun 1999. DPA merupakan lembaga yang anggotanya merupakan tenaga ahli dari berbagai macam disiplin ilmu terapan dan keahlian yang fungsinya memberi advis dan sekaligus sebagai pelaksana strastegis dibawah komando Presiden untuk mengawasi dan bekerjasama dalam pelaksanaan seluruh proyek yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Presiden dan DPR dalam bentuk undang2 atau peraturan pemerintah serta bekerjasama dalam menjalankan sistem birokrasi pemerintah pusat dan daerah.
Ketiga Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA dan DPR merupakan pengemban tugas rakyat dalam menjalankan pemerintahan, yang demikian dipastikan mampu memenuhi harapan untuk menuju masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. OLEH SEBAB ITU SELAMA TATA KELOLA NEGARA TIDAK BERDASAR PANCASILA YG SESUAI CITA2 KEMERDEKAAN SELAMA ITU PULA TIDAK AKAN PERNAH TERWUJUD KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA, terbukti sampai saat ini gagal mewujudkannya.
Dengan model pemilihan perwakilan tersebut maka pembentukan Lembaga Tertinggi Negara (MPR) serta Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA dan DPR merupakan satu model pelaksanaan tata kelola negara yang belum pernah ada dibelahan bumi manapun, sehingga tatanan negara model demikian akan terbentuk satu sistem TATANAN BARU dalam sistem pemerintahan.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi para petinggi bangsa untuk mau menerapkan Pancasila dan UUD 1945 sesuai marwah aslinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka fungsi Pancasila sebagai alat pembinaan moral, merupakan bentuk penyimpangan atau lebih gamblang merupakan penyembelihan kedudukan dan fungsi Pancasila. Penyembelihannya sangat sempurna sehingga tidak terlihat sama sekali karena diramu secara terstruktur oleh sekelompok ahli dari Blok Barat yang khawatir dengan Demokrasi Pancasila, proses penyembelihannya merujuk pada Bagian Penjelasan UUD 45 yaitu Romawi II sub bagian 4 padahal Bagian Penjelasan tidak termasuk bagian dari UUD 45. Berdasar hal tersebut disusun satu perincian tingkah laku sebagai dasar moral yang terdapat pada setiap kandungan Sila Pancasila yang dipopulerkan dengan sebutan P4.
Akibat penyembelihan tersebut tanpa disadari sebenarnya NKRI sudah tidak lagi berideologi Pancasila. Inilah penyebabnya sehingga tidak mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang dimaksud pada Sila Kelima Pancasila dan tidak mampu mewujudkan bukan karena siapa presidennya. Siapapun presidennya hanya mampu mensejahterakan para kroni dan pendukung pada ring satunya saja.
Dan selama Indonesia merdeka tidak bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, penyebab utama nya karena sistem tata kelola negara yang dipakai tidak jelas yaitu Demokrasi Pancasila hanya menjadi pembungkus Demokrasi Liberal, permukaan luarnya yang terlihat adalah Demokrasi Pancasila sedangkan permukaan dalamnya menggunakan sistem Demokrasi Liberal, sehingga berakibat sistem tata kelola yang dijalankan tidak mempunyai dasar pijakan dan rujukan konstitusi yang jelas.
Selanjutnya Pancasila sebagai alat pembinaan moral pengesahannya disusupkan melalui ketetapan MPR yaitu Tap No. II/MPR/1978 tentang P4 atau Eka Prasetia Pancakarsa, kemudian P4 ditetapkan menjadi kurikulum wajib di sekolah, dengan penetapan tersebut Pancasila menjadi bagian tersendiri dan terpisah dengan UUD-45. Dampak penetapan tersebut yang dirasakan saat ini pemahaman tentang Pancasila sebagai alat pembinaan moral mengakar sangat kuat sehingga sangat sulit untuk diluruskan kembali.
Akibat pergeseran fungsi Pancasila tersebut hampir semua warga negara baik itu para praktisi hukum ataupun para akademisi menjadi tidak mampu mengkritisi dan mengkoreksi bentuk susunan tata kelola negara yang teraplikasi ke dalam susunan birokrasi pemerintahan saat ini, apakah sudah sesuai berdasarkan Pancasila atau belum? Ketidak mampuan mengkrisi disebabkan pemahaman mereka tentang Pancasila sudah tertanam kuat bahwa Pancasila merupakan manifestasi bentuk tingkah laku manusia sesuai isi butir-butir Pancasila seperti yang terkandung dalam P4, sehingga tidak bisa menilai pas tidaknya tata kelola yang berlangsung saat ini, kalaupun mereka mengkritisi tentang tata kelola negara parameternya adalah Demokrasi Barat warisan dari pemerintahan Hindia Belanda bukan berdasar Demokrasi Pancasila.
Koleksi artikel blogger by, PC