LEGENDA KERAJAAN AROSBAYA
Di masa lalu Madura berdiri banyak kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing, diantaranya adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dari semua kerajaan, Kerajaan Arosbaya adalah kerajaan yang pertama kali memeluk Islam di pulau Madura.
Kerajaan Arosbaya diperkirakan bediri pada abad ke-15. Berdirinya kerajaan ini ditandai dengan mulai bertahtanya Kiai Demang Plakaran di keraton Anyar. Kiai Demang Plakaran atau Pangeran Demang Plakaran memiliki beberapa anak laki-laki. Dua putra yang paling terkenal adalah Raden Adipati Pramono dan Kiai Pragalba alias Pangeran Arosbaya.
Menurut catatan silsilah, Kiai Demang Plakaran merupakan keturunan dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V dari jalur Ario Damar, penguasa Palembang. Ario Damar kemudian menurunkan Ario Menak Senoyo yang berkelana dan akhirnya menginjakkan kaki di pulau Madura dan kemudian mendirikan kraton di Proppo, Pamekasan. Menak Senoyo yang kemudian menurunkan Ario Kedut, Ario Timbul, Ario Pojok, hingga Kiai Demang Plakaran. Sumber lain menyatakan Kiai Demang Plakaran adalah trah dari Giri Kedaton dari garis keturunan Sunan Giri I (Sayyid Ainul Yaqin).
Setelah Kiai Demang Plakaran wafat, Kerajaan Arosbaya dipimpin Kiai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Arosbaya. Pada masa pemerintahan Kiai Pragalba, pengaruh Jawa kawi masih begitu kental di Arosbaya, baik dari segi bahasa maupun adat istiadat. Kajian cagar budaya menyatakan, makam Pragalba di makam Komplek Makam Agung Arosbaya, Bangkalan, Madura, didominasi batu-batuan yang sejenis dengan batuan candi di pulau Jawa.
Masa pemerintahan Pragalba juga jadi penanda masuknya pengaruh islam di Madura. Peran dari Sunan Kudus dan kebijaksanaan putra mahkota Raden Pratanu jadi faktor utama pesatnya perkembangan islam di Madura. Setelah ayahnya wafat, Raden Pratanu kemudian meneruskan estafet kepemimpinan Kerajaan Arosbaya dengan gelar Panembahan Lemah Duwur.
Panembahan Lemah Duwur naik tahta sebagai Raja Arosbaya bersamaan dengan kenaikan tahta Sultan Trenggana di Kesultanan Demak. Namun kedua penguasa ini berbeda nasib, Sultan Trenggana tewas dibunuh oleh utusan Arya Penangsang. Menantu Trenggana, Joko Tingkir kemudian balas dendam membunuh Penangsang. Pusat kekuasaan Demak kemudian berpindah di Pajang yang dipimpin Joko Tingkir.
Panembahan Lemah Duwur juga adalah pemimpin visioner di zamannya. Ia memindahkan pusat pemerintahan kraton yang semula di Plakaran ke suatu dataran tertinggi di sekitar Arosbaya. Kraton tersebut kemudian diberi nama Kraton Lemah Duwur. Pasca dipindahkannya pusat kraton, Jaringan islamisasi di pulau garam semakin meluas bahkan sampai ke pusat-pusat islam di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik dan Tuban. Pada masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur, kerajaan Arosbaya juga meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura Barat, termasuk Bangkalan, Sampang, dan Blega.
Kerajaan yang dipimpin Lemah Duwur semakin maju dengan relasi perdagangan yang luas dengan pedagang muslim. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya perahu para pedagang yang bersandar di Arosbaya. Hubungan bilateral Kerajaan Arosbaya diperluas lagi dengan hubungan bilateralke Jawa Tengah melalui persekutuan dengan Kesultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir.
Catatan silsilah di Madura Barat menyatakan, Panembahan Lemah Duwur menikah dengan salah satu putri Joko Tingkir. Dari pernikahan tersebut lahir di antaranya Raden Koro alias Pangeran Tengah, pengganti Lemah Duwur. Pangeran Tengah kelak menurunkan petarung tangguh dari Madura yaitu Raden Trunojoyo.
Dari ulasan diatas dapat diperoleh keterangan jika Kerajaan Arosbaya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang di Jawa Tengah sejak masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur. Hubungan ini sejatinya tidaklah mengherankan karena Demak, Pajang dan Madura adalah kerajaan-kerajaan yang didirikan dan dipimpin keturunan Kerajaan Majapahit.
Panembahan Lemah Duwur memiliki putral bernama Raden Koro yang kemudian menjadi Raja Arosbaya berikutnya dengan gelar Pangeran Tengah (1592-1624). Pangeran Tengah adalah Raja Arosbaya terakhir. Kerajaan islam pertama di Madura ini pada akhirnya hancur akibat politik invasi Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Madura diserang bersamaan dalam invasi Mataram ke Surabaya pada 1624.
Serangan pasukan Mataram ke Madura itu bisa ditemukan dalam beberapa sumber. Serat Kandha memberitakan Sultan Agung menunjuk Aria Jaya Puspita yang baru saja naik pangkat menjadi Adipati Sujanapura sebagai panglima ekspedisi militer ini.
Serangan dari Mataram itu dibaca dengan seksama oleh penguasa Madura. Pangeran Madura bersama sekutunya yaitu Sumenep, Pamekasan, Balega, Pakacangan dan Surabaya, mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dengan total 100.000 prajurit.
Serat Kandha mengabarkan pertempuran antara Mataram dan Madura berlangsung sengit. Mataram membagi angkatan perang dalam empat formasi. Tentara dari Mancanegara ditempatkan di sebelah kiri dan sebelah kanan dikomando Pangeran Sumedang dan Adipati Pragola dari Pati.
Berhari-hari pertempuran berlangsung Mataram belum juga berhasil mengalahkan Madura. Sebanyak 400 tentara terpilih dari Madura berhasil memasuki pondok peristirahatan pasukan Mataram dan membunuh banyak prajurit musuh. Panglima Mataram bertarung satu lawan satu dengan Adipati Pamekasan dengan hasil tanpa pemenang, keduanya meregang nyawa.
Mulai letih dan banyak pasukan yang tewas, pasukan Mataram kemudian mengirim Pangeran Silarong untuk pulang menghadap Sultan Agung. Bantuan kemudian dikirim dari Mataram. Pasukan yang tewas digantikan oleh putra atau saudara mereka. Sultan Agung juga mengirimkan Juru Kiting, putra Adipati Mandaraka yang sudah wafat. Juru Kiting dikirim atas permintaan langsung dari Silarong.
Menurut Babad Tanah Djawi, Juru Kiting pada waktu itu sudah berusia lanjut. Bahkan untuk ikut serta dalam pertempuran di Madura ia harus dipikul dengan tandu. Namun Juru Kiting sangat dihormati oleh petinggi dan pasukan Mataram yang terjun dalam peperangan. Selain keturunan dari tokoh besar, Juru Kiting juga adalah seorang petapa. Juru Kiting berhasil memberikan suntikan energi baru bagi pasukan Mataram yang terjun dalam perang besar di pulau garam.
Juru Kiting yang sudah renta itu pantas disebut sebagai tokoh kunci kemenangan Mataram atas Madura. Di tengah-tengah peperangan, Juru Kiting menyuruh membuat nasi liwet yang pada akhirnya menjadi nasi ajaib .
Nasi itu dibagikan rata oleh Juru Kiting kepada seluruh prajurit. Selanjutnya, Juru Kiting yang duduk diatas tandu dipikul mengelilingi pasukan tiga kali. Selanjutnya, pasukan Mataram diperintahkan melihat ke atas dan kemudian melihat ke bawah. Keajaiban benar-benar terjadi, pasukan Mataram menjadi lebih berani dan dalam pertempuran selanjutnya berhasil meraih kemenangan atas Madura.
Politik invasi Mataram menguasai Madura berakhir mengerikan. Tak satupun raja-raja Madura yang hidup, seluruhnya tewas di tangan pasukan ekspedisi Mataram. Satu-satunya pangeran yang masih hidup adalah Raden Prasena dari Kerajaan Arosbaya. Penguasa Arosbaya yaitu Pangeran Tengah, ayah Raden Prasena, gugur dalam serangan ini. Di Pamekasan, gugur Panembahan Ronggosukowati, dan penggantinya. Sementara di Madura Timur atau Sumenep, gugur Pangeran Lor II dan Pangeran Cakranegara.
Sumber referensi :
Dirilis ulang oleh POINT Consultant