Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (4)
TJOKROAMINOTO DI USIA SENJA
Oleh Denny JA
Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (4)
TJOKROAMINOTO DI USIA SENJA
Oleh Denny JA
Surabaya, 1934. Rumah tua, bisu saksi gemuruh masa lalu, kini hanya sunyi bersemayam. Tjokroaminoto duduk sendiri, merenungi api yang pernah ia sulut, kini tinggal bara dalam ingatan. (1)
-000-
Malam merayap di Surabaya, menyelimuti rumah tua,
tempat dulu suara-suara muda menggelegar.
Kini, hanya hening yang menyapa,
bayang kenangan menari di dinding waktu.
Di sudut ruang,
Tjokroaminoto duduk,
sang Guru Bangsa,
api pertama di negeri terjajah,
menatap sunyi yang memeluk.
Rasa sepi kini sering mengujunginya.
Syarif, asistennya yang setia,
selalu menemani.
Lagi dan lagi, ia mendengar hal yang sama.
Tjokro bercerita soal
petani, buruh, kaum terpelajar,
suara-suara yang ia satukan dalam tekad.
“Coba dengar, Syarif,”
ujar Tjokro,
dinding rumah tua kita masih menyimpan gema suara petani:
“Sawah kami,
dulu bukan hijau,
tapi ladang duka,
air mata bersemi.
Panen hanyut,
bukan ke lumbung,
tapi ke pundi penjajah.
Lalu datanglah ia, Tjokroaminoto,
bukan nama, tapi bara yang menyala.”
Ucapannya bukan pelajaran,
tapi obor di kegelapan jiwa.”
-000-
HOS Tjokroaminoto kini menua,
tubuh renta, jiwa masih menyala.
“Dulu, ia nyalakan bara yang menyatukan.
Kini murid-muridnya bertikai di jalan berbeda.
Ia tak lagi mercusuar bagi arah mereka.”
Syarif juga ingat.
Di ruang ini, Tjokro menjadi cahaya,
bagi Bung Karno muda,
bagi Muso yang bergejolak,
dan bagi Kartosuwiryo,
yang teguh dalam Islam.
Mereka, pemuda dari aneka ide,
berkumpul dalam naungan sang Guru.
Tjokro tahu,
nyala tak bisa dipaksa dalam genggaman,
sungai tak bisa dipaksa satu muara.
Murid-muridnya tumbuh membawa obor sendiri,
berpencar, mengukir jalan berbeda.
Di usia senja, Tjokro tersisih dalam sunyi,
melihat Sarekat Islam yang ia bangun,
retak dari dalam.
Cermin pecah berkeping-keping.
Angin kehilangan arah,
organisasi ini dulu satu, kini terpecah.
Ia juga melihat para muridnya,
bukan saja berbeda,
tapi berseberangan.
Bung Karno, nasionalis.
Muso, komunis.
Kartosuwiryo, negara Islam.
Di keheningan, ia menerima kenyataan,
peran Guru Bangsa hanya menyalakan api,
bukan menjaga awan dalam satu jalan.
Karena angin tak bisa dipaksa satu arah.
Burung terbang bebas di angkasa,
bebas membuat sarangnya sendiri.
Ia, Tjokroaminoto, kadang ragu dengan perannya.
“Apakah aku gagal, Syarif?”
tanya Tjokro.
Ia merasa menjadi debu
terbang di pusaran angin perpecahan.
Organisasinya, seperti cermin pecah berkeping,
murid-muridnya seperti obor di malam kelam,
bercahaya, tapi saling menghanguskan.
Banyak berkata, ‘Satukan mereka, wahai Guru!
Indonesia perlu mereka saling rangkul, bukan saling pukul.
Tapi Tjokro hanya tersenyum,
karena ia tahu,
angin tak bisa dipaksa berembus satu arah,
dan burung-burung itu,
Bung Karno, Muso, Kartosuwiryo,
perlu mengepakkan sayap sendiri,
mencari sarang di cakrawala mereka masing-masing.”
Di senja usianya,
ketika ia menutup mata,
ia tak tahu,
apakah impiannya mencapai puncak?
Apakah Indonesia akhirnya merdeka?
Namun ia ingin yakin saja.
Tugasnya sudah paripurna:
menyalakan api.
Sejarah akan menyelesaikan sisanya. ***
Jakarta, 22 Januari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah masa tua HOS Tjokroaminoto
Ditulis ulang oleh POINT Consultant