Disabilitas
![]() |
Foto : Anak-anak Didik Yayasan Kerabat Mulia Kepung Kabupaten Kediri, tahun 2025 total anak didik kami 120 anak didik (jenjang tingkat sekolah SD, SMP, SMA) |
Disabilitas adalah keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dialami seseorang dalam jangka waktu lama. Disabilitas dapat membuat seseorang kesulitan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.
Istilah lain untuk penyandang disabilitas adalah difabel. Difabel bukan berarti orang yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Jenis-jenis disabilitas :
- Disabilitas fisik, seperti gangguan gerak
- Disabilitas sensorik, seperti gangguan pendengaran atau penglihatan
- Disabilitas intelektual, seperti ketidakmampuan untuk berpikir atau membuat keputusan
- Disabilitas mental, seperti fobia, depresi, skizofrenia, atau gangguan kecemasan
Hak penyandang disabilitas :
- Memiliki kedudukan hukum dan HAM yang sama dengan orang normal lainnya
- Memiliki hak untuk hidup maju, berkembang, dan bermartabat
- Memiliki hak yang sama dengan semua orang dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi apa pun
Untuk menghargai, membantu, dan hidup berdampingan dengan penyandang disabilitas, kita dapat :
- Mempelajari tentang disabilitas
- Memahami apa yang dialami dan dibutuhkan oleh para difabel sehari-harinya
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total populasi.
Jenis disabilitas di Indonesia :
- Disabilitas netra
- Disabilitas rungu
- Disabilitas daksa
- Disabilitas intelektual
- Gangguan emosi dan perilaku
- Gangguan komunikasi
- Disabilitas mental
- Gangguan perhatian dan hiperaktivitas
Tantangan penyandang disabilitas di Indonesia :
- Stigmatisasi dan penolakan sosial
- Hambatan aksesibilitas
- Hambatan dalam berinteraksi sosial
- Hambatan dalam mendapatkan pendidikan
- Hambatan dalam mendapatkan pekerjaan
- Hambatan dalam mendapatkan akses kesehatan
Upaya pemerintah untuk penyandang disabilitas :
- Meluncurkan program bantuan makanan bagi penyandang disabilitas
- Mereformasi Undang-Undang Kesehatan
- Melatih kompetensi pendidikan inklusif pada tenaga pendidik
- Menyerap angkatan kerja penyandang disabilitas
- Memberikan perlindungan sosial, khususnya dalam akses kesehatan dan pendidikan
Komitmen masyarakat untuk penyandang disabilitas :
- Menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas
- Menghargai perbedaan yang ada pada penyandang disabilitas
Beberapa peraturan pemerintah tentang penyandang disabilitas di antaranya :
- PP No. 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas
- PP No. 42 Tahun 2020 tentang Permukiman, Pelayanan Publik, dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas
- Undang-Undang yang mengatur tentang penyandang disabilitas adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Penjelasan :
- Penyandang disabilitas adalah orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama.
- Penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia.
- Penyandang disabilitas berhak mendapatkan layanan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
- Penyandang disabilitas berhak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak.
- Penyandang disabilitas berhak mendapatkan kemudahan akses terhadap permukiman, pelayanan publik, dan perlindungan dari bencana.
- Penyandang disabilitas berhak mendapatkan layanan habilitasi dan rehabilitasi.
- Penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam kegiatan keolahragaan.
Mengenal Disabilitas
Sekitar 15 dari 100 orang di dunia menyandang disabilitas. Antara 2-4 dari 100 orang mengalami disabilitas berat (World Report on Disability, WHO 2011). Dengan meningkatnya usia harapan hidup terdapat kecenderungan meningkatnya penyandang disabilitas, apalagi jika disertai pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Terjadinya disabilitas juga dapat disebabkan penyakit dan kondisi kesehatan tertentu, bencana alam, kecelakaan, dan penyebab lainnya.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang disabilitas, dan memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan martabat, hak serta kesejahteraan para penyandang disabilitas, tanggal 3 Desember dinyatakan sebagai Hari Disabilitas Internasional (International Day of Persons with Disabilities, IDPWD) pada tahun 1992 oleh Majelis Umum PBB. Peringatan IDPWD juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan keuntungan dari integrasi penyandang disabiltas dalam setiap aspek kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Kata “disabilitas” tidak lain adalah kata “cacat” yang selama ini di gunakan oleh orang-orang untuk menyebut orang yang kekurangan fisik atau mental. Karena kata “penyandang cacat” mengandung makna konotasi negatif, maka bahasa tersebut di ubah menjadi “penyandang disabilitas”. Istilah “disabilitas atau cacat” memiliki konotasi yang negatif dan tidak bersahabat terhadap mereka yang memiliki kelainan. Persepsi yang muncul dari istilah “penyandang disabilitas” adalah kelompok sosial ini merupakan kelompok yang serba kekurangan, tidak mampu, perlu dikasihani, dan kurang bermartabat. Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan konvensi internasional yang mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang disabilitas” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai manusia.
Pemahaman publik tentang disabilitas dan penyandang disabilitas berkaitan erat dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku diskriminatif terhadap penyandang disabilitas itu umumnya diakibatkan oleh pemahaman negatif / negative awareness tentang apa itu disabilitas dan siapa itu penyandang disabilitas. Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Sejarah telah memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang sebagai ‘berbeda’ dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan dianggap sebagai yang tidak diinginkan / not desirable dan tidak dapat diterima / not acceptable sebagai bagian dari komunitas. Pelabelan negatif sebagai ‘berbeda dari yang diterima sebagai normalitas’ adalah suatu proses stigmatisasi.
Penyandang disabilitas memiliki hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai tanpa diskriminasi karena disabilitas. Para penyandang disabilitas dapat mengakses pelayanan kesehatan yang peka terhadap gender, termasuk rehabilitasi yang terkait dengan kesehatan.
Pelayanan kesehatan dimulai dari pencegahan, kemudian rehabilitasi dan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Pencegahan disabilitas harus dilakukan sedini mungkin, namun jika disabilitas telah terjadi, diupayakan tingkat kemandirian seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki.
Macam-macam Penyandang Disabilitas :
1. Tuna Rungu
Tuna rungu juga merupakan suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar.
2. Tuna Netra
Sikap masyarakat luas terhadap tuna netra jauh lebih baik di bandingkan dengan sikap terhadap tuna rungu. Kebutaan adalah cacat yang dapat di lihat dengan jelas oleh semua orang. Orang tuna netra pada umumnya menimbulkan simpati pada orang-orang lain tetapi mungkin simpati tersebut disesalkan oleh orang tuna netra itu sendiri.
3. Tuna Daksa
Tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik, ialah berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Namun, tidak semua anak-anak tuna daksa memiliki keterbelakangan mental.
4. Tuna Grahita
Tuna grahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau bisa juga di sebut dengan retardasi mental. Tuna grahita inilah yang membuat para tuna grahita sulit untuk mengikuti program pendidikan seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu, anak-anak ini membutuhkan sekolah khusus dengan pendidikan yang khusus pula.
5. Tuna Laras
Tuna laras merupakan sebutan untuk individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Penderita biasanya menunjukkan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku di sekitarnya. Secara garis besar, anak tuna laras dapat di klarifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak mengalami gangguan emosi.
6. Autis
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal. Di tinjau dari segi bahasa, autis berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sendiri”. Hal ini dilatarbelakangi karena nak autis pada umumnya hidup dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian, dan tak ada seorangpun yang mendekatiya selain orang tuanya.
9 Aturan Turunan UU Penyandang Disabilitas
9 peraturan turunan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sejak 2019 hingga 2020.
Ditetapkan sembilan peraturan turunan itu disahkan sebagai wujud komitmen penuh sewaktu pemerintahan Presiden Jokowi untuk menjalankan amanat UU tentang Penyandang Disabilitas itu.
Amanat UU No. 8 Tahun 2016. Bapak telah mengesahkan sebanyak sembilan kebijakan sebagai peraturan turunan dari UU No. 8 Tahun 2016," kata Angkie seperti dikutip Antara.
Dalam kesempatan itu dijabarkan peraturan tersebut yakni :
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas,
- PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
- PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
- PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas.
- PP Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas bidang Ketenagakerjaan.
- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- Perpres Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas.
Ratifikasi Perjanjian Internasional yang diatur dalam Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengesahan Traktat Marrakesh untuk Fasilitasi Akses atas Ciptaan yang Dipublikasi bagi Penyandang Disabilitas Netra, Gangguan Penglihatan, atau Disabilitas dalam Membaca Karya Cetak.
Keseluruhan peraturan turunan itu, bisa diunduh melalui tautan situs resmi Kementerian Sekretariat Negara. Lalu pada kolom pencarian (search), dapat diketik :
"Penyandang Disabilitas”. Pemerintah berkomitmen penuh dalam hal ini, mempercayakan tugas itu kepada Kementerian-Kementerian terkait.
Bagaimana peraturan-peraturan pemerintah ini bisa dijadikan peraturan menteri yang artinya keterlibatan teman-teman disabilitas pun dapat terintegrasi sejalan dengan aturan hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia, yang berasaskan penghormatan (respect), pelindungan (protect), pemenuhan (fulfill) hak penyandang disabilitas.
Dipetik dari UU No.8 Tahun 2016 mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan sejumlah peraturan teknis, diantaranya :
- Pertama, rancangan PP (RPP) tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- Kedua, RPP tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
- Ketiga, RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
- Keempat, RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi.
- Kelima, RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan Publik.
- Keenam, RPP tentang Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan.
- Ketujuh, RPP tentang Konsesi dan Insentif Dalam Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- Kedelapan, rancangan Perpres tentang Komisi Penyandang Disabilitas (KND) sebagai mandat Pasal 134 UU No.8 Tahun 2016.
Sebelumnya, terbitnya No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Penyandang Disabilitas mendapat kritikan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK mengkritisi Perpres No.68 Tahun 2020 tidak mencerminakan konsep yang tepat sesuai amanat pembentukan KND sebagaimana amanat UU No.8 Tahun 2016. Dia menyebut sedikitnya 161 organisasi penyandang disabilitas dari 34 provinsi telah menerbitkan petisi yang mendesak pemerintah merevisi Perpres No.78 Tahun 2020.
Setidaknya ada 5 alasan yang mendasari tuntutan tersebut :
- Pertama, KND yang dibentuk melalui Perpres No.68 Tahun 2020 menunjukan adanya kemunduran implementasi UU No.8 Tahun 2016 terutama dalam upaya memposisikan disabilitas sebagai isu HAM. Pemerintah dinilai belum memahami disabilitas sebagai bagian dari isu HAM karena KND dilekatkan secara kelembagaan kepada Kementerian Sosial yang tidak memiliki urusan di bidang HAM. Berdasarkan Perpres No. 46 Tahun 2015, urusan Kementerian Sosial terbatas kepada rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.
- Kedua, KND dibentuk sebagai lembaga yang tidak independen dan rawan konflik kepentingan karena komisi ini berada dalam unit di bawah Kementerian Sosial. Hal ini menyebabkan KND terbatas dalam menjalankan tugas, terutama terkait kinerja Kementerian Sosial yang selama ini banyak dikritik organisasi penyandang disabilitas.
“Karena masih melihat disabilitas dari pendekatan belas kasih (charity based). KND juga berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementerian Sosial, yang pekerjaannya akan sering sekali menjadi sasaran evaluasi, pemantauan, dan advokasi sebagai tugas KND.
- Ketiga, kelembagaan KND membatasi representasi penyandang disabilitas. Pemerintah dinilai keliru menafsirkan KND merupakan bagian dari koordinasi yang diemban Kementerian Sosial sebagaimana Pasal 129 UU No.8 Tahun 2016. Padahal, KND telah diatur khusus pada Bab VI UU No.8 Tahun 2016 dimana kelembagaan KND bersifat independen dan nonstruktural serta memiliki tugas sendiri.
KND ini bekerja di luar pemerintah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Kemudian anggaran KND harusnya langsung dari APBN bukan anggaran Kementerian Sosial.
- Keempat, mekanisme kerja KND minim pelibatan organisasi penyandang disabilitas. Pengisian anggota KND dinilai tidak memberi kesempatan penuh bagi penyandang disabilitas karena membatasi peluang dengan menetapkan jatah anggota KND dari penyandang disabilitas sebanyak 4 dari total 7 orang. Padahal, Pasal 33 ayat (3) UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) adalah mengutamakan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pengawasan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam suatu negara.
- Kelima, proses pembentukan KND tidak transparan dan partisipatif, sehingga tidak merepresentasikan aspirasi dari masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia. Pemilihan panitia seleksi dan penunjukan anggota KND untuk kali pertama tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas. Ini dikhawatirkan mengganggu independensi dan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas.
Sumber Referensi :
- Dini Widinarsih. 2019. Penyandang Disabilitas di Indonesia : Perkembangan Istilah dan Definisi. Diambil dari Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jilid 20, Nomor 2, Oktober 2019, 127-142.
- Couser, G.T. 2009. Three Paradigms of Disability. Diakses dari https://www.academia.edu/2306082/Three_paradigms_of_disability.
- Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018. Disabilitas. Direktorat Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan.
- Ahmad Wasita. 2012. Seluk Beluk Tunarungu dan Tunawicara Serta Strategi Pembelajarannya. Yokyakarta : Javalitera, hal. 17.
- Yustinus Semiun, OFM. 2007. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kansius (Anggota IKAPI), hal. 302.
POINT Consultant