Mereka Yang Menggigil di Arus Sejarah (12)
MALAM TERAKHIR DI WARSAWA
Oleh Denny JA
Mereka Yang Menggigil di Arus Sejarah (12)
MALAM TERAKHIR DI WARSAWA
Oleh Denny JA
(April - Mei 1943, lima puluh enam ribu Yahudi yang terkurung di Ghetto Warsawa memutuskan untuk melawan Nazi hingga tetes darah terakhir.)
-000-
Di bawah nyala lilin yang gemetar,
mereka membagi roti terakhir,
roti yang lebih banyak air mata daripada gandum.
Mereka juga membagi ketakutan, doa, dan ingatan yang tak akan bertahan esok pagi.
Dengan tangan gemetar, mereka menulis pesan terakhir.
Bukan untuk seseorang, bukan untuk kekasih—
tetapi untuk waktu yang akan terus berjalan tanpa mereka.
Seorang bocah menggambar di dinding,
sebuah rumah, sebuah pohon, jendela terbuka.
Dunia yang sebentar lagi tak lagi ada untuknya.
-000-
Di jantung Warsawa yang tak lagi berdetak,
matahari terbenam tanpa perpisahan,
jendela-jendela buta menatap kehampaan,
di jalanan, abu lebih banyak dari batu.
Di bawah tanah, di lorong-lorong dingin,
mereka duduk dalam diam.
Bukan diam yang hampa,
tetapi diam yang lebih tajam dari pedang.
Tangan-tangan luka saling menggenggam,
mata yang letih saling mencari jawaban.
“Apakah besok kita masih bisa melihat pagi?”
bisik seorang gadis kepada ibunya.
Ibunya tersenyum, tanpa janji.
Di sudut lain, seorang lelaki berbisik,
“Kita tidak akan menyerah, bukan?”
Tidak ada yang menjawab,
tetapi genggaman tangannya cukup memberi arti.
Malam ini panjang, lebih panjang dari waktu.
Malam ini abadi,
karena fajar tak akan pernah datang.
-000-
Mordechai berdiri, suaranya setenang batu nisan.
“Besok, kita akan bertahan.
Atau kita akan menjadi abu.
Tapi kita akan memilih cara kita sendiri untuk mati.”
Seorang wanita tua menatap langit penuh asap.
“Dulu ada bintang-bintang di sana.”
Dan sepasang kekasih berjanji:
“Jika kita bertemu lagi,
biarlah di tempat yang tidak ada perang.”
-000-
Fajar tiba tanpa warna.
Dari kejauhan, suara sepatu bot menghantam bumi.
Dunia bergetar.
Ledakan pertama datang seperti lonceng kematian.
Bunker pertama hancur.
Di bawah tanah, seorang ibu menutup mata anaknya.
“Tidurlah, sayang.
Mungkin di mimpi, kita akan bebas.”
Di luar, Mordechai mengangkat pistol terakhirnya.
Pelurunya bukan untuk musuh,
tetapi untuk langit yang tidak lagi mendengar doa.
Sekali tembak.
Lalu bayangan menelannya.
Dan Warsawa tenggelam dalam debu.
Hanya sunyi yang tersisa.
-000-
Tetapi malam terakhir di Warsawa,
bukan malam kekalahan.
Itu malam keberanian
menjadi puisi yang tak akan pernah mati.
Sejarah mencatat mereka bukan sebagai korban,
tapi sebagai pejuang,
memilih berdiri di ujung hidup,
tanpa tunduk.
Dan di langit yang hitam pekat,
bintang-bintang yang hilang
mungkin sedang menangis.
Ledakan itu merobek malam,
mengubur 56 ribu tubuh dalam abu.
Tetapi mereka tidak lenyap.
Mereka menjadi bisikan yang menghantui lembaran sejarah.
Jakarta, 21 Februari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini adalah dramatisasi tentang 56 ribu Yahudi Polandia yang memilih melawan sekuat yang bisa, memilih mati dalam pertempuran dibanding mati di kamp gas beracun.
https://www.nationalww2museum.org/war/articles/warsaw-ghetto-uprising
POINT Consultant