TEMPO tidak menyisakan walau sedikitpun kepercayaannya ke Prabowo. Baca editorial tempo hari ini.
*TEMPO tidak menyisakan walau sedikitpun kepercayaannya ke Prabowo. Baca editorial tempo hari ini*._
Idealisme adalah kemewahan terakhir seorang pemuda. Kata-kata Tan Malaka ini mungkin tak diingat oleh para mahasiswa yang turun ke jalan dalam demonstrasi “Indonesia Gelap” pada 20 Februari 2025. Tapi aksi mereka adalah perwujudan kalimat “bapak pendiri Indonesia” itu.
Mahasiswa jadi harapan terakhir mengoreksi pemerintahan yang bebal dan kebablasan. Setelah pejabat kampus diam karena disuap konsesi tambang, setelah organisasi keagamaan tunduk karena kenyang bermesraan dengan kekuasaan, setelah aktivis dirangkul memakai jabatan, gerakan masyarakat sipil tersisa adalah aksi mahasiswa.
Belum enam bulan menjabat, pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan gejala otoriter dan makin menjauh dari cita-cita Reformasi. Alih-alih mendengar kritik publik tentang kabinet besar karena memboroskan anggaran, Prabowo malah mencibir dan memaki kritik itu dengan menyebutnya “Ndasmu!”.
Tidak hanya kasar dan tak patut makian itu diucapkan seorang presiden dalam forum resmi ulang tahun Partai Gerindra, tanggapan Prabowo terhadap semua kritik kepadanya menunjukkan ia pemimpin yang bebal. Seperti sudah diduga sejak dulu, Prabowo bukan seorang negarawan yang bisa memimpin Indonesia dengan adil dan bijak.
Publik bisa maklum dengan gayanya yang berangasan, suka menggebrak meja dan berteriak jika berpidato. Tapi, ketika ia berlaku kasar, mencibir, bahkan memaki saat menanggapi kritik, kita kehilangan harapan mendapatkan politikus yang minimal menjadi pemimpin. Harapan itu musnah ketika berulang-ulang Prabowo berteriak “Hidup Jokowi!”.
Presiden yang sedang menjabat patut menaruh respek kepada presiden sebelumnya. Namun memuja pendahulunya seraya menampik kritik publik kepadanya adalah berlebihan.
Kebijakan-kebijakan Joko Widodo selama menjadi presiden membuat pemerintahan Prabowo juga terkena dampaknya.
Pemangkasan anggaran besar-besaran yang berpengaruh pada layanan publik adalah buah kebijakan Jokowi yang rajin berutang dalam membiayai proyek mercusuar.
Utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah tahun ini lebih dari Rp 1.350 triliun. Dengan kewajiban itu, pemerintahan Prabowo tak leluasa menjalankan program utamanya menyediakan makan siang gratis bagi anak-anak dan ibu hamil. Proyek ini membutuhkan anggaran setidaknya Rp 170 triliun setahun.
Belum lagi proyek Ibu Kota Nusantara yang tak jelas juntrungannya.
Maka menunduk-nunduk dan berteriak “Hidup Jokowi” menandakan Prabowo tak ingin lepas dari bayang-bayang mantan rival sekaligus bosnya itu. Prabowo seperti tak sadar bencana pemerintahannya dimulai dari pelbagai kebijakan Jokowi yang serampangan dan manuver politik yang melanggar hukum: dari membuat proyek strategis nasional, melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga memaksakan anaknya menjadi wakil presiden.
Rancangan sampul Tempo "Habis Gelap Terbitlah Gelap".
Kini kekuasaan Prabowo menjadi lebih mengerikan karena ugal-ugalan dan amatiran mengurus negara ini diikuti gaya militeristik yang kuat. Ia memimpin Indonesia layaknya seorang komandan perang yang perintah-perintahnya tak bisa dibantah.
Alih-alih seperti Temasek, Prabowo hendak menerapkan “kapitalisme negara” ala Tiongkok dengan membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara.
Lembaga baru ini akan mengelola ribuan triliun rupiah aset perusahaan negara tanpa transparansi yang memadai.
Bahkan, untuk para kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat pun, Prabowo merasa berhak mengintervensinya dengan cara-cara militer lewat retret di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.
Di bawah Prabowo, represi juga makin menguat. Setelah pelarangan pameran lukisan di Galeri Nasional pada akhir tahun lalu, kini polisi membredel lagu “Bayar Bayar Bayar” milik band Sukatani. Duo pemusiknya dipaksa membuka topeng yang menjadi identitas seni mereka dalam video permintaan maaf karena telah membuat lagu yang bercerita tentang semua urusan harus membayar kepada polisi.
Jika Anda tak cemas terhadap pemerintahan yang takut kepada lukisan dan lagu, Indonesia benar-benar menuju kegelapan. Tak seperti harapan RA Kartini di awal 1900-an, sehabis gelap belum terlihat cahaya di ujung terowongan Indonesia. ●
*Bagja Hidayat Wakil Pemimpin Redaksi.*
Koleksi Artikel POINT Consultant