Yang Menggigil di Arus Sejarah (9)
PEMBERONTAKAN PARA BUDAK
Oleh Denny JA
Yang Menggigil di Arus Sejarah (9)
PEMBERONTAKAN PARA BUDAK
Oleh Denny JA
(Pada tahun 1831, di Amerika Serikat, pemberontakan para budak bisa ditumpas. Tapi api kehendak bebas terus menjalar) (1)
-000-
Aku ada di sana.
Di bawah matahari yang membakar.
Di tengah hamparan kapas putih.
Di antara tubuh-tubuh yang membungkuk.
Punggung dihiasi luka.
Hidup ditakar seperti ternak.
Aku mendengar suara cambuk melayang.
Menghantam punggung ayahku.
Mengiris kulit saudara-saudaraku.
Di mataku, ibu menangis dalam diam.
Sambil menggenggam tangan kecil adikku,
yang esok mungkin tak lagi ada di sisinya.
Di pasar perbudakan,
Anak-anak dipisahkan dari ibunya,
Suami dipisahkan dari istrinya.
“Jangan pisahkan aku,
dengan bocahku,”
Ibu menangis, menjerit.
Tangan ibu mengejang,
seperti akar yang mencengkeram tanah kering.
Tapi tangan besi itu mencabutnya dengan sekali ayun.
Ibu tersungkur, bibirnya berdarah, matanya kosong,
menjadi bulan kehilangan cahaya.
Kasih sayang tak lebih dari angka.
Ditawar, dibeli, dilupakan.
Di malam yang sepi,
kami berbisik tentang kebebasan.
Tentang tanah yang tak lagi mencium bau darah.
Tentang hari ketika kami tak lagi takut.
Tapi bagi budak, mimpi hanyalah candu.
Dan fajar tak pernah membawa keajaiban.
-000-
Namun ada satu di antara kami.
Ia tak hanya bermimpi.
Juga tak hanya berbisik.
Nat Turner, namanya.
Ia membaca saat kami dilarang.
Ia berkhotbah saat kami dibungkam.
Dalam sunyi, ia mendengar suara Tuhan.
Suara itu berbisik kepadanya di malam hari:
“Bangkitlah.
Bebaskan para budak.”
Mereka menyebutnya gila.
Saat pertama kali mataku menatapnya.
Di bawah sinar rembulan yang redup,
Kulihat sosoknya berdiri tegar.
Malam memeluknya dengan jubah kelam.
Tapi matanya menyala,
menjadi obor yang melawan badai.
Tubuhnya tegak.
Ia pohon tua yang tak tumbang,
dihempas angin kezaliman yang tak henti-henti
Seakan Musa turun dari Sinai,
Membawa wahyu langsung dari langit.
Menggetarkan jiwa yang lama tertidur.
Membangkitkan harapan yang hampir padam.
“Ini nabi baru,” kataku dalam hati.
“Ia dikirim khusus untuk kami, para budak kulit hitam.”
Ia bicara tentang Firaun yang tumbang.
Tentang laut yang terbelah.
Tentang Tuhan yang memihak tertindas.
Aku mendengar, aku percaya.
Dan aku bukan satu-satunya.
Malam itu, ia mengumpulkan kami.
Dengan suaranya yang serak tapi kuat,
Ia berkata:
“Kita tidak dilahirkan untuk dijual.”
“Tuhan tak menciptakan manusia untuk berlutut.”
“Fajar tak akan membawa kebebasan.”
“Kita yang harus menjemputnya.”
Dan kami pun bangkit.
Menjemput kebebasan.
-000-
Fajar itu, kami bukan lagi budak.
Kami manusia.
Kami meraih kapak, pisau, batu.
Apa pun yang bisa menggantikan ketidakberdayaan.
Kami berjalan ke rumah para tuan.
Jeritan membelah langit pagi.
Untuk pertama kalinya,
merekalah yang takut.
Api berkobar, dinding-dinding runtuh.
Besi yang dulu membelenggu kami,
kini menjadi senjata di tangan kami.
Angin pagi membawa bisikan baru:
Kami bebas. Kami bebas!
Sejenak, kami manusia seutuhnya.
Sejenak, langit terasa lebih luas.
Sejenak, sejarah berpihak pada kami.
Namun sejarah tak pernah membiarkan kami menang lama.
Fajar yang sama membawa badai.
Mereka datang, lebih banyak, lebih ganas.
Dengan senapan dan kuda,
Dengan perintah untuk memadamkan nyala.
Satu per satu kami jatuh.
Darah kami menyatu dengan tanah,
tanah yang selama ini kami bajak,
tanah yang tak pernah menjadi milik kami.
Nat Turner bertahan.
Seperti batu yang melawan arus.
Tapi mereka menangkapnya,
mengadilinya.
Mereka menggantungnya di bawah matahari yang sama.
Aku melihat tubuhnya terkulai.
Mati.
Tapi aku tahu ia tak kalah.
Ia mati, tapi apinya tetap hidup.
-000-
Namun, cerita tak berakhir di tiang gantungan.
Di Selatan, rantai semakin diperketat.
Cambuk semakin sering berbicara.
Mereka ketakutan.
Mereka tahu, kami tak akan selamanya tunduk.
Tapi di Utara, namanya berbisik di jalan-jalan.
Nat Turner bukan hanya bayangan.
Ia menjadi bara dalam hati budak lain.
Frederick Douglass berbicara lantang.
Harriet Tubman menuntun di bawah bintang.
Api yang ia nyalakan, kini membakar dunia.
Mereka pikir mereka telah menang.
Tapi pemberontakan bukan hanya darah yang tumpah.
Bukan hanya bilah parang yang diangkat ke langit.
Pemberontakan adalah api yang tak bisa mereka padamkan.
Selama masih ada rantai di tangan manusia,
selama masih ada yang ditindas,
akan selalu ada mereka yang berani.
Akan selalu ada mereka yang melawan.
Nat Turner tak menang,
Tapi ia tak kalah.
Sejarah akan mengingat namanya.
Aku membawa kisah ini,
menuai bara dalam genggaman.
Tak padam, hanya menunggu angin untuk membakar zaman.”***
Jakarta, 18 Febuari 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah sebenarnya, budak bernama Nat Turner memimpin pemberontakan para budak atas tuannya kulit putih.
Gilder Lehrman Institute of American History |https://www.gilderlehrman.orgNat Turner's Rebellion, 1831
Ditulis ulang oleh POINT Consultant