Bisakah Kasus yang Sama Dilaporkan pada Dua Kantor Polisi Berbeda ?
Pertanyaan ?
A melaporkan B ke kantor Polisi Resort Kota, yaitu tentang B yang dituduh telah melakukan penipuan/penggelapan. Setelah penyelidik Kepolisian Resort Kota melakukan pemeriksaan, ternyata B tidak terbukti melakukan tindak pidana penipuan/penggelapan, dengan akhir kata kedua belah pihak sepakat menyelesaikan secara damai dengan surat perjanjian damai.
Setelah setahun berlalu, A merasa dirugikan dengan surat perjanjian damai tersebut. Kemudian, A melaporkan kembali kasus yang sama ke kantor Polsek dengan menggunakan bantuan pengacara. Diduga ada konspirasi antara A dan pengacaranya dengan pihak Polsek untuk menjerat B. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan B?
Daftar Isi :
- pertanyaan
- daftar isi
- intisari jawaban
- ulasan lengkap
- keadilan restoratif
- surat perjanjian damai dan sp3
- upaya hukum
- tags
INTISARI JAWABAN / ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Kasus yang Sama Dilaporkan pada Dua Kantor Polisi Berbeda, yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada 04 Oktober 2010.
Keadilan Restoratif
Pada dasarnya, kepolisian berwenang menerima laporan/pengaduan dari masyarakat, baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan media elektronik tentang adanya tindak pidana.[1]
Terhadap laporan/pengaduan yang diterima, selanjutnya kepolisian akan melakukan kegiatan penyelidikan, salah satunya wawancara terhadap saksi-saksi.[2] Terhadap hasil kegiatan penyelidikan akan dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan suatu peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana, di mana hasil gelar perkara yang merupakan tindak pidana dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sedangkan hasil gelar perkara yang bukan merupakan tindak pidana dilakukan penghentian penyelidikan.[3]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000Lihat Semua Kelas
Selanjutnya, penyelenggaraan kegiatan penyelidikan ataupun penyidikan oleh pihak kepolisian didasarkan pada asas keadilan restoratif, yaitu penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.[4]
Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan pada kegiatan :[5]
- penyelenggaraan fungsi reserse kriminal;
- penyelidikan; atau
- penyidikan.
Penyelenggaraan fungsi reserse kriminal dilakukan oleh pengemban fungsi Pembinaan Masyarakat dan Samapta Polri sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Adapun penanganan tindak pidana pada kegiatan ini dapat dilakukan penyelesaian tindak pidana ringan.[6]
Sedangkan penyelidikan atau penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri, dan tindak penanganan tindak pidananya dapat dilakukan penghentian penyelidikan atau penyidikan.[7]
Lebih lanjut, keadilan restoratif dalam proses penyidikan harus memenuhi syarat materiel dan formil, yaitu:[8]
Materiel, meliputi :
- tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
- tidak berdampak konflik sosial;
- adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
prinsip pembatas :
- pada pelaku:
- tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan
- pelaku bukan residivis;
- pada tindak pidana dalam proses:
- penyelidikan; dan
- penyidikan, sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”) dikirim ke penuntut umum.
Formil, meliputi :
- surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
- surat pernyataan perdamaian (akta dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan penyidik;
- berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
- rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
- pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.
Surat Perjanjian Damai dan SP3.
Berdasarkan pertanyaan Anda, penyelidik Kepolisian Resort Kota telah melakukan pemeriksaan terhadap B, kemudian B tidak terbukti melakukan tindak pidana penipuan/penggelapan, sehingga selanjutnya A dan B sepakat menyelesaikan secara damai dengan surat perjanjian damai.
Perdamaian didefinisikan sebagai suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis.[9] Dalam hal ini, yang dimaksud dengan barang termasuk juga di dalamnya hak yang dapat menjadi objek dari hak milik.[10] Dengan dibuat dan ditandatanganinya perjanjian perdamaian, maka para pihak menjadi terikat terhadap isi perdamaian tersebut dan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.[11]
Dalam pertanyaan, Anda menjelaskan bahwa setahun setelah perdamaian berjalan, A merasa dirugikan dengan surat perjanjian perdamaian dan kembali melaporkan kasus yang sama ke kantor Polsek dengan menggunakan bantuan pengacara, serta diduga ada konspirasi antara A dan pengacaranya dengan pihak Polsek untuk menjerat B. Lantas, apa upaya hukum yang dapat dilakukan B?
Terkait kekuatan hukum atas suatu perjanjian perdamaian, telah diatur bahwa suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.[12]
Selain itu, seperti yang Anda sebutkan, dari penyidik telah dinyatakan bahwa B tidak melakukan tindak pidana penipuan/penggelapan. Bila hal ini benar, seharusnya dari pihak kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (“SP3”) atas nama B. Hal ini sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu dalam hal penyidikan dihentikan karena tidak terjadi tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut pada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Jadi, sebaiknya yang dilakukan oleh B adalah menunjukkan SP3 dari kepolisian untuk membuktikan bahwa sebelumya B sudah pernah dinyatakan tidak melakukan tindak pidana tersebut.
Upaya Hukum.
Selanjutnya, berkaitan dengan dugaan konspirasi antara A dan pengacaranya, pada dasarnya perlu diketahui bahwa pengacara atau advokat memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.[13] Dalam pemberian jasa hukum tersebut, advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.[14]
Apabila ada dugaan konspirasi antara A dan pengacaranya dengan pihak Polsek untuk menjerat B, menurut hemat kami, upaya hukum yang dapat dilakukan B dalam menghadapi permasalahan hukum yang menimpanya, antara lain:
Menghadiri proses penyelidikan dan/atau penyidikan untuk memberikan keterangan kepada penyelidik ataupun penyidik yang memeriksa, bahwa 1 tahun sebelumnya telah dilakukan proses penyelidikan dan perkara telah dihentikan karena B tidak terbukti melakukan tindak pidana penipuan/penggelapan. Selain itu, A dan B telah bersepakat menyelesaikan secara damai dengan menandatangani surat perjanjian damai.
Membuat surat permohonan secara tertulis kepada pihak Polsek untuk dapat melakukan gelar perkara dalam rangka penghentian penyelidikan ataupun penyidikan atas dasar surat perdamaian yang telah ditandatangani bersama antara A dan B,[15] di mana surat perdamaian tersebut masih mengikat dan tidak pernah dibatalkan sebelumnya diantara A dan B.
Apabila pihak Polsek tidak bersedia menghentikan penyelidikan dan meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan, bahkan menetapkan B sebagai tersangka, maka B dapat :
- Mengajukan pengaduan dan permohonan gelar perkara khusus ke lembaga atasan yang membawahi Polsek, yaitu Polres Kota yang sebelumnya memutuskan tidak terbukti adanya tindak pidana di pihak B, untuk merespons dengan memeriksa kembali proses penyidikan yang sedang ditangani pihak Polsek dan untuk menghentikan penyelidikan ataupun penyidikan sesuai dengan hasil pemeriksaan sebelumnya (tidak terbukti adanya tindak pidana penipuan/penggelapan dan telah terjadi perdamaian); atau mengajukan permohonan praperadilan terhadap penetapan tersangka oleh pihak polsek terkait.
- Mengajukan gugatan wanprestasi terhadap A di pengadilan yang dipilih dalam perjanjian sebagai tempat penyelesaian perselisihan hukum atau jika tidak ada pemilihan tersebut, di pengadilan tempat A berdomisili.[16]
Masih berkaitan dengan dengan dugaan adanya konspirasi antara A dan pengacaranya dengan pihak Polsek untuk menjerat B, perlu dikaji bukti-bukti konspirasi apa yang ditemukan oleh B untuk dapat menguatkan dugaan tersebut. Apabila bukti-bukti yang ditemukan mencukupi untuk membuktikan adanya konspirasi, maka B juga dapat melakukan upaya sebagai berikut:
Menyampaikan pengaduan masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung terhadap oknum penyidik Polsek yang diduga melakukan penyimpangan atau pelanggaran kode etik profesi Polri dalam penanganan perkara ke bagian pelayanan pengaduan masyarakat (“Dumas”) Polri, sentra pelayanan Dumas Polri ataupun unit pelayanan Dumas Polri.[17]
Menyampaikan pengaduan terhadap pengacara/advokat kepada dewan kehormatan cabang/daerah atau kepada dewan pimpinan cabang/daerah atau dewan pimpinan pusat tempat pengacara/advokat menjadi anggota. Hal ini karena perbuatan konspirasi yang bertentangan dengan kewajibannya selaku advokat dan ataupun melanggar peraturan perundang-undangan.[18]
Mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap para pelaku konspirasi atau persekongkolan jahat.[19]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Herzien Inlandsch Reglement.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
- Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Peraturan Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
Referensi :
- Kode Etik Advokat Indonesia.
Catatan kaki :
[1] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”).
[2] Pasal 6 ayat (1) huruf c Perkapolri 6/2019.
[3] Pasal 9 ayat (2) huruf a dan b Perkapolri 6/2019.
[4] Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Peraturan Kepolisian 8/2021”).
[5] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepolisian 8/2021.
[6] Pasal 2 ayat (2) dan (4) Peraturan Kepolisian 8/2021.
[7] Pasal 2 ayat (3) dan (5) Peraturan Kepolisian 8/2021.
[8] Pasal 12 Perkapolri 6/2019.
[9] Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
[10] Pasal 499 KUH Perdata.
[11] Pasal 1338 KUH Perdata.
[12] Pasal 1858 KUH Perdata. Berdasarkan praktik pengalaman pribadi kami, dalam konteks penanganan perkara pidana, perbuatan pembuatan perjanjian perdamaian tetap bersinggungan dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata tentang perikatan.
[13] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).
[14] Pasal 4 huruf g Kode Etik Advokat Indonesia.
[15] Lihat Pasal 9 jo. Pasal 30 Perkapolri 6/2019, dan Pasal 15 Peraturan Kepolisian 8/2021.
[16] Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement.
[17] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[18] Pasal 12 ayat (1) Kode Etik Advokat Indonesia.
[19] Pasal 1365 KUH Perdata.
Sumber pemberitaan :
https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-kasus-yang-sama-dilaporkan-pada-dua-kantor-polisi-berbeda-cl5136/
Oleh : Doddy Wiraatmadja Kosasih, S.H. M.Kn.H.K Kosasih & Associates
Reposting : POINT Consultant

