Trias Politica
Montesquieu.
Charles-Louis de Secondat, Baron de La
Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755
pada umur 66 tahun), atau lebih dikenal dengan Montesquieu, adalah pemikir
politik Perancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment).
Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur
pada diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak
konstitusi di seluruh dunia. Ia memegang peranan penting dalam memopulerkan
istilah "feodalisme"
dan "Kekaisaran Bizantium"
Konsep
Trias Politika.
Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika
yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga
berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk
membuat undang-undang; Eksekutifadalah lembaga yang melaksanakan undang-undang;
dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara
secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta
menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar
undang-undang.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3
lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak
timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan
memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).
Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya
mulus atau tanpa halangan. Trias Politika—penciptaannya dipenuhi dengan
prasangka gagasan Negara borjuis.
Perebutan kekuasaan dan hak
milik—transformasi struktur ekonomi dan politik dari ‘kerajaan’ menuju ‘republik’—hasil
dari revolusi borjuis merupakan landasan datangnya trias politika.
Tokoh-tokoh seperti John Locke,
Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa
yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan
harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi
tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk
diperhatikan.
Yang harus diketahui adalah, tujuan dari
upaya para intelektual tersebut untuk merombak struktur pemerintahan (kerajaan
menjadi republik) dalam masa transformasinya. Sekarang, mari kita periksa isi
kepala 2 pemikir yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan Trias Politika
tersebut:
Pemikiran John Locke mengenai Trias
Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis berjudul Two
Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke
menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah "bekerja (mengubah alam dengan
keringat sendiri)" dan "memiliki milik (property)”. Oleh sebab itu,
negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga
melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya
tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik
setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalamposisi rentan ketika
diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan
akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu,
tidak mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja
akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama
melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan Negara
versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah,
kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke,
kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan
Federatif.
2. Pemikiran Montesqueieu; Montesqueieu
(nama aslinya Baron Secondat de Montesqueieu) mengajukan
pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya
termuat di dalam ‘magnum opus’nya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai
berikut : "Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan
legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan
hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung
pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau
magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia
membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan
umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia
menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang
akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif
negara".
Mengenai sistem pemerintahan sebuah
negara, tidak bisa kita menutup mata akan kenyataan bahwa ada sejarah yang
membentuk sistem tersebut. Kaum Marxis percaya bahwa demokrasi, sistem
pemerintahan, hukum, politik, budaya, ekonomi bahkan sub-kultur yang lain
adalah ekspresi/cerminan dari modus produksi yang berlangsung tiap zamannya.
Sekarang, trias politika menjadi tidak
lagi efektif dalam pelaksanaannya, makin sulit dikontrol oleh apparatus
struktural Negara.
Wujud konkrit dari sulitnya mengontrol
konsep trias politika adalah dengan dibentuknya banyak sekali komisi-komisi
dalam Negara yang (tentu saja) memboroskan uang Negara. Belum lagi, banyaknya
komisi-komisi yang terbentuk menjadi sangat politis, artinya adalah komisi
tersebut digunakan pula sebagai kekuatan politik bagi fraksi-fraksi
borjuis/partai politik yang bertarung dalam parlemen (pertarungan antar elite
borjuis), untuk menguatkan posisi politiknya. Missal, keberadaan KPK; Lihat
saja kasus KPK dan pemberantasan korupsi yang tebang pilih.
Dari awal dibentuknya hingga kini,
ternyata KPK menjadi sangat politis dan selalu menyesuaikan dengan alur nada
yang dominan dalam peta politik. Apalagi ditambah dengan politisasi pemilihan
struktur KPK, pengutamaan pengungkapan kasus yang hanya menguntungkan
pemerintahan terpilih, dan tak bisa dijaminnya pejabat komisi ini bersih dari
kasus masa lalu, karena pada umumnya para pejabat KPK tersebut berasal dari
institusi bobrok semacam kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan sebagian
pengacara.
Missal, pemberantasan korupsi oleh
pemerintah secara massif hanya diarahkan kepada musuh politiknya (yang sama
jahatnya) seperti Golkar, PDI-P, dll hingga menyeret kadernya ke meja hijau,
bahkan ancaman masuk bui, hal ini tentu merugikan kedua partai tersebut.
Kemudian terkuaklah kasus Century. Isu tersebut dijadikan sebagai penguatan posisi
politik partai “oposisi gadungan” sebagai alat mengancam pemerintahan dengan
konsesi agar tidak terlalu bersemangat menangkap koruptor dari fraksi Golkar,
PDI-P, dll yang menjadi musuh politiknya pemerintah. Dan terbukti cukup
efektif. Kasus Century makin kabur, koruptor bebas dari jerat hukum. Dan rakyat
masih percaya akan ‘ketulusan’ KPK.
Suprastruktur (sistem politik) borjuis
sebagai alat represi kesadaran dan memapankan jalannya produksi kapital.
Para borjuis,memang sepanjang hidupnya
akan terus menyempurnakan Negara sebagai alat untuk menindas, mengabdi kepada
investasi; dengan diperkuat melalui instrument hukumnya, system
pemerintahannya, system politiknya yang diatur untuk melapangkan jalan bagi
proses produksi kapitalis. Dimana dalam pelaksanaan instrument-instrumen
tersebut, seringkali Negara menggunakan struktur represinya berupa militer.
Kesalahan-kesalahan konsep trias
politika akan bisa lebih jelas jika kita menarungkannya dengan sistem demokrasi
kerakyatan. Apa itu demokrasi kerakyatan?
Demokrasi; dalam makna landasan
pembangunan kekuatan sebuah struktur Negara, haruslah disandarkan pada
kedaulatan rakyat. Selama kedaulatan rakyat belum mendapatkan tempatnya yang
layak di bidang hukum, ekonomi, politik, sosial-budaya, selama itu pula gerakan
rakyat akan terus melakukan perlawanannya untuk menuntut kesejatian dari makna
demokrasi.
Ketika kita mendengar kata demokrasi,
sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini
juga tampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada
di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan
parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi
rejim Soeharto, maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa
ikut campur ke dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji
perbaikan hidup. Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan
tersebut, gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu
yang berdasar hanya pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi
kebebasan mereka setelah dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh
represi militeristik dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde
Baru.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah
Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman
Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah
jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu
karena adanya Orde Baru!”
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan
membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah
demokrasi yang benar-benar manusiawi?
1. Pertama,
demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala
pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus
menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak
lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan
dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di
dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara
dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus
kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua
anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan
berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat
negara.
2. Kedua, demokrasi
ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat
(secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan
kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap
kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan
kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia
yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).
3. Ketiga, segala
hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara
disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat
dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya,
tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan
yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka
propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan
berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini
adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara
utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah),
yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan
direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat.
Karenanya dapat dikatakan sebagaiDemokrasi Kerakyatan.
Demokrasi
kerakyatan melandaskan dirinya pada :
Partisipasi
semua individu rakyat.
1. Pertama, tidak
memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus
menegakkannya.
2. Kedua,
jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat
setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat
tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga
dipilih.
Mayoritas
di atas minoritas.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang
berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan,
keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara
nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan,
dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil.
Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan
suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru
menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.
Dewan
rakyat, adalah konsep dan bentuk konkrit dari pelaksanaan Demokrasi Kerakyatan
1. Pertama,
perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat,
terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara
dan modal.
2. Kedua, perubahan
bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus evolusioner.
Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa rakyat, dan
pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam pertambahan jumlah
massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat tertentu ia akan
berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan segera, bahkan terkesan
dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat menjadi alat mayoritas
rakyat untuk mewujudkan demokrasi se-sejati-sejatinya.
Trias
Politika.
Montesquieu paling dikenal dengan ajaran
Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga): eksekutif (pelaksana
undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau
kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).
Trias politica menurut montesquieu,
adalah sebagai berikut :
1. Eksekutif.
Merupakan
lembaga yang melaksanakan undang-undang. Lembaga eksekutif dipimpin oleh
seorang raja atau presiden beserta kabinetnya. Tidak hanya melaksanakan
undang-undang, lembaga ini juga mempunyai beberapa kewenangan. Menurut Miriam
Budiardjo, lembaga eksekutif mempunyai kewenangan diplomatik, yudikatif,
administratif, legislatif, dan militer. Kewenangan diplomatik yaitu kewenangan
menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Kewenangan
yudikatif adalah kewenangan memberikan grasi dan amnesti kepada warga negaranya
yang melakukan pelanggaran hukum. Kewenangan administratif adalah kewenangan
melaksanakan peraturan dan perundang-undangan dalam administrasi negara.
Melalui kewenangan legislatifnya, seorang presiden atau menteri dapat membuat undang-undang
bersama dewan perwakilan. Lembaga eksekutif juga mempunyai kewenangan mengatur
angkatan bersenjata, menyatakan perang apabila dibutuhkan, dan menjaga keamanan
negara.
2. Legeslatif.
Merupakan
lembaga yang dibentuk untuk mencegah kesewang-wenangan raja atau presiden.
Lembaga legislatif yang merupakan wakil dari rakyat ini diberikan kekuasaan
untuk membuat undang-undang dan menetapkannya. Tidak hanya itu, lembaga ini
juga diberikan hak untuk meminta keterangan kebijakan lembaga eksekutif yang
akan dilaksanakan maupun yang sedang dilaksanakan. Selain meminta keterangan
kepada lembaga eksekutif, lembaga ini juga mempunyai hak untuk menyelidiki
sendiri dengan membentuk panitia penyelidik. Hak mosi tidak percaya juga
dimiliki oleh lembaga ini. Hak ini merupakan hak yang memiliki potensi besar
untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.
3. Yudikatif.
Mempunyai
kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum
yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga yudikatif dibentuk sebagai alat
penegakan hukum, hak penguji material, penyelesaian penyelisihan, hak
mengesahkan peraturan hukum atau membatalkan peraturan apabila bertentangan
dengan dasar negara.
Pengertian Trias Politica adalah teori
yang membagi kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ajaran dari Teori Trias Politica ini
bertentangan dengan kekuasaan raja pada zaman Feodalisme dalam abad
pertengahan. Pada zaman itu yang memegang kekuasaan dalam negara ialah seorang
raja, yang membuat sendiri UU, menjalankannya dan menghukum segala pelanggaran
atas UU yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.
Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun
1789, barulah paham mengenai kekuasaan yang tertumpuk di tangan raja menjadi
lenyap. Pada saat itu timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang
dipelopori oleh Montesquieu. Yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 kekuasaan
yaitu :
1.
Kekuasaan
Legislatif (kekuasaan untuk membuat UU).
2.
Kekuasaan
Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan UU).
3.
Kekuasaan
Yudikatif (kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili).
1. Kekuasaan Legislatif (Legislatif Powers).
Kekuasaan
Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat UU. Pembuatan UU harus diberikan pada
suatu badan yang berhak khusus untuk itu. JIka penyusunan UU tidak diletakkan
ada suatu badan tertentu, maka mungkinlah tiap golongan atau tiap orang
mengadakan UU untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap
sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun UU yang
dinamakan legislatif. Legislatif ini sangatlah penting di dalam kenegaraan,
karena UU ibarat yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi
pedoman hidup bagi masyarakat dan negara. Sebagai badan pembentuk UU maka
legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan UU saja, tidak boleh
melaksanakannya. Untuk menjalankan UU itu haruslah diserahkan kepada suatu
badan lain.
2. Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers).
Kekuasaan
Eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan UU. Kekuasaan menjalankan UU ini
dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya
menjalankan segala UU ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara
dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat pemerintah atau negara
yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana UU (badan eksekutif). Badan
inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman
(Judicative Powers).
Kekuasaan
Yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili. Kekuasaan yudikatif
ini berkewajiban untuk mempertahankan UU dan berhak untuk memberikan peradilan
kepada rakyat. Badan Yudikatif yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan perkara
yang dijatuhi dengan hukuman terhadap setiap pelanggaran UU yang telah diadakan
dan dijalankan.
Walaupun para
hakim itu biasanya diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi mereka
mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak
diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan yudikatif adalah badan
yang berhak menghukum kepala negara, jika kepala negara melanggar hukum.
Trias Politika.
Trias Politika merupakan konsep
pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia.
Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada
satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga
negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak
diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat
undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan
Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara
keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta
menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar
undang-undang.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3
lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak
timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan
memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).
Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya
serupa, mulus atau tanpa halangan.
Sejarah
Trias Politika.
Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat
pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku.
Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan
atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala
suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian
memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan
ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini
sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah
yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan
dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang
terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut.
Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani.
Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang
raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun
1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki
(raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu,
dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik
ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan
politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan
intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan
pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau,
Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji
ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup
akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh
atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari
Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
John
Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias
Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two
Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke
menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan
keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara
yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik
setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa
Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik
setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika
diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka
akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu,
kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat
persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama
melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara
versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah,
kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke,
kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan
Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam
undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai.
Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya.
Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat
secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam
kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke
adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan
amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan
raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang
mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan
dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan
Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun
liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai,
pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat
ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan
raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum
sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran
Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu
(1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat
de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John
Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws,
yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan
kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada
tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai
hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif
yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama,
penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan
kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta,
menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan
kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar
individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain
kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika
yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang
berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus
mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan
Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea
Utara, Cina, Kuba).
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang
fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat),
ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui
mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari
partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan
dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan
legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and
Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat
undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang
Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru
Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat
oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan
legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif
biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja,
orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari
sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk
melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia
bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
Supervision and Criticism Government,
berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang
oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi
ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara
dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada
presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk
memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus
memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga
amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat
mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab,
hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar
televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari
anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di
Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih.
Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks
negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita
bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh
sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur
gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang
kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari
masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk
melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan
eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party
chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief
legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya
diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala
negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu
negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana
Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala
negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu
kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah
kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan
eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian
dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional,
menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya.
Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara
dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu
Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan
dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala
negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala
eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu.
Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut
sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang
pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil
terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di
Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya
memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di
sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara
eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi
hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih
anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi
mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan
tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun
tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang
terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun
perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah
terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak
militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan
sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi
eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara
di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub
kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif
adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat,
juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi
eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga
internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri
luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh
presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi
eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun
kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem
tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu
undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang
banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-fungsi
Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang
menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran
atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar
masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies);
Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law
(masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur
administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya
dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari
Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan
Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di
Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan
Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya
ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga
negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian
sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya
dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah,
sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan
oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Trias Politika di Indonesia
Sebelum lebih jauh membahas mengenai
pemilu, alangkah baiknya kita juga mengerti sistem pemerintahan yang digunakan
negara Indonesia.
Bicara tentang teori, Trias Politika
adalah sebuah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan. Pada intinya,
konsep Trias Politika adalah sebuah ide dimana kekuasaan negara terdiri atas
tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), eksekutif
(melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (mengadili atas pelanggaran
undang-undang).
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh
filsuf Inggris John Locke dan kemudian dikembangkan oleh sarjana Perancis
Montesquieu. Segenap negara demokratis, termasuk Indonesia, menerapkan trias
politika agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Marikita sukseskan pemilu serentak pada
tanggal 17 April 2019 keta melaksanakan pemilu serentak yaitu pilpres
dan pileg (DPRD kab/kota, DPRD Propinsi, DPR RI, DPD).
Mengenal Trias Politika di Indonesia
Trias Politika merupakan konsep
pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai Negara di aneka belahan dunia.
Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu Negara tidak boleh dilimpahkan pada
suatu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga
negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak
diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif. Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan
undang-undang; Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; dan
Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan Negara secara
keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta
menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar
undang-undang.
Secara implisit negara Indonesia
menerapkan pembagian kekuasaan sesuai teori trias politika yang dianut oleh
Montesquieu dimana adanya pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi Negara baik
Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif kedalam lembaga-lembaga negara di
Indonesia, namun selain dari tiga fungsi Negara itu, Indonesia membagi
kekuasaan lagi yaitu kekuasaan eksaminatif atau pemeriksaan keuangan negara.
Di Indonesia, kekuasaan Negara
dituangkan dalam tingkatan perundang undangan. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) sebagai konstitusi menempati peraturan tertinggi, Undang-Undang (UU)
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Lembaga tinggi negara, seperti
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) diberikan
kekuasaannya oleh UUD 1945, akan tetapi fungsi dan tugas lembaga negaranya
diatur lebih lanjut oleh UU yang sah. Kewenangan DPR dalam mengamandemen UU
diambil alih oleh MK, yang dapat membatalkan pasal UU yang bertentangan dengan
UUD 1945. Dalam putusan hakim MK, pasal UU tersebut mengalami mati suri sebelum
DPR mengamandemennya. Adanya ketidak sesuaian antara kebijakan pemerintah yang
dibutuhkan berdasarkan UU yang sah, akan tetapi UU tersebut bertentangan dengan
UUD 1945, maka UU tersebut akan menghambat gerak pemerintah.
Lembaga Eksekutif merupakan satu lembaga
negara yang paling pokok dan paling di sorot dalam berjalannya pemerintahan di
negara Indonesia. Lembaga eksekutif ini meliputi presiden dan wakil presiden,
menteri, pemerintahan di tingkat daerah seperti gubernur, bupati /walikota,
camat, dan kades/lurah. Lembaga eksekutif ini lebih kita kenal dengan nama pemerintah.
Didalam kinerja lembaga ini terutama presiden yang merupakan kepala Negara
sekaligus kepala pemerintahan dalam system pemerintahan di Indonesia menjadi
tolak ukur bagi berjalannya suatu negara, baik dalam negeri maupun di luar
negeri.
Lembaga Eksekutif dapat dinilai dari
beberapa faktor yang mudah diihat yang diantaranya yaitu keadaan ekonomi,
budaya, pendidikan dll, yang semuanya itu untuk kesejahteraan rakyat. Tugas
dari lembaga eksekutif ini sebagian besar sudah tertera pada alenia keempat dalam
pembukaan UUD 1945 yang sudah ada pada tanggal 18 agustus 1945 yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Dengan kata lain didalam tugas dan kewajiban lembaga eksekutif
di negara Indonesia juga menjalankan undang-undang yang sudah ada. Jadi dalam
ketatanegaraan di Indonesia seluruhnya sudah tercantum didalam UUD 1945, dengan
menjalankan UUD 1945 maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan lebih baik dan
akan sesuai dengan tujuan dan cita-citabangsa Indonesia.
Lembaga Legislatif
merupakan lembaga yang membuat undang-undang, bukan hanya itu tapi juga
mengatur mengenai anggaran APBN. Yang termasuk dalam lembaga legislatif yaitu;
MPR,
DPR, DPD, DPRD I, DPRD II.
MPR adalah lembaga tertinggi di Negara
ini, tapi setelah UUD 1945 diamandemen MPR menjadi lembaga tinggi negara,
berdasarkan pasal 3 dan pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945 amandemen, tugas dan
wewenang MPR yaitu: Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, Melantik
Presiden dan Wakil Presiden, Memberhentikan Presiden dan atau Wakil presiden
dari jabatannya berdasarkan undang-undang dasar, melakukan pemilihan wakil presiden
dari dua calon yang di usulkan oleh presiden, jika terjadi kekosongan posisi
wakil presiden. Menurut UUD 1945 amandemen tugas DPR tercantum dalam pasal 20
ayat (1) dan (2) yaitu: Dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat tujuan bersama.
Dan DPD ini tidak
sebegitu tenar di banding dengan DPR atau MPR, DPD adalah lembaga baru yang
dibentuk setelah amandemen terhadap UUD 1945, DPD ini berfungsi mewakili
daerahnya masing-masing, menurut pasal 22 ayat (1) yaitu: Dapat mengajukan RUU
yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, ikut merancang RUU yang berkaitan dengan
Otonomi Daerah, Melakukan pengawasan terhadap undang-undang yang berkaitan
dengan Otonomi Daerah. Sejatinya legislatif ini merupakan lembaga yang lebih
dekat dengan rakyat, tapi kenyataannya belum begitu terealisasi dengan
sempurna.
Dari tiga elemen trias politika,
yudikatif merupakan elemen terkuat sekaligus terlemah. Secara
perundang-undangan, yudikatif sangat kuat namun secara penerapan sangat lemah.
Hakim-hakim korup dan kurang mental merupakan kelemahan terbesar di lembaga
yudikatif. Hal ini yang bisa disusupi oleh kepentingan elit-elit politisi
partai yang sukses jadi legislator. Selain itu, kurangnya sorotan dan dukungan
media membuat lembaga yudikatif tidak bersuara seperti sekeras para politisi.
Kita bisa bandingkan tiga penegak hukum yang ada saat ini yaitu: Polisi, KPK,
dan Kejaksaan. Dari ketiga penegak hukum itu kejaksaanlah yang terlihat sangat
tenggelam mengenai sepak terjang mereka dalammenegak hukum. Kecuali mungkin
untuk kasus-kasus yang menyangkut rakyat kecil, kejaksaan bisa tampak
menakutkan.
Kekacauan politik yang terjadi saat ini
tidak lepas dari kesalahan presiden yang menempatkan orang-orang partai di
posisi penegak hukum di level menterinya. Para menteri atau yang setingkat yang
berasal dari partai ini dipastikan akan memperjuangkan kepentingan partai, baik
itu kepentingan materi maupun kepentingan non-materi seperti menyelamatkan para
kolega dari jeratan hukum. Melihat kenyataan ini, yudikatif yang terintervensi
baik oleh eksekutif dan legislatif menjadi sistem demokrasi kita hanya setengah
mati, maka tidak heran jika kekacauan dan kekisruhan tidak pernah selesai,
karena sistemnya yang tidak dijalankan dengan murni dan sepenuh hati.
Dibalik itu semua seharusnya lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat menjalankan tugas dan wewenangnya
dengan baik bukan memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi.
Pemerintah seharusnya bertindak tegas terhadap orang-orang yang menyelewengakan
kekuasaan tersebut, kalau perlu berikan hukuman yang seberat-beratnya. Karena
pada dasarnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan contoh
atau panutan bagi masyarakat, jika lembaganya saja bermasalah bagaimana dengan
rakyatnya di indonesia ini. Kita sebagai masyarakat harus lebih selektif lagi untuk
memilih anggota legislatif maupun eksekutif agar pejabat yang duduk di kursi
tersebut tidak menyalahgunakan kekuasaan yang ia miliki sehingga mereka yang
menjadi perwakilan rakyat dapat mewujudkan aspirasi rakyat. Serta kita harus
menjalankan aturan aturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyelewengan.