MEMAHAMI
PENGERTIAN KARTEL, MONOPOLI, DAN PERSAINGAN USAHA
1. Apakah yang dimaksud dengan kartel dan bagaimana
pula praktik kartel dalam perekonomian?
2. Bagaimana keterkaitan antara kartel dan praktik
monopoli?
3. Bagaimanakah praktik kartel di Indonesia?
Kartel merupakan istilah yang dikenal
dalam bidang ekonomi dan bidang hukum. Di bidang ekonomi, kartel menyatakan
perilaku atau praktik yang berhubungan dengan persaingan industri atau
persaingan usaha. Di bidang hukum, praktik tersebut dilarang secara hukum,
karena dapat merugikan kepentingan umum atau publik. Secara sederhana, kartel
adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang bertujuan untuk
mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan (keuntungan)
mereka sendiri.
Definisi
Kartel
Dalam
kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a group of separate
business firms wich work together to increase profits by not competing with
each other”. Artinya,
kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang
berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa
melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok
produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan
harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.
Kartel adalah kelompok produsen
independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan
kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua
negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun
internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas
bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu
kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang
dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, di mana terdapat
sejumlah kecil penjual dengan jenis produk yang homogen. Kartel dilakukan oleh
pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. market power ini
memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan
barang di pasar. pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi
produksi dan atau membagi wilayah penjualan..
Dalam
buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel
(cartel) didefinisikan, “A combination of producer of any product joined
together to control its productions its productions , sale and price, so as to
obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or
commodity”. Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan
produsen yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga
penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya
persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik
kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen manapun atau untuk produk apapun,
mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Pengertian
kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan kartel memiliki dua ciri
yang menyatu, yaitu:
1. Organisasi
perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang-barang sejenis.
2. Persetujuan
sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu.
Point penting dalam definisi tersebut,
bahwa kelompok-kelompok di dalam suatu kartel terdiri atas kumpulan
perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan barang-barang yang sejenis.
Dijelaskan pula, tujuan utamanya berfokus pada pengendalian harga, sehingga
harga yang terbentuk adalah bukan harga persaingan. Definisi ini telah
menyentuh pada aspek perilaku monopoli.
Samuelson
dan Nordhaus (2001: 186) dalam buku “Economics” menuliskan pengertian kartel, “Cartel is an
organization of independent firms, producing similar products, that work
together to raise prices and restrict outputs”. Artinya, kartel adalah sebuah
organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan independen yang
memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja sama untuk menaikkan harga dan
membatasi output (produksi). Poin penting pada definisi tersebut terletak pada
tujuannya, yaitu menaikkan harga dan membatasi output.
Seorang
pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam bukunya “Economic Analysis
of Law” (2007: 279) menuliskan pengertian kartel, “A contract
among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the
small thing, to limit their out put) is likely any other contract in the sense
that the parties would not sign it unless they expected it to make them all
better off”. Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan
persaingan di antara para penjual untuk mengatur harga penjualan yang bisa
diartikan sebagai menaikkan harga ataupun membatasi produknya yang setidaknya
mirip dengan kontrak pada umumnya di mana anggota-anggotanya tidak
menginginkannya, kecuali mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi
kartel oleh Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik
kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap anggotanya,
kecuali mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari
kesepakatan (kontrak) tersebut.
Praktik
kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun
1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”. Praktik kartel di Indonesia adalah suatu bentuk
perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu
perilaku monopoli ataupun bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.
Memahami kartel perlu pula memahami
prinsip dasar atau pengertian dasar dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli
dalam bukan lagi menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau produsen,
melainkan pada perilakunya untuk mengendalikan harga dan distribusi output atau
kapasitas output. Jadi bisa saja perilaku monopoli tadi ditemukan pada struktur
persaingan yang terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya sekitar 2-5
perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar persasingan oligopoli.
Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen, tetapi hanya memiliki
beberapa produsen akan cukup kuat mengindikasikan adanya praktik monopoli.
Munculnya praktik kartel ataupun trust tidak lain adalah untuk mewujudkan
kekuatan (perilaku) monopoli.
Apa
Perbedaan Antara Kartel dan Trust?
Selain dikenal istilah kartel, ada pula
istilah lain yang memiliki kemiripan, yaitu trust. Keduanya memiliki kesamaan
dilarang menurut undang-undang. Pada Pasal 12, Undang-Undang No 5 Tahun 1999
Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha diatur mengenai trust yang dituliskan,
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dari
definisi menurut KPPU tersebut, perbedaannya terletak pada prinsip
aktualitasnya. Kesepakatana di dalam kartel biasanya tidak secara nyata
diwujudkan, tetapi tetap ada dan diakui dan dijalankan oleh anggota-anggotanya.
Sedangkan pada trust, kesepakatan tersebut diwujudkan nyata ke dalam suatu
wadah organisasi yang tercatat pula legalitas hukumnya. Sekalipun demikian,
trust melakukan praktik monopoli seperti halnya kartel.
Jika
demikian, mengapa keduanya mesti dipisahkan?
Pemisahan antara kartel dan trust,
karena berhubungan dengan legalitas badan usaha. Seperti yang dijelaskan di
atas, praktik kartel tidak berwujud nyata, tetapi ada dan dilakukan secara
sengaja. Sementara trust memiliki bentuk nyata berupa badan usaha seperti
asosiasi industri, persatuan dagang, dan sejenisnya. Oleh karenanya, perlu
diberikan pemisahan, karena dasar hukum yang digunakan untuk menindaklanjutinya
pun harus dibedakan.
Bagaimana
contoh pratik kartel dan trust?
Misalnya di dalam sebuah industri
terdapat 3 produsen atau perusahaan yang memegang tiga besar pangsa pasar.
Mereka seluruhnya memiliki setidaknya sekitar 60% pangsa pasar dari produk yang
dijual atau dipasarkan. Karena mereka berdomisili di wilayah yang sama, tidak
tertutup kemungkinan akan saling mengenal atau mengetahui, bahkan saling
berkomunikasi. Jalinan komunikasi atau relasi di antara mereka kemudian
menciptakan sikap saling pengertian. Salah satunya diwujudkan dengan membagi
dengan sendirinya segmen konsumennya berdasarkan wilayah. Ada pula yang membagi
segmen konsumennya berdasarkan kategori produk. Perusahaan A akan fokus ke
segmen di Indonesia bagian timur, lalu perusahaan B fokus di Indonesia bagian
tengah, kemudian perusahaan C akan menyasar produknya untuk menguasai pasar di
Indonesia bagian barat. Perilaku bisnis seperti ini memiliki indikasi kuat
tentang terjadinya praktik kartel.
Ilustrasi lain untuk menggambarkan
praktik trust bisa diketahui melalui asosiasi bisnis ataupun kongsi dagang.
Organisasi tersebut dengan sendirinya akan dikuasai dan dipengaruhi oleh 3-4
besar kelompok pemimpin pasar (market leader). Mereka kemudian membuat aturan
ataupun ketentuan yang mengatur harga, distribusi produk atau wilayah
pemasaran, segmentasi ataupun sasaran konsumen, dan sebagainya. Organisasi ini
bisa memiliki keanggotaan lebih dari 5 perusahaan, tetapi suara ataupun
pengaruh terbesar tentunya hanya dimiliki oleh 3-4 perusahaan pemimpin pasar.
Kesepakatan bisnis tersebut tentunya pula hanya akan semakin menguntungkan atau
berpihak pada sebagian besar kepentingan 3-4 besar perusahaan pemimpin pasar.
Mengapa
Kartel Dilarang?
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu
diketahui tentang perlunya tercipta suatu iklim persaingan usaha yang sehat.
Persaingan usaha yang sehat akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian.
Dari sisi produsen, persaingan usaha yang sehat akan mendorong terciptanya
efisiensi produksi dan alokasi input, serta akan mendorong para pelaku usaha
(produsen) untuk memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk pula
infrastruktur produksi. Dari sisi konsumen akan mendapatkan manfaat berupa
harga yang relatif lebih murah, karena harga output terbentuk oleh proses
produksi ataupun pengelolaan organisasi produksi yang efisien.
Sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen
dalam iklim persaingan adalah ketidakpastian bisnis. Tidak sedikit nama-nama
besar perusahaan dunia akhirnya tenggelam akibat semakin tingginya intensitas
persaingan. Sebut saja seperti perusahaan garmen terkemuka dengan merek
“Levi's” yang kini sudah tidak lagi terdengar namanya. Atau seperti Ericsson,
Siemens Telecommunication, Kodak, dan lain-lain yang sempat besar di masa
kejayaannya. Ada ribuan perusahaan-perusahaan besar yang sudah tidak lagi
terdengar namanya karena begitu ketatnya persaingan bisnis. Inovasi adalah
segalanya, bahwa siapapun mereka yang unggul dalam inovasi berpikir yang akan
mampu bertahan. Sekalipun demikian, tidak semua pihak (perusahaan atau
produsen) yang menginginkan atau bertahan di tengah persaingan melalui inovasi
berpikir. Tidak ada jaminan inovasi akan selalu menjadi segalanya, karena
persaingan bisnis selalu diikuti dengan ketidakpastian.
Praktik kartel maupun trust dalam bentuk
apapun pasti akan berujung pada kondisi yang merugikan konsumen. Sekalipun
praktik tersebut diatur oleh pemerintah, kecuali praktik kartel dilakukan oleh
perusahaan milik pemerintah yang notabene tidak selalu berorientasi untuk
mengejar laba (profit). Praktik akan menutup adanya peluang bagi masuknya
inovasi maupun perusahaan (pendatang baru) yang bisa menawarkan harga lebih
murah dan pelayanan yang lebih baik. Seringkali pula terjadi, praktik kartel
maupun trus akan menutup peluang perusahaan lain (pendatang baru) untuk
menawarkan sistem produksi yang lebih baik, sehingga akan mampu menciptakan
harga yang lebih efisien (lebih murah).
Apakah
praktik kartel maupun trust menguntungkan bagi pelaku-pelakunya?
Belum pernah ada dalam sejarah
organisasi bisnis di mana perilaku monopoli akan membuat perusahaan menjadi
cukup besar. Nama-nama perusahaan multinasional saat ini, termasuk yang masuk
ke Indonesia bukanlah nama-nama yang dihasilkan dari praktik monopoli,
melainkan mereka menjadi besar karena dampak dari persaingan usaha yang sehat.
Mereka mengkedepankan inovasi di segala lini, bahkan inovasi dalam berpikir.
Bertolak belakang dengan mereka yang cenderung berperilaku monopoli melalui
praktik kartel. Inovasi bukanlah orientasi utama, bahkan seringkali hanya
ditempatkan pada prioritas paling dasar. Pelaku praktik kartel lebih
mengkedepankan unsur kolusi bisnis yang tidak jarang akan melibatkan
pemerintahan. Itu sebabnya, mengapa perusahaan-perusahaan besar yang pernah ada
di Indonesia tidak pernah menjadi ikon dunia. Contoh kongkritnya seperti ASTRA
yang setelah reformasi justru menumpuk banyak utang.
Lalu,
manfaat apa yang mereka dapatkan dengan melakukan praktik kartel?
Sebenarnya tidak ada sama sekali
manfaatnya, kecuali mereka hanya mencoba untuk bertahan. Mereka mungkin masih
bisa melakukan ekspansi bisnis, tetapi tidak ada satupun di antaranya yang
berpeluang menjadi perusahaan level dunia. Mereka hanya sekedar bisa memutar
uang. Manfaatnya mungkin hanya karena mereka bisa bertahan dengan pencapaian
yang telah ada. Sekalipun demikian, seluruh konsumen dan karyawannya lah yang
akan menanggung kerugian mereka. Dalam banyak hal, praktik kartel biasanya akan
diikuti oleh sejumlah pelanggaran hukum lainnya. Misalnya seperti korupsi,
pelanggaran pajak, perkara perdata, bahkan sampai pada perkara pidana.
Syarat
Terbentuknya dan Karakteristik Kartel
Praktik kartel biasanya diwujudkan ke
dalam sebuah kongsi dagang tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu
pula. Semacam perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang
disepakati oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik kartel harus
memiliki pernjanjian atau kolusi di antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi
yang mengindikasikan terjadinya praktik kartel, yaitu:
1. Kolusi
Eksplisit. Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara
yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data audit bersama,
kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan, dan data
lainnya. Bentuk kolusi eksplisit tidak selalu harus diwujudkan dalam asosiasi
kecil, komunitas terbatas, paguyuban, dan lain sebagainya. Ini berbeda dengan
trust, karena pada trust diwujudkan ke dalam asosiasi atau organisasi yang
memiliki badan hukum yang cukup jelas.
2. Kolusi
Diam-Diam (Implisit). Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi
secara langsung atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh media).
Tetapi mereka para anggota kartel melakukan pertemuan secara tertutup, biasanya
dilakukan secara rahasia. Mereka ini pun terkadang menggunakan organisasi
berupa asosiasi yang fungsinya sebagai kedok atau kamuflase. Dalam asosiasi
tercantum mendukung persaingan usaha yang sehat, tetapi dibalik semua itu hanya
sebagai pengalihan. Menurut KPPU, jenis kartel dengan kolusi implisit ini lebih
sulit untuk dideteksi. Dari semua kasus kartel di dunia, sekitar 30% di
antaranya melibatkan asosiasi. Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup
diatur dalam Pasal 15, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan
Persaingan Usaha.
Perlu digarisbawahi, bahwa tidak
semuanya jenis kolusi bisnis selalu berkonotasi negatif terhadap persaingan
usaha. Terdapat pula kolusi yang positif, seperti kolusi dalam menggalang dana
bantuan untuk anak-anak miskin, bencana alam dan sebagainya, atau bentuk kolusi
yang sama sekali tidak berkaitan dengan bisnis dan persaingan. Itu sebabnya,
kartel secara umum haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Terdapat
konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha.
2.
Melibatkan
peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif perusahaan.
3.
Biasanya
menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi.
4. Melakukan
price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga, termasuk pula
penetapan kuota produksi.
5. Adanya
ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar kesepakatan atau
perjanjian.
6. Adanya
distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang dimaksudkan
berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun laporan produksi.
7. Adanya
mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki produksi lebih
besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut
dapat berupa uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar, ataupun
bentuk kemitraan lain.
Kondisi-kondisi berikut ini adalah yang
membuat pelaku kartel tetap bertahan melakukan praktik monopoli. Dalam hal ini,
praktik kartel harus memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Jumlah
pelaku usaha lebih sedikit, atau setidaknya hanya didominasi oleh segelintir
perusahaan. Biasanya memiliki jumlah atau ukuran industri sebanyak 5-10
perusahaan di mana hanya terdapat 1-4 perusahaan yang mendominasi di dalam
asosiasi.
2. Produknya
bersifat homogen atau hanya dilakukan apabila mereka para anggota-anggotanya
memiliki produk yang sama.
3. Elastisitas
permintaan atas produk-produknya relatif rendah. Seberapa pun mereka menetapkan
harga relatif tidak memiliki dampak yang berarti terhadap permintaan. Di
sinilah titik kekuatan kartel, karena konsumen tidak dikondisikan tidak
memiliki banyak pilihan lain selain menggunakan produk-produk yang dibuat oleh
anggota-anggota kartel.
4. Selalu
terdapat upaya untuk mencegah masuknya pendatang baru (pesaing).
5. Selalu
melakukan kecurangan dalam bentuk laporan keuangan fiktif, data penjualan yang
fiktif, dan lain sebagainya.
6.
Kartel
biasanya dilakukan di sektor bisnis yang membutuhkan investasi yang cukup
besar. Di sinilah titik kekuatan mereka yang sekaligus dimanfaatkan untuk
semakin memperbesar restriksi atau hambatan bagi masuknya pendatang baru.
Adakah
pengecualian atau bentuk perjanjian maupun kesepakatan bisnis di antara
korporasi agar tidak dikenakan pasal mengenai kartel ataupun trust?
Memang benar, tidak semua bentuk
kesepakatan sepihak di antara korporasi dilarang menurut undang-undang. Pengecualian
dapat ditoleransi untuk kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Perbuatan
dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. Perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
3. Perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan
atau menghalangi persaingan.
4. Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan.
5. Perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas.
6.
Perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
7. Perjanjian
dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan atau pasokan pasar dalam negeri.
8.
Pelaku
usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
9.
Kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Jika
pelaku usaha kecil masih diperbolehkan melakukan kartel, apakah ketentuan
tersebut bukan berarti mengesampingkan asas keadilan dalam berekonomi?
Saya ingin menunjukkan sebuah praktik
kartel kecil yang dilakukan oleh pelaku usaha penjual makanan lesehan di
sepanjang Malioboro (Yogyakarta) dan sekitarnya. Jika diperhatikan, indikasi
kartel terlihat dari harga makanan yang dipatok sama untuk setiap penjual.
Apabila terdapat selisih, biasanya cuma selisih pada menu tambahan yang sedikit
pengaruhnya terhadap penguasaan calon pembeli. Praktik kartel dalam kasus
penjual lesehan di Malioboro masih bisa ditoleransi, karena pengaturan harga
yang mereka lakukan tidak memiliki dampak yang luas ke wilayah lainnya.
Konsumen masih memiliki posisi tawar ataupun pilihan untuk menolak ataupun
tidak menolak. Banyak lagi contoh lainnya praktik kartel yang dilakukan oleh
sejumlah paguyuban-paguyuban pelaku usaha kecil. Praktk kartel tersebut masih
bisa ditoleransi pula, karena tidak ada restriksi atau pembatasan bagi masuknya
pendatang baru.
Jenis-Jenis
Kartel
Setelah mengetahui dan memahami bentuk
perilaku dan praktik kartel, perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal
ini, praktik kartel dapat diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan
jenis-jenisnya sebagai berikut.
1.
Kartel
Daerah. Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau
wilayah. Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang membagi wilayah
pemasarannya berdasarkan regional tertentu. Perusahaan A menguasai Pulau Jawa,
kemudian perusahaan B menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin
dibagi berdasarkan distrik ataupun propinsi. Perusahaan A boleh memasukkan
produknya ke wilayah perusahaan B, tetapi tidak boleh melakukan pemasaran
dengan agresif seperti melakukan promo khusus regional.
2.
Kartel
Produksi. Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan kuota
produksi bagi anggota-anggotanya.
3.
Kartel
Harga. Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk
menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan harga. Modus
praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa menetapkan harga terendah,
termasuk kesepakatan harga untuk musim penjualan (banting harga). Antara kartel
harga dan kartel produksi biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya
menjadi satu kesepakatan.
4.
Kartel
Kondisi. Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui praktik
kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis. Misalnya,
pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam pengambilan kredit kendaraan
bermotor, penyusunan mekanisme dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian
diskon (potongan harga), bonus, dan sebagainya.
5.
Kartel
Pembagian Laba. Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk
melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian laba diberikan
ke pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas kesepakatan yang telah mereka
setujui. Tujuannya tidak lain untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para
anggota pelaku kartel.
Dalam dunia nyata, praktik kartel
biasanya tidak hanya terbatas untuk satu jenis kartel seperti yang disebutkan
di atas. Tidak jarang pelaku kartel dengan asosiasinya justru menggunakan
keseluruhan kesepakatan dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak lain untuk semakin
mempersempit adanya persaingan dan tentunya membatasi peluang masuknya
pendatang baru. Jika aturan atau kesepakatan kartel ingin dihormati atau
dipatuhi anggota-anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel
harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel pembagian
laba.
Praktik
Kartel di Indonesia
Prinsip dasar dari perilaku kartel
adalah bentuk monopoli dan perilaku monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada
sejak berdirinya republik ini. Praktik kartel tersebut merupakan warisan dari
kongsi-kongsi perkebunan dan dagang di era pemerintahan Hindia Belanda. Praktik
monopoli ini pun sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya wacana dan studi tentang persaingan dan monopoli
di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan monopoli
barulah mulai disoroti sekitar dekade 1960an. Mengingat di masa setelah
kemerdekaan hingga 1960an belum banyak perusahaan-perusahaan swasta, praktis
perilaku kartel, trust, dan monopoli belum terlihat.
Perkembangan perilaku monopoli baru
mulai terlihat setelah memasuki era Orde Baru. Di awal dekade 1970an,
pemerintah mulai memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk didorong agar
dapat memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan melibatkan modal
asing ataupun investor asing, pencapaian substitusi impor tidak terlalu lama
bisa diwujudkan. Praktik kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai
terlihat pada dekade 1980an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut
merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan investor
(produsen), terutama kalangan investor asing yang melibatkan kalangan produsen
di dalam negeri. Apalagi sektor ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta
tersebut membutuhkan biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa
memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa produsen di
dalam negeri.
Salah satu praktik kartel yang paling
dominan di masa itu adalah kartel di antara produsen otomotif. Sebelum masa
reformasi 1998, terdapat pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi
untuk pasar kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan penguasaan untuk
memproduksi dan merakit kendaraan bermotor dengan teknologi 4 tak. Sementara
untuk Yamaha dan Suzuki diberikan penguasaan untuk motor terteknologi 2 tak.
Dalam hal ini, Honda tidak diperkenankan masuk (merakit dan memproduksi) motor
roda dua berteknologi 2 tak, kecuali diperbolehkan masuk melalui impor yang
berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk yang cukup mahal. Pada kelompok sedan,
Toyota melalui ATPM-nya, yaitu Toyota Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan
untuk bermitra dengan pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas
untuk pemerintah. Sekalipun demikian, pihak TAM tidak diperkenankan untuk
bermitra dengan kalangan swasta dalam penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali
dengan kesepakatan tertentu. Praktik kartel semacam ini masih terus berlangsung
hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki asosasi sendiri yang
bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo.
Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) berhasil membongkar praktik kartel dalam penetapan
tarif layanan pesan pendek atau short message service (SMS). Kartel tersebut
melibatkan nama-nama perusahaan operator seluler seperti PT Excelcomindo
Pratama, Tbk., PT Telkomsel, Tbk., PT Telkom (Persero), PT Bakrie Telecom,
Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut
terindentifikasi dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta merugikan
konsumen sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam industri telepon seluler
sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan semata pada layanan SMS,
melainkan pula pada penetapan tarif panggilan (call). Sekalipun pihak KPPU
berhasil mengeksekusi kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan untuk
masing-masing perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan kerugian
konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Praktik kartel oleh para
operator telepon seluler ini pun semakin meluas, bahkan semakin nyata membatasi
masuknya pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus operator
seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat mengalami tekanan industri
(politik), akibat tidak mengikuti aturan main dalam persaingan operator telepon
seluler.
Pada tahun 2005, KPPU berhasil
membongkar praktik kartel dalam produksi garam di dalam negeri. Kesepakatan
tertutup yang dilakukan oleh sejumlah produsen tersebut mengatur pasokan garam
yang disuplai dari Sumatera Utara. Tahukah Anda, garam ternyat bukan hanya
bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku vital bagi sektor industri
tertentu. Tidak main-main, sektor industri yang sering membutuhkan pasokan
garam adalah industri perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting
membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri kimia, industri
farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar manfaatnya, tetapi
bertolak belakang apabila melihat nasib kesejahteraan para petani garam.
Pada tahun 2010, KPPU berhasil
membongkar modus praktik kartel dalam industri minyak goreng kemasan maupun
minyak goreng curah. Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan
pokok masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok pangan.
Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung selama periode
April-Desember 2008 dengan modus price pararelism untuk jenis minyak goreng
kemasan maupun jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai
Rp 1,27 triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3
miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian, kasus ini kandas
melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan banding oleh
sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.
Praktik kartel ini pun ternyata merambah
ke industri farmasi. Sekali lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di
dalam penyediaan obat-obatan hipertensi jenis amplodipine besylate yang
melibatkan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk kartel yang dilakukan
adalah jenis kartel harga. Ini barulah praktik kartel untuk satu jenis
obat-obatan yang berhasil dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi pula
untuk obat-obatan lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi di dalam
negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadila yang mengeluhkan
tentang tata niaga perdagangan obat yang membuat harga obat-obatan menjadi
mahal.
KPPU sempat pula membongkar dan
mengeksekusi praktik kartel di kalangan operator transportasi udara di dalam
negeri. Bentuk praktik kartel yang dibongkar berupa praktik kartel dalam
penetapan harga tiket dan tarif fuel surcharge (avtur). Industri penerbangan di
dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 2005 dengan kemunculan
nama-nama baru dalam maskapai penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan
yang begitu cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi bisnis
yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut, KPPU memberikan sanksi
kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT Lion Mentari Airlines, PT Wing Abadi
Airlines, PT Merpati Nusantara Airline (Persero), PT Travel Express Aviation
Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat praktik kartel tersebut, konsumen
penerbangan mengalami kerugian dengan taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama
periode dari tahun 2006-2008. Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat
MA, tetapi pihak MA menolak gugatan tersebut.
Rasanya akan menghabiskan cukup banyak
halaman apabila menyebutkan satu per satu praktik kartel dalam industri di
Indonesia saat ini. Praktik kartel berlangsung dan dilakuan di seluruh sektor
perekonomian, tidak terkecuali pula sektor pertanian, pertambangan, dan migas.
Belum lama ini, pihak KPPU tengah melakukan investigas terhadap adanya indikasi
kuat praktik kartel dalam pengadaan komoditi bawang putih dan pengadaan (impor)
daging sapi. Mereka memiliki sendiri asosiasi atau organisasi yang mewadahi
kepentingan ekonomi mereka. Agenda mereka cukup jelas, mengatur penetapan harga
jual dan kuota (pasokan) ke dalam negeri. Sekalipun legalitas mereka masih bisa
sesuai dengan undang-undang, tetapi keberadaan mereka terbukti telah membuat
kekisruhan atau kekacauan harga maupun pasokan komoditi di dalam negeri.
Sama halnya dengan upaya untuk melakukan
pemberantasan korupsi, untuk memberantas praktik kartel maupun trust
membutuhkan kemauan politik (political will) dari pemerintah. Dibandingkan
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner seperti KPPU
relatif kurang populer di kalangan masyarakat. Padahal, isu kartel sesungguhnya
cukup dekat, bahkan berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik
di dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk
menghadapi praktik kartel. Pada tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon
seluler di Surabaya sempat melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap
sejumlah operator seluler. Aksi serupa terjadi lagi di tahun 2012 atas indikasi
mafia (kartel) di dalam penyediaan layanan spam. Sejumlah kalangan konsumen
menggalang kampanye mengajak masyarakat untuk memboikot penggunaan layanan
telepon seluler. Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini tidaklah
selalu ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu. Di sinilah titik
kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi tawar di antara produsen
dan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen tidak selalu dapat menjamin, karena
sikap ataupun keputusan dari lembaga perlindungan konsumen tidak selalu
mendapatkan dukungan politik dari penyelenggara negara.
Referensi
Postner, Richard A., 2007, Economic
Analysis of Law, 7th Edition, Aspen Publishers, New York.
Samuelson, Paul A. and William D.
Nordhaus, 2001, Economics, Seventeenth Edition, McGraw-Hill, New York.
Siswanto, Arief, 2002, Hukum Persaingan
Usaha, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.