KUTU LONCAT PARTAI POLITIK
BY, TRY NOEGROHO
Politik Kutu Loncat
Kutu loncat bukan sekadar
istilah tanpa tendensi, bahkan bermakna politis ketika dikaitkan dengan
dinamika perpolitikan. Diksi ini mungkin dipilih karena menjelaskan secara
tepat dan mudah padanan kata berpindah tempat
Adagium “tiada kawan abadi, yang ada
hanyalah kepentingan abadi” sudah menjadi hal lazim dalam panggung politik.
Semua itu kian membelalakkan mata kita karena sikap inkonsisten para elite
politik kerap mewarnai perjalanan dan dinamika politik nasional.
Berpindah partai dari satu partai ke
partai lain memang bukan hal baru lagi. Bahkan tidak sedikit elite politik yang
justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk
berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa yang
akan datang. Umumnya, perahu politik yang menjadi sandaran elite yang demikian
adalah parpol yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas
angin.
Seiring dengan situasi dan fakta politik
yang ada, maka umumnya sasaran para politikus kutu loncat itu diarahkan pada
Partai-partai yang nota bene mempunyai basis dan mesin politik yang kuat sampai
di grassroot tingkat masyarakat lapisan paling bawah.
Pemburu
Kekuasaan
Yang justru harus menelan pil pahit
adalah parpol yang ditinggalkan oleh para elite yang berkarakter politik
semacam itu. Parpol yang telah ditinggalkan jelas akan meradang. Apalagi tidak
sedikit di antara parpol yang ditinggalkan itu merupakan perahu politik pertama
yang telah membesarkan nama dan karier politik yang bersangkutan. Namun, ketika
tahta kekuasaan telah berada dalam genggaman, seolah mereka lupa diri dan mulai
memasang bargaining position.
Dari perspektif yuridis, fenomena
politikus kutu loncat ini memang tidak
dapat dipersoalkan, apalagi diperkarakan. Pasalnya tidak ditemukan regulasi
yang mengatur persoalan yang demikian. Sementara itu, para elite yang melakoni
sikap yang demikian punya sederet dalih pembenar, khususnya terkait dengan masa
depan karier politiknya. Potensi kekuatan parpol yang dituju menjadi alasan
utama untuk hijrah dari parpol yang sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan
politiknya.
Namun, dari sudut pandang etika dan
moral, lakon ini jelas tidak patut digulirkan. Bagaimanapun, kehidupan politik
tanpa etika hanya akan mengukuhkan diri sebagai orang-orang yang tak lain
adalah pemburu kekuasaan sejati. Para elite yang demikian seakan sudah menutup
mata dengan berbagai kritikan yang dialamatkan terhadap dirinya. Hasrat
berkuasa ternyata sudah menenggelamkan kaidah-kaidah moral dan etika.
Fenomena politik yang demikian
sesungguhnya juga kian menyingkapkan tabir politik bahwa sesungguhnya yang
menjadi tujuan politik hanyalah kekuasaan semata. Sepanjang dipandang akan
mampu memberikan kontribusi positif dalam rangka peningkatan karir politik,
maka segala daya dan upaya akan dilakukan, termasuk dengan menerabas etika dan
moral sekalipun.
Lalu, yang menjadi pertanyaan kemudian
adalah sejauh mana sesungguhnya komitmen para politisi dengan karakter semacam
itu dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat?
Ataukah karakter yang sama juga akan
menimpa harapan publik. Jawaban yang lebih relevan adalah bahwa perubahan
karakter elite politik yang mempertontonkan praktik kutu loncat umumnya akan
mengalami nasib yang sama dengan upaya perjuangan nasib publik. Kalaupun
kemudian dalam berbagai kesempatan, kampanye pembelaan kepentingan rakyat
selalu diagung-agungkan, kita yakin hal itu tidak lebih dari sebuah upaya
meraih simpati publik dalam rangka memadukan kekuatan parpol dengan basis massa
yang lebih menjanjikan.
Lupa
Utang Politik
Maka tidak heran bila kemudian banyak
pejabat publik dan kalangan legislatif yang kerap ingkar janji dan lupa akan
segala utang politik yang pernah disuguhkan kehadapan rakyat, khususnya pada
saat pemilu tiba. Maraknya praktik-praktik pembohongan publik tentu tidak dapat
dilepaskan dari sikap pragmatisme politik yang kian bergejolak dan seolah sudah
dipandang lumrah.
Inilah konsekuensi dari karakter politik
kutu loncat yang harus diterima bangsa ini. Yang patut dipikirkan kemudian adalah
bagaimana caranya untuk mengingatkan publik agar jangan sampai terlena dengan
tipu muslihat politik yang dilakoni oleh para pemburu kekuasaan itu. Rakyat
harus mampu berpikir jernih dan membuat catatan tersendiri terhadap para elite
politik dengan mendasarkan sepak terjangnya selama ini.
Kewaspadaan publik akan menjadi
satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari jeratan politik pragmatis yang
hendak ditularkan oleh para politikus kutu loncat itu. Di samping itu, parpol
juga punya andil besar dalam memutus mata rantai praktik politik kutu loncat.
Seharusnya, seluruh parpol berkomitmen
untuk menutup pintu bagi para elite yang memiliki tabiat pindah parpol. Sebab
tidak tertutup kemungkinan ketika madu parpol yang dihijrahinya sudah
mengering, maka hal yang sama juga akan dilakukan dan kembali melakukan
perburuan dalam rangka menelusuri parpol lain yang lebih menjanjikan harapan
politiknya.