Kumpulan dan artikel tentang pemilih pemula.
Pemilih Pemula
Pemilih Pemula adalah Warga Indonesia yang pada hari
pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap
berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak
pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang
Pemilu.
Pemilih pemula memilik karakter yang berbeda dengan
pemilih yang sudah terlibat pemilu periode sebelumya yaitu :
1.
Belum pernah memilih atau melakukan
penentuan suara di dalam TPS.
2.
Belum memiliki pengalaman memilih.
3.
Memiliki antusias yang tinggi.
4.
Kurang Rasional.
5. Biasanya adalah pemilih muda yang masih
penuh gejolak dan semangat, dan apabila tidak dikendalikan akan memiliki efek
terhadap konflik-konflik sosial di dalam pemilu.
6. Menjadi sasaran peserta pemilu karena
jumlahnya yang cukup besar.
7. Memiliki rasa ingin tahu, mencoba, dan
berpartisispasi dalam pemilu, meskipun kadang dengan bebagai latar belakang
yang rasional dan semu.
Pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda
tersebut membutuhkan pemikiran dan penanganan yang serius dalam Pemilu dan
pemilu mendatang.
Diperkirakan
5 Jutaan lebih Pemilih Pemula potensial di Pemilu 2019
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada
5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019. Data ini masuk dalam Daftar
Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4)
"Dalam DP4 terdapat pemilih pemula yang akan
berusia 17 tahun tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019 sebanyak
5.035.887 jiwa," ujar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, di kantor Kemendagri, Jl Medan Merdeka Utara,
Jakarta Pusat, Senin (17/9/2018).
Jumlah ini didapat dari hasil pengurangan total
Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dan data penduduk wajib KTP
elektronik. DP4 berjumlah 196.545.636, sedangkan jumlah data wajib KTP sejumlah
191.509.749.
Zudan menyebut, pemilih pemula dalam DP4 ini bisa
tetap tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Caranya dengan memasukkan nama
pemilih pemula dalam database kependudukan.
"Maka solusinya adalah agar tidak hilang dari
DPT cukup yang bersangkutan dituangkan dalam surat keterangan, bahwa yang
bersangkutan ada datanya dalam database kependudukan," kata Zudan.
Hal ini menurut Zudan sudah disampaikan ke KPU.
Tujuannya menjaga hak pilih dari pemilih baru.
"Kita tawarkan kepada KPU untuk pemilih tetap
bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih," .
Pemilih pemula dominasi pemilu 2019, apa dampaknya?
Jumlah pemilih pemula dan
muda pada pemilu 2019 mencapai kisaran 14 juta. Angka yang besar bakal
mempengaruhi para calon legislatif dan calon presiden untuk bisa merebut hati
para pemilih muda.
Direktur Eksekutif Perkupulan Untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, pemilih muda memang lebih dari
50% yang jika di kategorisasi hingga usia 35 tahun maka jumlahnya mencapai 79
juta, tetapi jika sampai 40 tahun maka jumlahnya mencapai 100 juta.
Dia menjelaskan, kelompok milenial ini memiliki
adaptasi politiknya yang agak berbeda dengan kelompok umur yang lebih tua.
Mereka lebih dinamis dan lebih cepat berubah
persepsi politiknya, terutama sangat terpengaruh oleh lingkungan.
“Kadang-kadang mereka cepat sekali apatis terhadap
proses politik, karena menganggap dinamika politik itu tidak menarik dan jauh
dari keseharian mereka,” ujarnya saat di gedung Kementerian Dalam Negeri.
Menurutnya, jika para pemilih pemula dan milenial
ini di kelola dengan baik bisa menjadi penentu kemenangan. Tetapi sangat
disayangkan kalau pemilih muda ini terpengaruh oleh nilai-nilai politik yang
kurang baik dari lingkungan.
Untuk itu, menjadi tantangan besar bagi para calon
untuk merebut hati para pemilih muda dan milenial dengan politik-politik,
gagasan yang memajukan bangsa.
“Karena mereka ini yang akan menjadi pemimpin kita.
Jadi bukan sekadar menjadi pertaruhan kemenangan pemilu tetapi bagaimana
keberadaan mereka menjadi modalitas untuk pembangunan mereka yang lebih baik,”
tambahnya.
Dia menyarankan, khusus pemilih milenial ini menjadi
kantong strategis suara para calon peserta pemilu. Syaratnya dengan pendekatan
yang sesuai di era zaman now.
“Jadi tidak hanya pendekatan pragmatis tetapi juga
pendekatan investasi jangka panjang negara kita,
Cara Agar Warga Berusia 17 Tahun saat April 2019 Bisa
Memilih.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencari cara agar warga
yang genap berusia 17 tahun saat April 2019 tetap bisa menggunakan hak
pilihnya. Salah satu cara yang didorong adalah penggunaan surat keterangan
(suket) bagi warga tersebut.
"Kami selalu mengingatkan problem ini,
undang-undang memerintahkan KTP elektronik selesai di bulan Desember. Kalau dia
belum masuk, ada tidak ada KTP elektroniknya, dia tidak bisa menggunakan hak
pemilihnya," kata Ketua KPU Arief Budiman di kantornya, Jalan Imam Bonjol,
Jakarta Pusat.
Arief mengatakan pemilihan umum bagi WNI di
Indonesia mengharuskan adanya e-KTP. Ada 5 juta warga yang akan berusia 17
tahun pada April mendatang.
"Untuk memudahkan nah tadi usulannya, KPU boleh
pakai suket untuk yang belum usia 17 tahun ini. Silakan kalau semua setuju kita
bikinkan yang penting hak mereka dilindungi," ucapnya.
KPU juga berusaha mengusulkan penerbitan e-KTP bagi
warga yang akan berusia 17 tahun pada April 2019 pada tahun. Dia menyebut harus
ada dispensasi bagi khusus terkait kasus tersebut.
"Ada regulasi mengatakan barangsiapa
menerbitkan identitas seseorang tidak dengan cara yang sah itu ada pidananya,
maka tidak berani Dukcapil. Tetapi ini kan special case," ujar Arief.
Menyelamatkan Pemilih Pemula
UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu memberikan
jaminan bagi pemilih pemula yang pada 17 April 2019 genap berusia 17 tahun guna
menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Secara kuantitatif, jumlah pemilih
pemula cukup besar dan berkontribusi signifikan bagi kemenangan Pasangan Calon
Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres) maupun Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD atau Pemilu Legislatif
(Pileg). Namun demikian, dalam aktualisasi hak pilih mereka masih mengandung
masalah dan bahkan potensial menyebabkan pemilih pemula kehilangan hak
pilihnya. Masalah ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan dicarikan
solusinya untuk menyelamatkan jutaan hak pilih kelompok potensial ini pada
Pemilu 2019.
Data-data mengenai jumlah pemilih pemula beragam.
Dirjen Dukcapil Zudan Arif Farullah pernah menyebutkan, dalam Daftar Penduduk
Pemilih Potensial Pemilu (DP4) terdapat pemilih pemula yang akan berusia 17
tahun tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019 sebanyak 5.035.887
jiwa. Data Ketua KPU Arif Budiman menyebutkan adanya potensi pemilih pemula
atau pemilih yang baru 17 tahun pada hari pemungutan suara sebanyak lebih dari
7 juta. Dalam kesempatan lain Arif menyebut, ada sekitar 5 juta pemilih pemula
yang sudah akan berusia 17 tahun dalam kurun waktu Januari hingga April 2019.
Sementara, Komsioner KPU Viryan Aziz menyebut, jumlah pemilih pemula lebih
kecil lagi yakni 1.262.878 jiwa.
Mengacu data pemilih versi Viryan, urutan 10 data
pemilih pemula terbanyak berturut-turut: Jawa Barat menempati urutan pertama
dengan 212.749 jiwa dari DPT 32.636.846 per 30 Agustus 2018; Jawa Timur
sebanyak 174.558 jiwa dari DPT 30.554.761 jiwa per 30 Agustus; Jawa Tengah
154.188 jiwa dari DPT 27.430.269 jiwa per 30 Agustus; Sumatera Utara 81.034
jiwa dari DPT 9.426.220 jiwa per 3 September; Sulawesi Selatan 50.497 jiwa dari
DPT 5.972.161 jiwa per 1 September; Banten 46.260 jiwa dari DPT 7.452.971 jiwa
per 29 Agustus; Lampung 45.873 jiwa dari DPT 5.914.926 jiwa per 29 Agustus;
Sumatera Selatan 40.697 jiwa dari DPT 5.821.160 jiwa per 29 Agustus; Nusa
Tenggara Timur 35.257 jiwa dari DPT 3.289.174 jiwa per 31 Agustus; dan, DKI
Jakarta 33.855 jiwa dari DPT 7.211.891 jiwa per 30 Agustus.
Kendala dan Problema
Sejumlah kendala dan problem yang melingkupi pemilih
pemula dewasa ini di antaranya pertama, pemilih pemula yang pada 17 April 2019
berumur 17 tahun dan ingin mengikuti Pemilu masih banyak yang belum melakukan
perekaman dan pencetakan e-KTP, alias belum memiliki e-KTP. Kedua, syarat
perekaman, penerbitan, dan pemberian e-KTP baru bisa dilakukan pas di hari
ketika penduduk berusia 17 tahun. Sementara bila dilakukan perekaman dan
penerbitan e-KTP tepat di hari pemungutan suara pada 17 April 2019 --meskipun
dijanjikan Mendagri Tjahjo Kumolo bisa dilakukan hanya dalam waktu satu jam
jika seluruh persyaratan terpenuhi-- bisa dianggap melanggar aturan dan sangat
riskan dilakukan. Apalagi di hari libur karena dipastikan seluruh rakyat
Indonesia yang memenuhi syarat pemilih tengah berkonsentrasi untuk mengikuti
Pemilu 2019.
Ketiga, dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu
diatur mengenai Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Atau, pemilih yang telah
terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu Pemilih tidak
dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan
terdaftar dan memberikan suara di TPS lain. Syaratnya, harus menunjukkan e-KTP
atau Surat Keterangan (Suket) dan salinan bukti telah terdaftar sebagai Pemilih
dalam DPT di TPS asal dengan menggunakan formulir Model A.A.1-KPU (PKPU No. 11
tahun 2018, Pasal 37 ayat 1). Jadi, meskipun pemilih pemula sudah masuk dalam
DPT, jika tidak mempunyai e-KTP atau Suket, tidak dapat menyalurkan hak
pilihnya.
Selain problem administratif, problem lainnya di
antaranya pertama, pemilih pemula rawan dipolitisasi dan dijadikan komoditas
politik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas kontestan Pemilu, baik
Pilpres maupun Pileg. Kedua, pemilih pemula rawan didekati, dipersuasi,
dipengaruhi, dimobilisasi, dan sebagainya untuk bersedia mengikuti kampanye
yang dilaksanakan. Padalah sebelum ini, para kontestan Pemilu tersebut tidak
jelas kepeduliannya terhadap pemilih pemula.
Ketiga, pemilih pemula masih banyak mengidap
penyakit labilitas dan emosionalitas. Dalam kontek Pemilu, mereka berada dalam
pusaran antara antusiasme politik dengan apatisme politik. Pada satu sisi
sangat bersemangat dan ingin mengetahui seputar Pemilu, khususnya melalui media
sosial. Namun, belum tentu antusiasisme tersebut simetris dengan realitas
perilaku politiknya. Bahkan tidak sedikit kalangan pemilih pemula, termasuk
mahasiswa, lebih memilih tidak menyalurkan hak pilihnya alias Golput. Dengan
kata lain antusiasisme politik kalangan muda, khususnya pemilih pemula di
politik lebih merefleksikan suatu fenomena romantisme politik atau sensate
democracy.
Keempat, pemilih pemula sering menjadi sasaran empuk
politik transaksional, atau politik uang. Politik uang dalam konteks pemilih
pemula bisa berangkat atas inisiatif dari partai politik, tim kampanye, dan
para calo politik (political broker). Tetapi, bisa juga berasal dari inisiatif
pemilih pemula itu sendiri. Jangan lupa, di antara pemilih pemula juga sudah
mengenal politik uang serta sumber-sumber dari politik uang tersebut. Hanya
saja politik uang di kalangan pemilih pemula cenderung hanya dalam jumlah
terbatas, recehan atau eceran. Bukan dalam jumlah besar, glosiran, partaian,
atau kardusan.
Kelima, pemilih pemula belum berpengalaman dalam
mengikuti kegiatan Pemilu, khususnya pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara
(TPS). Kegiatan ini gampang-gambang susah. Terlebih pada Pemilu Serentak 2019
di mana surat suara (ballot paper) yang harus 'dicoblos' oleh pemilih cukup
banyak, yakni: (1) untuk Capres dan Cawapres, (2) anggota DPR, (3) anggota DPD,
(4) anggota DPRD Provinsi dan (5) untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota (di Jakarta
tidak ada DPRD Kabupaten/Kota). Bukan tidak mungkin, pemilih pemula tidak
mengetahui sah dan tidak sahnya pencoblosan surat suara.
Langkah Penyelamatan
Dengan peta problem pemilih pemula seperti itu,
semua pihak diharapkan terlibat aktif untuk mencarikan solusi dan terobosan
dengan tujuan untuk menyelamatkan pemilih pemula agar tidak kehilangan hak
pilihnya. Solusi dan terobosan yang bisa dilakukan sebagai berikut :
Pertama,
Kemendagri harus memerintahkan Dukcapil di seluruh Indonesia untuk segera melakukan
perekaman dan penerbitan e-KTP kepada pemilih pemula yang pada 17 April 2019
genap berusia 17 tahun paling lambat tuntas akhir Desember 2018. Agar tidak melanggar
aturan, sebelumnya dikeluarkan Petunjuk Teknis atau Surat Edaran.
Jika sampai pada Desember 2018 perekaman dan
penerbitan e-KTP bagi pemilih pemula tidak tuntas, dalam arti masih ada pemilih
pemula belum memiliki e-KTP, Kemendagri melalui Dukcapil se-Indonesia melalui
Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) di masing-masing Kelurahan/Desa dengan
sebelumnya berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari KPU, DPR dan Bawaslu,
harus menerbitkan dan membagikan Surat Keterangan (Suket) bagi pemilih pemula
sebagai pengganti dokumen kependudukan yang bisa digunakan saat pemungutan
suara. Penerbitan Suket ini ada dasar hukumnya, yakni PKPU No. 11 tahun 2018
Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu Pasal 39
ayat 3.
Kedua,
jajaran KPU harus secara gencar mensosialisasikannya kepada seluruh jajarannya
hingga di level bawah, khususnya kepada mereka yang bakal bertugas sebagai
anggota Kelompok Kerja Pemungutan Suara (KPPS). Sosialisasi intens harus juga
dilakukan kepada masyarakat luas melalui berbagai bentuk media massa dan Alat
Peraga Sosialisasi (APS Sosialisasi) secara masif. Saat bersamaan KPU dan
Dukcapil harus memikirkan cara untuk mengeliminasi dan mencegah penggunaan
Suket tidak disalahgunakan/dipalsukan.
Ketiga,
untuk mencegah terjadinya politisasi terhadap pemilih pemula, maraknya politik
uang, minimnya pemahaman terkait dengan teknis penandaan atau pencoblosan, dan
lain sebagainya KPU harus lebih intens melakukan literasi politik dengan cara
melakukan pendidikan pemilih kepada pemilih pemula agar menjadi pemilih cerdas.
Pemilih cerdas adalah pemilih yang lebih mengedepankan rasionalitas (bukan
emosionalitas) dalam menentukan pandangan dan sikap politiknya. Dalam
pendidikan pemilih tersebut juga harus diberikan pemahaman dan keterampilan
teknis pencoblosan yang sah agar kehadiran pemilih pemula ke TPS tidak sia-sia
atau percuma.
Keempat,
Bawaslu dan partai politik tidak bisa tinggal diam untuk menyelamatkan nasib
jutaan pemilih pemula. Untuk itu, Bawaslu harus mendorong dan memastikan agar
KPU dan Kemendagri melakukan langkah-langkah pasti, baik secara aturan maupun
dalam pelaksanaannya. Pun demikian partai politik, harus ikut berpartisipasi
mensosialisasikan hal ini kepada konstituen dan anggotanya. Sebab bisa jadi, di
antara konstituennya ada yang berasal dari segmen kalangan pemilih pemula. Hal
ini harus segera dilakukan agar pemilih pemula mengetahui hak dan kewajibannya
pada Pemilu 2019.
Kelima, menurut informasi dari Dukcapil, pemilih
pemula namanya sudah masuk dalam DP4 yang artinya berpeluang untuk dapat
mengikuti Pemilu 2019. Yang belum dimiliki oleh sebagian pemilih pemula adalah
e-KTP, sebagian lagi tengah melakukan perekaman dan memiliki e-KTP, dan
sebagian lagi belum melakukan perekaman, apalagi mendapatkan e-KTP. Baik yang
sudah, tengah, dan belum memiliki e-KTP, atau hanya bermodalkan asumsi sudah
masuk dalam DPT, disarankan untuk mengecek apakah namanya sudah masuk DPT atau
belum. Jika belum, segera melapor ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) terdekat
untuk segera dimasukkan ke dalam DPT dengan melampirkan bukti resi surat
keterangan perekaman, e-KTP, atau informasi kependudukan lainnya yang dianggap
perlu.
Pemilih Pemula dan Pemuda Diharapkan Tidak Golput
Potensi
pemilih pemula dan pemuda yang cukup besar, diharapkan bisa menyumbang suara
dalam pesta demokrasi Indonesia pada 2014. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) bekerja sama dengan organisasi mahasiswa mengadakan sosialisasi pemilihan
umum kepada pemilih pemula dan pemuda, pada kegiatan roadshow Rock The Vote, di
Lapangan Basket Universitas Lampung (Unila), Senin (3/3).
Menurut data dari Center For Election and Political
Party (CEPP) Ilmu Pemerintahan FISIP Unila,
jumlah pemilih pemuda mencapai 30 persen dari jumlah keseluruhan pemilih
di Indonesia, dan jumlah itu bisa mencapai 53 juta suara.
Jumlah tersebut menunjukkan signifikansi yang cukup
besar dari para pemilih pemula dan pemuda. Namun, yang menjadi pertanyaan
adalah, seberapa besar partisipasi mereka dalam pemilu nantinya?
Pada kegiatan tersebut, sekitar 500 pelajar dan
mahasiswa ikut serta, untuk mengajak pemilih pemula dan pemuda berpartisipasi
dalam pemilihan umum dan tidak golput.
“Dalam kegiatan tersebut, para peserta diajak untuk
memahami esensi dari potensi besar suara pemilih mula dan muda dalam proses
demokrasi. Apalagi, khususnya di Lampung, jumlah pemilih muda mencapai satu
juta suara,” ungkap Suwondo, dosen
Jurusan Ilmu Pemeritahan yang juga Direktur CEPP FISIP Unila.
Pada kegiatan tersebut dilakukan juga
penandatanganan deklarasi pemilih muda Indonesia. Penandatanganan dilakukan
oleh semua peserta dan tamu undangan, baik dari pihak Unila, Bawaslu KPU
Lampung, serta Pemerintah Daerah Lampung.
Para peserta juga merasa antusias mengikuti kegiatan
sosialisasi pemilu ini. Mereka mengaku jadi tahu proses pemilihan, dari mulai
masuk tempat pemungutan suara, mencoblos, sampai akhir pemilihan. Bahkan,
mereka menyatakan pasti memilih setelah diberi pemahaman pemilu. “Saya berharap
jika para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih bisa bebas dari korupsi,”
ujar Fitri Sisilia, peserta Rock The Vote ini.
Teknis sosialisasi pada kegiatan ini adalah, peserta
dibagi dalam beberapa grup (focus group discusion). Di situ sudah ada tutor
yang memberi pemahaman dan sosialisasi pemilu. Cara ini dinilai efektif bagi
pemilih pemula dan pemuda untuk menangkap pesan dalam kegiatan. Para peserta
juga mengaku jadi banyak mengerti soal pemilu dan politik.
Kegiatan Rock The Vote merupakan kegiatan gerakan
pemilih muda yang dilakukan secara road show di 45 kampus di 33 provinsi di
Indonesia. Kegiatan yang mengusung tema “Aku untuk Nusantara” ini diharapkan
bisa meningkatkan partisipasi pemilih mula dan muda Indonesia.