parliamentary threshold
Ambang batas parlemeN
by, R. Tri Priyo Nugroho
Ambang
batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas
perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
Threshold merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai
politik untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya dilihat dari presentase
perolehan suara di pemilu.Menurut Kacung Marijan, yang dimaksud electoral
threshold adalah batas minimal suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi
(wakil) di parlemen. Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan
fungsinya sebagai wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan
(di Indonesia dikenal dengan istilah parliementary threshold).Pernyataan
tersebut juga disetujui oleh Hanta Yuda yang mengatakan bahwa, dalam logika
politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah parpol peserta pemilu yang harus
dibatasi, tetapi jumlah ideal kekuatan parpol yang perlu diberdayakan atau
dirampingkan diparlemen.
Dalam
pasal 414 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ditentukan bahwa
ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah 4 % dari total suara
sah nasional. Artinya Parpol yang tidak memperoleh minimal 4% suara dalam
Pemilu 2019 tidak berhak memiliki kursi di Parlemen.
Ambang
batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai
politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Ambang batas parlemen ini dibuat untuk menstabilkan hubungan antara Eksekutif
dan Legislatif dalam suatu negara demokrasi.
Dalam
suatu negara demokrasi seperti Indonesia yang memberi ruang sebebas-bebasnya
bagi masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, tidak heran bila banyak
bermunculan partai politik dalam setiap kontestasi politik. Tetapi sistem
presidensil menurut Scott Mainwaring tidak cocok dengan sistem multipartai, dan
dapat menciptakan demokrasi yang tidak stabil.
Selain
itu, presiden dapat mengalami resistansi apabila terjadi multipartai dalam
parlemen karena Legislatif lebih dominan. Oleh karena itu harus ada pembatasan
jumlah partai politik untuk masuk ke dalam parlemen, salah satunya dengan
menggunakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Ambang
batas parlemen ini pertama kali ditetapkan pada Pemilihan Umum 2009.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 202, ambang
batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional,
dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Namun,
pada Pemilihan Umum 2009, partai politik yang sebelumnya tidak mendapat kursi
di parlemen pada Pemilihan Umum 2004 --dan seharusnya tidak diperbolehkan
menjadi peserta pemilihan umum-- dapat menjadi peserta pemilu dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-VI/2008. Hal ini mengakibatkan
banyaknya partai politik peserta Pemilihan Umum 2009, yakni 44 parpol (7 partai
politik lokal Aceh) --di mana 28 parpol tidak lolos ambang batas.
Kemudian
menjelang Pemilihan Umum 2014, Undang-Undang Pemilu kembali direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, di mana Pasal 208 menetapkan bahwa ambang
batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5%. Pada Pemilu 2014 sebanyak 15 partai
politik ikut serta (3 partai politik lokal Aceh), dan yang tidak lolos ke
parlemen ada dua partai.
Selanjutnya
Undang-Undang Pemilu tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,
dengan ketentuan ambang batas parlemen kembali dinaikkan, menjadi 4% dari suara
sah nasional. Pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum
(KPU) telah menetapkan partai politik peserta Pemilu 2019.
Dari
partai-partai politik yang lolos tersebut salah satu yang menarik untuk diamati
adalah pergerakan partai-partai politik yang baru. Selain mereka sudah
dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi, tugas partai politik baru ini tidak
sampai di situ saja. Partai politik baru ini juga mempunyai tugas yang cukup
berat untuk mendelegasikan kadernya untuk duduk di parlemen, apabila tidak
hanya mau jadi penggembira dalam pesta demokrasi 5 tahunan tersebut.
Selain
mereka masih baru, dan belum mempunyai loyalitas yang teruji dan mengideologi
seperti partai politik yang telah lama berkiprah dalam kontes pemilihan umum di
Indonesia, juga tantangan ambang batas parlemen/parliamentary threshold yang
akan dihadapi. Adapun partai-partai baru yang menjadi kontestan pemilu kali ini
adalah Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), Partai Solidaritas Indonesia
(PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (GARUDA), dan Partai Berkarya.
Pada
Pemilu 2014 satu-satunya partai politik baru pada saat itu dapat lolos ambang
batas parlemen yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Partai Nasdem kala itu
bahkan dapat mengalahkan partai yang lebih dahulu mengikuti pemilihan umum
yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI) yang tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2014.
Keempat
partai baru tersebut harus dapat memperoleh suara yang signifikan apabila tidak
mau hanya numpang lewat dalam kontestasi Pemilu 2019. Caranya, tentu dengan
menawarkan program-program yang lebih bagus dari partai yang ada agar pemilih
tertarik untuk memilih mereka. Keempat parpol baru tersebut juga harus pada
menggunakan berbagai macam strategi partai untuk dapat mendudukkan kadernya di
parlemen.
Apakah
keempat partai tersebut dapat mengikuti jejak Partai Nasdem pada Pemilu 2014
yang langsung berhasil mendelegasikan kadernya di parlemen? Oleh karena itu
menarik untuk menunggu hasil perhitungan suara partai-partai baru tersebut pada
Pemilu 2019 nanti.
Pertanyaannya
bisakah partai meraih minimal untuk tiket batas aman 23 / 24 KURSI di DPR RI
partai bisa lolos ke pemilu selanjutnya.
Parlementary Threshold 4 Persen Tak Pengaruhi Perolehan Kursi di
DPRD .
Ambang
batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4 persen yang telah disahkan
dalam Undang Undang (UU) Pemilu hanya berlaku untuk penentuan perolehan kursi
di DPR RI.
Ambang
batas Parliamentary Threshold (PT) 4 persen ternyata hanya berlaku untuk
Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI. Sementara, untuk DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota, besaran ambang batas PT adalah 0 persen.
Hal
itu ditegaskan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen
Kemendagri) Bahtiar, Sabtu (3/8). Bahtiar mengungkapkan, penerapan ambang batas
parlemen parliamentary thresholdsebesar 4 persen pada Pemilu 2019 didasari atas
semangat untuk memperkuat sistem presidensial.
Semangat
ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, sekaligus untuk mendorong
efektifitas serta proporsionalitas tugas dan fungsi dari DPR RI.
“Semangat
pembentuk Undang-Undang dengan penerapan ambang batas 4% yaitu untuk multi
partai sederhana dengan fokus untuk memperkuat sistem presidensial,” kata dia
dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (4/8).
Bahtiar
menyatakan, dengan ambang batas 4 persen diharapkan partai politik (parpol)
dapat disederhanakan. Meski ia mengakui realitas yang terjadi saat ini, penerapan
ambang batas PT tidak berbanding lurus dengan semangat pembatasan parpol yang
ada di DPR RI.
Dicontohkan
pada Pemilu 2009, dengan besaran ambang batas sebesar 2,5 persen, tercatat
sembilan partai politik yang lolos ke Senayan. Begitu juga pada Pemilu 2014,
ambang batas PT dinaikkan menjadi 3,5 persen dan tercatat 10 partai politik
yang melenggang ke Senayan.
“Dengan
ambang batas 4%, peluang partai peserta Pemilu 2019 tetap terbuka lebar ke
parlemen. Sepanjang partai pemenang tidak mendominasi suara secara signifikan,
sehingga perolehan suara merata ke seluruh parpol baik partai besar maupun
partai kecil,” terang Bahtiar.
Jadi,
sambungnya, ambang batas PT 4 persen hanya berlaku untuk Pemilihan Anggota
Legislatif DPR RI. Untuk DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, besaran ambang
batas PT adalah 0 persen.
Berlaku
demikian karena Pemilu 2014 sempat diberlakukan PT secara nasional melalui
Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, namun dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
“PT
4% hanya berlaku untuk DPR RI saja, untuk DPRD tidak diberlakukan PT. Akan
tetapi partai dibentuk untuk fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan
sehingga dapat diwujudkan dalam kebijakan. Tanpa ada wakil di DPR maka akan
menyulitkan partai untuk melaksanakan fungsi tersebut,” jelas Bahtiar.
“Jadi
sudah sepatutnya partai tetap berjuang untuk dapat kursi di DPR. Partai
dianggap ‘sempurna’ jika minimal punya 3 ‘wajah’, yaitu wajah di DPR RI, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tanpa itu, tentu fungsi partai tidak akan
maksimal,”
Parliamentary Threshold Bersifat Nasional.
Kepala
Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul
menjelaskan bahwa parliamentary threshold atau ambang batas parlemen bersifat
nasional. Artinya partai yang lolos ambang batas parlemen nasional, secara
otomatis lolos masuk parlemen daerah. Sebaliknya, partai yang tidak lolos
ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota.
“Jadi suara sah yang ditetapkan itu harus 4
persen, seperti yang terdapat di Pasal 415 Undang-Undang Pemilu, apabila partai
tidak memenuhi 4 persen, maka tidak diikutkan dalam penghitungan suara untuk
kursi DPR. Ketentuan kedua juga terdapat pada Pasal 414 yang mengatakan semua
partai politik itu diikutsertakan dalam penghitungan suara untuk DPRD
kabupaten/kota,” jelas Inosentius, usai menerima audiensi DPRD Kabupaten
Enrekang, Sulawesi Selatan, di Gedung Setjen dan BK DPR RI, Senayan, Jakarta,
Senin (4/6/2018).
Inosentius
menekankan, dari rumusan pasal tersebut jelas mengatakan bahwa tidak ada
ketentuan yang menyatakan perhitungan bagi partai politik yang tidak memenuhi 4
persen tidak diikutkan dalam perhitungan di DPRD kabupaten/kota. “Yang ada
adalah bahwa bagi partai politik yang tidak memenuhi 4 persen tidak diikutkan
dalam perhitungan kursi DPR bukan perhitungan kursi di DPRD kabupaten/kota,”
ungkapnya.
Lebih lanjut, Inosentius mengilustrasikan
apabila di suatu daerah pemilihan jumlah suaranya cukup untuk mendapatkan kursi
di DPR, namun saat perhitungan suara nasional tidak mencapai 4 persen, maka
partai tersebut dapat dikatakan gugur.
“Jadi
percuma kalau dia menang. Misalnya memperoleh perhitungan suara 100 persen di
provinsi tertentu, sementara kumpulan suara secara nasional tidak sampai 4
persen, maka partai tersebut dianggap gugur untuk kursi di DPR,” imbuhnya.
Sebelumnya pada audiensi tersebut, DPRD
Kabupaten Enrekang mempersoalkan pengertian parliamentary threshold yang
berlaku secara nasional. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Enrekang Arpan Renggong
menyatakan terdapat perbedaan pandangan terkait masalah nomenklatur yang ada
pada pengertian secara nasional.
“Isu yang berkembang selama ini, parliamentary
treshold berlaku secara nasional, artinya tidak berlaku di pusat apabila
kursi-kursi yang tersedia hanya dimiliki oleh partai yang memenuhi syarat
secara nasional,” jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya berharap perbedaan
pandangan tersebut dapat disamakan. Sehingga nantinya pengertian tersebut dapat
diteruskan untuk disampaikan kepada masing-masing kader partai.