STRATEGI PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA COVID 19
by, pointconsultant
Seiring masa kampanye Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) dimulai pada Sabtu 25 September 2020, para pasangan calon
mencari siasat untuk mengumpulkan dukungan masyarakat dalam situasi pandemi
covid-19.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah
menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan cara menciptakan
kerumunan masa seperti rapat umum dan konser musik, serta membatasi pertemuan
tatap muka.
Dengan sebagian besar kampanye
diperkirakan akan dilancarkan di dunia maya, organisasi pemantau pemilu
memperingatkan akan bahaya konten disinformasi dan berita bohong.
Bagaimanapun, tidak semua kandidat dalam
Pilkada serta-merta mengalihkan kampanye mereka ke media sosial. Pilkada akan
diselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 daerah dan melibatkan sekitar 105
juta pemilih. Kampanye dijadwalkan dimulai pada 26 September sampai 5 Desember,
dan masa tenang dimulai pada 6-8 Desember. Strategi pilkada di tengah pandemi
covid 19 merupakan situasi yang komplek mengingat harus mematuhi protokol covid
19. Pilkada strategi yang sedeerhana untuk memudahkan koordinasi perlu dan
harus membentuk posko pemenangan baik posko-posko di tingkat koordinator/pusat,
per dapil, per wilayah berdasarkan urgensinya, kecamatan, hingga tingkat
desa-desa/kelurahan tentunya hingga per TPS untuk membangun jaringan dalam
rangka kemenangan pilkada.
1. Program pilkada
di tengah pandemi COVID-19 sedikit berbeda sehingga mekanisme yang dilakukan dan
tetap mengoptimalkan sistem jaringan daring. Situasi seperti saat ini tidak
mungkin melakukan pertemuan-pertemuan melibatkan banyak orang.Tentunya kita
akan terjunkan kader-kader terbaik untuk door to door menyapa masyarakat
mengenalkan sosok calon agar masyarakat semakin yakin mencoblos dalam pilkada
2020. Imbauan pembatasan interaksi sosial atau social distancing dalam upaya
mewaspadai penularan virus corona (Covid-19) mendorong pemutusan rantai
penyebaran di kalangan masyarakat. Pedoman kampanye daring :
a. KPU menetapkan
Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 13 tahun 2020 yang merevisi
peraturan sebelumnya.
b. Pasal 58 dalam
peraturan baru menyatakan para kandidat dalam Pilkada serentak 2020 harus
mengutamakan kegiatan kampanye di media sosial dan media daring.
c. Jika kampanye
tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, maka dibolehkan
pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang
serta menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
d. Pada pasal 88C,
KPU dengan tegas melarang tim kampanye melaksanakan kegiatan yang biasanya
mengumpulkan massa dalam jumlah besar seperti rapat umum, kegiatan kebudayaan
seperti pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan
sosial, atau peringatan hari ulang tahun partai politik.
e. KPU juga
membatasi penayangan iklan kampanye di media sosial dan media daring hanya
selama 14 hari sebelum dimulainya masa tenang pada tanggal 6 Desember.
f. Konsekuensi
pertama dari keputusan tersebut adalah soal ketimpangan akses internet. Menurut
riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We
Are Social bertajuk "Global Digital Reports yang dilansir akhir Januari
2020", menyebutkan baru 64% atau sekitar 175,4 juta masyarakat Indonesia
menggunakan internet. Pada Mei 2019, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) juga menyebutkan angka pengguna internet di Indonesia tidak
jauh berbeda, yakni 64,8%. Selain itu, APJII juga menunjukan data penetrasi
internet pada rentang usia 5-9 tahun hingga rentang 65 tahun ke atas. Data
menunjukan rentang usia 15-19 tahun tertinggi penetrasinya yaitu mencapai 91%.
Sementara penetrasi terendah terjadi pada rentang usia 65 tahun ke atas yaitu
9,5%. Dari data APJII, Saya mencoba menjumlahkan prosentase dari rentang usia
yang masuk sebagai calon pemilih (17 tahun ke atas) dan menghitung reratanya.
Ternyata, dari 185.732.093 calon pemilih yang terdaftar di BPS, penetrasi
internet pada usia pemilih hanya sekitar 55,8% atau sekitar 103,64 juta calon
pemilih. Sisanya, sekitar 82,1 juta calon pemilih belum terpapar internet.
Ketimpangan akses tersebut diperparah dengan kenyataan lebih dari setengah
pengguna internet (55%) berada di pulau Jawa. 45% sisanya tersebar di beberapa
kota besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua. Kondisi ketimpangan
ini sangat besar angkanya untuk diabaikan. Jika KPU tetap pada rencananya, maka
mereka harus mencari alternatif kampanye digital yang tidak semata tergantung
pada akses internet. Penggunaan televisi, video tron, atau media publikasi
digital sejenis bisa dijadikan alternatif lainnya. Tentu saja konsekuensi
berikutnya adalah soal pembuatan aturan dan anggaran pengadaan media kampanye
digital yang kemungkinan besar akan mengundang kontroversi di masyarakat.
2. Strategi khusus mesinergikan
dua aspek mendasar yakni strategi pemenangan dan strategi program sebagai
solusi menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya dalam menghadapi era Adaptasi
Kenormalan Baru (AKB) pandemi Covid-19. Strategi pemenangan mencakup
langkah-langkah strategis, mulai dari penjaringan dan seleksi calon kepala
daerah, merancang koalisi strategis dengan kekuatan politik lainnya, menyusun
metode kampanye yang sehat, aman, efisien, efektif dan produktif hingga langkah
pengamanan saat pemungutan suara. Sementara jaringan mesin partai koalisi digunakan
untuk mensosialisasikan calon, menggunakan jaringan-jaringan ini lebih baik
fokus pada bakti sosial di tengah pandemi COVID-19. Situasi seperti saat ini
tidak mungkin melakukan pertemuan-pertemuan melibatkan banyak orang.Tentunya
kita akan terjunkan kader-kader terbaik untuk door to door menyapa masyarakat
mengenalkan sosok calon agar masyarakat semakin yakin mencoblos dalam pilkada
2020. Merapatkan mesin partai, selanjutnya diminta seluruh Partai koalisi
pengusung menyapa warganya. Paling tidak warga dapat merasakan partai pengusung
dan tim pemenangan / relawan itu masih hadir ditengah pandemi COVID-19.
3. Kampanye dengan
tatap muka tetaplah yang paling efektif. Namun itu pun bukan dilakukan dengan
orasi di hadapan kerumunan massa melainkan pendekatan dari rumah ke rumah. Melakukan
personal approach kepada masyarakat. Mendatangi satu per satu ( door to door)
dengan kata lain blusukan.
4. Mematuhu peraturan
tersebut antara lain UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan
sanksi administratif berupa peringatan dan denda administratif; serta KUHP
Pasal 212 dan Pasal 218 yang dikaitkan dengan kerumunan massa saat tahapan
Pilkada dengan ancaman hukuman penjara dan denda.
5. Ironi pencitraan
.
Hal lain yang
perlu diperhatikan juga adalah soal pemanfaatan media untuk mendulang
popularitas. Popularitas, dalam hal ini (merujuk pada pendekatan popular
culture) terkait segala hal yang dibesarkan oleh media. Popularitas bisa
menjadi pendongkrak elektabilitas apabila masuk menjawab kebutuhan emosional
calon pemilih. Pada posisi ini, derajat popularitas naik menjadi ekseptabilitas
(acceptable). Popularitas yang ekseptabel umumnya disebabkan kedekatan antara
image dengan reality atau istilah lainnya bukan pencitraan. Dengan
diberlakukannya kampanye digital, proses ekseptabilitas calon pemilih akan
dikompensasi sepenuhnya dalam dimensi image alias pencitraan. Calon pemilih nantinya hanya mengadalkan
kemelekan mereka pada media (media literacy), sehingga bisa kritis memfilter
pencitraan-pencitraan yang terpapar kepadanya. Akan tetapi, kondisi media
literacy masyarakat kita cukup memprihatinkan. Para kandidat nakal akan dengan
dengan leluasa memborbardir media dengan konten-konten pencitraan bahkan dengan
cara-cara jahat seperti memfitnah, berbohong, memanipulasi fakta, dan
sebagainya. Kampanye digital akan menjadi ajang pencitraan tanpa perlu capek-capek
diburu oleh keinginan publik untuk cek lapangan. Kondisi semacam ini akan
berbahaya karena KPU akan dianggap memberikan peluang memaklumi kejahatan
digital. KPU perlu menyiapkan dua sisi literasi baik dari calon pemilih dan
kandidat.
6. Tantangan KPU.
Melihat
tantangan yang akan dihadapi KPU dalam pelaksanaan kampanye digital, ada
baiknya wacana tersebut segera digulirkan agar masyarakat ikut terlibat
memberikan masukan. KPU perlu menyiapkan mekanisme komunikasi publik yang tepat
dalam menyampaikan rencana tersebut. Sehingga, niatan KPU memastikan sistem
pilkada demokratis di masa pandemik tidak malah menjadi kontra produktif
diakibatkan ketidaktepatan penyampaian informasi publik, seperti yang dialami
pemerintah dalam penanganan Covid-19.