HALAL BI HALAL
Makna halal bi halal adalah saling bermaafan di hari lebaran.
Lebih tepatnya halal bi halal adalah kegiatan silaturahmi di mana diisi dengan saling maaf memaafkan selama hari raya idul fitri.
Halal bi halal sudah menjadi tradisi di Indonesia.
Walaupun kata halal bi halal merupakan kata dari bahasa Arab, namun orang Arab tidak akan mengerti maknanya karena halal bi halal ini hanya ada di Indonesia dan merupakan kreasi sendiri orang Indonesia.
Makna halal bi halal bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia.
Jadi walaupun merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bi halal adalah hakikat ajaran Al-Quran.
Makna halal bi halal Dalam Tinjauan Hadits.
Makna halal bi halal yaitu silaturahmi dan saling memaafkan.
Seperti yang telah diketahui, halal bi halal adalah kegiatan silaturahmi dan asling memaafkan yang merupakan risalah islam, dan makna halal bi halal ini tidak terbatas hanya pada saat idul fitri saja.
Adapun tujuannya adalah sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW berikut :
Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati).
Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi.
Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya. (HR. Al Bukhori)
Banyak hadits yang sangat mementingkan makna halal bi halal atau menjaga silaturahmi dan saling memaafkan, diantaranya adalah :
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Nabi Muhammad SAW bersabda : Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Nabi Muhammad SAW bersabda : Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi (HR. Al-Bukhari).
Nabi Muhammad SAW bersabda : Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah. (HR. Tirmidzi)
Bagi masyarakat Indonesia, Idul Fitri dan Halal bi Halal bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan; saling berkelit kelindan mempercantik nuansa masing-masing.
Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar'i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh syariat.
Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar'inya masih perbedaan pandangan sifatnya positif kasalahan ukhuwah Islamiah di kalangan ulama, karena ia merupakan produk asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya.
Ada sementara kalangan yang enggan menamainya dengan istilah Halal bi Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatika bahasa Arab tidak benar. Bahkan ada sementara kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah kegiatan saling memafkan, dengan alasan bahwa mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara syariat (bid'ah).
Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan.
Tulisan sederhana ini akan sedikit menelisik kembali esensi Halal bi Halal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang.
Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.
Sangat sulit menentukan awal mula tradisi Halal bi Halal ini digelar.
Drs H Ibnu Djarir menulis bahwa sejarah dimulainya Halal bi Halal ada banyak versi.
Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu.
Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI.
Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, hemat penulis, istilah Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan.
Meskipun istilah ini asli made in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic.
Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut.
1. Pertama Halal bi Halal menjadi : thalabu halâl bi tharîqin halâl, mencari kehalalan dengan cara yang halal.
2. Kedua, halâl yujza'u bi halâl, kehalalan dibalas dengan kehalalan.
Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini, sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata (QS. Al-Maidah: 45).
Dalam referensi redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmâr, menjadi : anna al-nafsa tuqtalu;bi al-nafsi, wa al-'aina tufqa'u bi al-'aini.
Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.
Merujuk kepada keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa.
Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram.
Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.
Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Namun tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan hubungan.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain : menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan, mencairkan yang beku, dan membebaskan sesuatu.
Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya.
Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan teori izhmâr tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah : mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Atau dengan analisis kedua (halâl yujza'u bi halâl) adalah : pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam.
Setiap saat kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Bahkan secara tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali persaudaraan (QS. Muhammad : 22-23).
Rasulullah juga menyabdakan yang artinya, Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi.
Bahkan urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara silaturrahmi ini dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim.
Seperti dalam hadits, Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi (HR. Al-Bukhari). Kegiatan ini juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan duniawi.
Rasulullah menyabdakan, Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, dalam dunia karier pun manusia tak bisa lepas dari ketergantungan relasi dan partner.
Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan.
Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal.
Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi.
Saling maaf memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah).
Utamanya adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya.
Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.
Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya.
Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi keceriaan.
Aktivitas ini sangat indah sebagaimana diisyaratkan,
Surat al-Hajj : ayat 77,
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.
Dan Surat al-A'raf : ayat 199,
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Maka, Halal bi Halal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami.
TRADISI HALAL BI HALAL
Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, umat Islam kini tengah bersuka cita merayakan Idul Fitri.
Meski pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan berdampak pada tradisi lebaran, tapi esensi dari Idul Fitri sebagai momen saling memaafkan tak pernah luntur.
Salah satu tradisi yang lekat dengan perayaan Idul Fitri adalah halal bihalal, yaitu momen untuk berkumpul bersama keluarga besar atau teman semasa sekolah.
Meski berasal dari bahasa Arab, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna esensi dari halal bihalal, karena tradisi tersebut hanya ada di Indonesia.
KH Wahab Chasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pencetus terminologi halal bihalal.
Halal Bihalal Ternyata Hanya Ada di Indonesia.
Halal bihalal menjadi tradisi silaturahmi masyarakat Indonesia ketika Hari Raya Idul Fitri.
Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang selalu dilakukan adalah halal bihalal ke rumah sanak saudara dan kolega. Tradisi ini merupakan ajang silaturahmi untuk bermaaf-maafan serta berbagi cerita kepada para saudara setelah satu tahun kiranya tidak berjumpa.
Istilah halal bihalal ternyata hanya ada di Indonesia ?
Istilah ini bahkan sampai dikaji oleh para pakar dan ulama mengenai maknanya karena sesungguhnya istilah ini tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Hadis. Usut punya usut, istilah ini ternyata memiliki kisah sejarah yang menarik. Mulanya istilah ini disebutkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.
Penyebutan istilah ini dilatarbelakangi atas keresahan Sang Kiai terhadap kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru-baru saja merdeka, namun para elit politiknya justru sedang berseteru. Sekira tahun 1948, Indonesia tengah mengalami pemberontakan yang dilaukan oleh DI/TII dan PKI di Madiun. Para petinggi negara kala itu pun sedang tidak akur.
Lantas, menurut riwayat dari Kiai Masdar, pada pertengahan bulan Ramadan Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara. Ia menyampaikan rasa gelisahnya mengenai situasi politik yang sedang tidak sehat tersebut dan meminta masukan dari Kiai Wahab.
Kiai Wahab lantas memberi saran kepada Soekarno untuk menyelenggarakan silaturahmi dengan para elit politik dan masyarakat karena Hari Raya Idul Fitri hampir tiba. Lantaran kurang setuju dengan sebutan Silaturahim, kemudian Kiai Wahab memberikan istilah lain.
Itu gampang, kata beliau. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu, kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal, jelas Kiai Wahab.
Istilah halal bihalal berangkat dari kalimat 'thalabu halal bi thariqin halal' yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Presiden Soekarno pun menyetujui penyebutan "silaturahmi khusus Idul Fitri" dari Kiai Wahab tersebut.
Kemudian pada perayaan Hari Idul Fitri tahun tersebut, Presiden Soekarno mengundang seluruh kalangan elit politik beserta masyarakat umum untuk datang ke Istana, duduk bersama, berbincang, dan saling memaafkan. Seiring berjalannya waktu ternyata gelaran ini menjadi tradisi yang berketerusan hingga kalangan masyarakat dan dimaknai sebagai acara 'sah' bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri.
Menurut Fathoni Ahmad dalam tulisannya mengenai makna dan filosofi halal bihalal di Indonesia, istilah halal bihalal sejatinya memang istilah khas Indonesia. Di negara lain kita akan sangat sulit menemukan istilah serupa yang menunjukkan silaturahmi di hari raya Idul Fitri tersebut. Fathoni menulis, para pakar sleama ini tidak menemukan penjelasan mengenai halal bihalal dalam Al-Quran maupun Hadis. Istilah tersebut memang muncul secara historis melalui Kiai Wahab untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang mengalami konflik.
Berdasarkan tinjauan bahasa-sebagaimana ditulis oleh pakar tafsir Al-Quran Muhammad Quraish Shihab-, kata halal sendiri diambil dari kata halla atau halala yang memiliki makna antara lain menyelesaikan masalah atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Oleh karena itu, halal bihalal dimaknai sebagai bentuk menyambungkan kembali apa-apa yang terputus.
Selagi masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, apabila masih ada kesalahan yang belum termaafkan maupun dimaafkan, mari direlakan dan diikhlaskan agar tali persaudaraan dengan kerabat tidak terputus dan hidup menjadi lebih damai di kemudian hari.