Oligarki
Oligarki
adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari
golongan atau kelompok tertentu.
Oligarki
adalah upaya politik untuk mempertahankan kekayaan atau kemakmuran.
Hubungan
erat antara upaya politik itu dan demokrasi muncul dalam pola ketimpangan yang
makin dalam di sejumlah negara demokrasi.
Oligarki
terjadi karena adanya sejumlah pengusaha yang telah menguasai kekayaan disuatu negara secara berlebihan.
Mereka
ini semakin kuat karena kepemilikan modal yang besar. Bisnis mereka kemudian
berkolaborasi dengan pengusaha sehingga membentuk jaringan oligarki yang
semakin dalam.
Oligarki
terjadi karena partai politik (parpol) dikendalikan oleh segelintir orang.
Mereka ini kemudian masuk ke pemerintahan dan ekonomi.
Akibatnya
praktik oligarki berkembang dari parpol ke pemerintahan dan bisnis.
Dasar
Standar Internasional Tentang Pemilu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dijabarkan dalam Komentar Umum 25 Komite PBB untuk Hak Asasi Manusia. Tertulis
bahwa Hak untuk Berpartisipasi dalam Penyelenggaraan Urusan Publik, Hak Memilih
dan di Pilih serta Hak atas Kesetaraan Akses dalam Pelayanan Publik.
Hak
asasi manusia, dampak oligarki dalam Pilkada berpotensi mengesampingkan hak-hak
warga negara.
Praktik
oligarki dalam berbagai kesempatan mengurangi bahkan meminggirkan prinsip equal
rights dalam politik yaitu hak politik warga negara akan terbatasi karena adanya
kekuatan tertentu yang menguasai sistem politik. Pemilihan kepala daerah pun
bakal hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki akses dalam kekuasaan
politik dan ekonomi. Dampaknya, hasil dari proses pilkada tersebut akan
melahirkan kebijakan-kebijakan yang condong kepada kaum oligarki.
Oligarki
adalah bentuk kekuasaan di tangan segelintir orang, yang menguasai sumber daya
material (kekayaan), untuk meningkatkan dan mempertahankan kekayaannya.
Oligarki
adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada
sekelompok orang. Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan
kepentingan mereka sendiri.
Menurut
Aristoteles, oligarki, yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi kekuasaan
oleh segelintir orang, merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk. Oleh
karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan
kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang
membutuhkan.
Oligarki
tidak dapat disamakan dengan aristokrasi yang dapat dianggap sebagai
pemerintahan oleh golongan kecil yang benar.
Yang
berkuasa dalam pemerintahan aristokrasi adalah kaum bangsawan yang
berparitisipasi di parlemen beserta dengan raja dan ratu yang dipercayai
sebagai pemimpin oleh karena garis keturunannya.
Walau
memang aristokrasi juga dikendalikan oleh kelompok kecil orang, perbedaannya
dengan oligarki dapat dilihat dari komitmen aristokrat untuk tidak
menyalahgunakan wewenangnya dan memastikan bahwa rakyatnya hidup sejahtera.
Namun, aristokrasi juga dapat berubah menjadi oligarki apabila dipengaruhi oleh
kelompok elitis bangsawan seperti penasehat-penasehat tinggi suatu kerajaan.
Oligarki
sering ditemui di sejarah pemerintahan kuno, semenjak periode 600 BCE.
Kota-kota kecial Yunani merupakan salah satu tempat dimana oligarki berkembang
dan diterima sebagai norma pada saat itu. Contohnya adalah kota Athena dan
Sparta. Ada juga kota Venesia pada abad ke-14 yang ekonomi dan politik
kota-negaranya dikuasai oleh sekelompok bangsawan dengan sebutan patricians
(Sraders, 2019).
Mungkin
contoh kontemporer yang dapat dilihat lebih mudah adalah Soviet Union sebelum
akhirnya pecah menjadi Rusia dan negara-negara kecil lainnya. Rezim komunis
memang seringkali bersifat oligarki karena kelompok kecil diatas biasanya
memiliki agenda tersendiri.
Karena
definisi oligarki yang diberikan oleh Aristoteles sangat sederhana dan samar,
banyak argumen yang dibuat untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang
sebagai oligarki. Pada waktu bersamaan, mudah juga bagi yang tertuduh untuk
menghindari tuduhan tersebut. Maka dari itu, definisi oligarki sekarang harus
dimodifikasi sedemikian rapa agar dapat mencangkup isu-isu kontemporer abad
ke-21.
Professor
Jeffrey A. Winters dari Northwestern University menciptakan definisi baru dalam
bukunya, Oligarchy, yaitu : seseorang dengan dana yang cukup untuk melindungi
wealth defense industry atau“industri perlindungan kekayaan.
Contoh
dari industri ini dalam konteks kontemporer adalah pengacara, akuntan,
lobbyists, konsultan, dan agen-agen lain yang dapat disewa untuk membantu
seseorang yang kaya menghindari kewajiban pajaknya (Mayer, 2016).
Aspek
oligarki yaitu :
1.
Terlahir
dari ketidaksetaraan ekonomi yang ekstrem, basis kekuasaan oligarki adalah
kekayaan.
2. Politik pertahanan kekayaan.
3.
Adanya
fusi antara kekuasaan bisnis dengan kekuasaan politik.
Dampak
yang timbul adanya oligarki
1.
Oligarki
hanya menggunakan politik sebagai alat pertahanan kekayaan (wealth defense).
Pertahanan kekayaan ini ada dua aspek, mempertahankan harta benda (property
defense) dan mempertahankan pendapatan (income defense). Mempertahakan harta
benda dilakukan dengan menciptakan hukum yang melindungi kepemilikan pribadi
dan hak menumpuk kekayaan. Sedangkan mempertahankan pendapatan dilakukan dengan
mencegah pajak yang merugikan kaum kaya, mengurangi biaya tenaga kerja (upah,
tunjangan, dan jaminan sosial), dan mengalihkan biaya sosial/ekologi bisnis
pada negara dan masyarakat.
2.
Tujuan
oligarki adalah mempertahankan dan meningkatkan kekayaan. Sehingga kekayaan
semakin menumpuk di tangan segelintir orang. Dengan demikian, oligarki inheren
dengan pelestarian ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
3.
Oligarki
merusak negara hukum. Sebab, dalam tatanan oligarkis, ada orang yang lebih kuat
dan lebih tinggi dari hukum.
Di
Indonesia, oligarki baru muncul di zaman Orde Baru. Saat itu ada pembukaan
ekonomi, yang mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam alam kapitalisme
global.
Proses
itu memberi ruang bagi tumbuhnya kapitalis domestik. Sayangnya, alih-alih
tumbuh karena semangat kewirausahaan yang kuat, mereka tumbuh karena ada
sokongan politik dari penguasa Orde baru.
Berkat
berbagai fasilitas dari pemerintah kala itu, seperti seperti lisensi, kredit,
subsidi, bahkan perlindungan, pelan-pelan bisnis para kapitalis domestik itu
mulai menggurita.
Sebagian
besar kapitalis domestik itu bergerak di sektor ekstraktif, terutama
pertambangan dan kehutanan. Tahun 1970-an, ada booming minyak. Lalu, di tahun
1980-an, ada booming kayu. Alih-alih memberi pijakan bagi penguatan ekonomi
Indonesia, misalnya mendorong industrialisasi, dua momentum itu justru
menguatkan oligarki.
Berkah
minyak dan kayu, yang mengalir ke pundi-pundi negara, justru banyak dinikmati
oleh segelintir pengusaha yang mengumpul di sekitar Orde Baru. Inilah momentum
bangkitnya oligarki Indonesia.
Ditambah
lagi, dua hal yang mestinya menghalangi pertumbuhan oligarki, yaitu mobilisasi
rakyat dan supremasi hukum, mengalami pelemahan. Pasca 1965, gerakan rakyat
ditindas. Politik mobilisasi dimatikan lewat depolitisasi dandeorganisasi.
Sementara hukum tak pernah lebih tinggi dari penguasa Orba dan kroninya.
Sebagian
besar oligarki Indonesia hari ini masih warisan Orde Baru. Reformasi tahun 1998
tak berhasil menjinakkan mereka untuk tunduk pada supremasi hukum.
Kalaupun
ada wajah baru, itu lantaran ada model bisnis baru yang berkembang. Kalau
sekarang, misalnya, bisnis yang terkait dengan teknologi informasi.
Tapi,
pijakan oligarki Indonesia dari zaman Orba hingga sekarang tak banyak berubah:
ekstraktivisme (ekstraksi sumber daya alam, lalu diekspor dalam bentuk mentah
ke pasar dunia).
Hampir
separuh dari 50 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes hanya berasal dari
sawit, batubara dan kayu/kertas. Bisa disimpulkan, oligarki Indonesia adalah
oligarki ekstraktif.
Sektor
ekstraktif ini tak menciptakan nilai-tambah. Agar bisa menghasilkan profit yang
melimpah, mereka mereka membutuhkan mekanisme-mekanisme politik untuk
menurunkan biaya eksplorasi dan eksploitasi, mengurangi beban pajak, hingga
mendapatkan kuota ekspor yang lebih banyak.
Karena
itu, konglomerat di sektor ekstraktif ini selalu membutuhkan politik
(kapitalisme kroni). Untuk kaya raya, mereka membutuhkan politik untuk
meningkatkan dan mempertahankan kekayaannya.
Ada
beragam faktor yang menguatkan oligarki dalam menguasai politik kita
1.
Politik
yang makin transaksional dan bergantung pada uang. Dengan kekuatan kekayaannya,
oligarki bisa membeli partai dan politisi, menentukan kandidat dan agenda
politiknya, hingga membeli suara pemilih.
2.
Melemahnya
kekuatan mobilisasi rakyat dan absennya kekuatan politik progressif, sehingga
tidak ada kekuatan yang menentang dominasi dan agenda politik oligarki.
3.
Absennya
negara hukum. Hukum harusnya menjadi alat untuk menciptakan keteraturan
berbasis keadilan. Dan karena itu, supremasi hukum seyogianya bisa menjinakkan
kekuasan dan orang-orang kuat di dalam masyarakat. Aturannya bisa menghalangi
berbagai bentuk penyimpangan dan pelanggaran, seperti korupsi, maladministrasi,
dan pelanggaran HAM.
Oligarki
akan menghilang kalau masyarakat bisa lebih setara, baik secara politik maupun
secara ekonomi. Dan agar masyarakat lebih setara, negara ini perlu menjalankan
agenda politik redistribusi.
1.
Redistribusi
kekayaan, seperti pajak yang berkeadilan dan reforma agraria.
2.
Redistribusi
kesempatan agar setiap warga punya peluang yang sama untuk berkembang maju. Ini
dilakukan lewat investasi sosial untuk perbaikan layanan dasar agar bisa
diakses semua warga: pangan, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan
lain-lain.
2. Ristribusi kesempatan juga meliputi
kesempatan yang sama dalam berusaha. Dalam hal ini, harus ada dukungan terhadap
pelaku usaha UMKM agar mereka punya peluang untuk berkembang.
Model
ekonomi yang selama ini jadi ruang tumbuh-kembangnya oligarki, yaitu ekstraktivisme,
harus dirombak habis-habisan. Tak boleh lagi ada barang yangdiekspor dalam
bentuk mentah. Semua harus melalui proses pengolahan
Praktik
Oligarki di Indonesia karena para pembuat keputusan dari kalangan pemerintah
memiliki kekuasaan, jaringan, dan keahlian. Sehingga kebijakan yang mereka buat
akan sulit ditentang oleh elit-elit lain yang tidak memiliki faktor pendukung
tersebut. Adanya praktik oligarki di Indonesia karena terjadinya disfungsi
demokrasi. Oligarki yang kemudian mengendalikan birokrasi. Sedangkan birokrasi
adalah aspek yang mengambil kendali strategis, menegakkan hukum dan mewakili
kebutuhan negara.
Solusinya
untuk mengurangi praktik oligarki dengan cara :
1.
Mendorong
pendidikan di kalangan sipil. Hal ini dikarenakan partai politik akan melakukan
regenerasi dan dibutuhkan kandidat-kandidat dengan edukasi tinggi untuk dapat
mengurangi praktik oligarki tersebut.
2.
Solusi
lainnya dengan cara mengubah sistem partai politik dan pemilu di Indonesia.
Teori
hukum besi oligarki Robert Michels dan patron-client. Hasil penelitian ini
menunjukkan beberapa temuan sebagai berikut :
1. Oligarki
terjadi diperlihatkan dalam pengutamaan kepentingan elite. Pengutamaan
kepentingan elite ditunjukkan dengan pilihan-pilihan politik strategis partai
yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan.
2.
Oligarki
terjadi dengan dominasi elite politik, intervensi kuat dan dominasi komunikasi
politik antar elite partai.
3.
Beberapa
penyebab terjadinya oligarki, yakni :
a.
Kebutuhan
yang mendesak akan kepemimpinan.
b.
Organisasi
yang semakin birokratis.
c.
Keunggulan
elite yang mengakibatkan kesenjangan kapabilitas kader.
d.
Perubahan
psikis pemimpin partai.
e.
Penguasaan
atas pendanaan partai.
f.
Patronase
oleh elite partai, dan ketidakmampuan massa.
4. Implikasi atas terjadinya kepemimpinan oligarkis adalah resistensi oligarki yang berakibat pada konflik internal partai politik.
Oligarki
adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang
oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan,
keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa
Contoh
negara-negara oligarki :
1.
Uni
Soviet.
Di Uni Soviet saat rezim Stalin, hanya
anggota Partai Komunis yang mendukung birokratisasi Stalin saja dapat memegang
jabatan pemerintahan, sisanya disingkirkan atau dibunuh dengan kejam.
2.
Aparteid
Afrika Selatan.
Di Afrika Selatan sebelum 1994,
orang-orang minoritas berkulit putih memerintah secara oligarki atas mayoritas
penduduk Afrika Selatan berkulit hitam. Politik rasisme ini secara resmi pada
1948 disebut aparteid.
Kritik
konstruktif sebagai moral etis itu adalah bentuk tanggung jawab masyarakat peduli bangsa dan negara Indonesia bersama elemen bangsa terkait dalam membantu menata arah kiblat politik pemerintahan di dalam aspek HAM dan
sumber daya alam yang tergerus oleh oligarki sehingga semakin melenceng dari
jiwa pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Mudah-mudahan
perbaikan di negara ini bisa kita lakukan dengan sentuhan moral, rasional,
suara rakyat yang dijiwai dengan norma-norma dan kebangsaan dengan keprihatinan
sosial.