POLITIK BERMARTABAT
Dikutip
dari Undang-Undang Dasar 1945, berikut bunyi Pasal 27 UUD 1945:
(1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)
Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
(3)
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Tujuan
pendidikan politik adalah untuk memberikan pedoman kepada masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
pancasila dan UUD 1945, memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk
mengembangkan bakat, kemampuan dan kemandirian serta kedewasaan dan pencapaian
prestasi dalam penyelenggaraan kehidupan politik dan kenegaraan dan untuk
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pentingnya
pemahaman etika dan budaya politik dikarenakan beberapa hal antara lain belum
optimalnya implementasi budaya politik demokratis berdasarkan pancasila, masih
terdapatnya fanatisme kedaerahan yang sempit, masih lemahnya penghayatan
kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masih kurangnya sikap
keteladanan dalam berprilaku dan merosotnya nilai-nilai kebangsaan. Etika politik
merupakan kemampuan membedakan tindakan baik dan buruk yang berasal dari
kesadaran nilai moral (suasana bathin yang terdapat dalam individu).
Dikutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik Niccolo Machiavelli. Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama, tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan. Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis.
Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, baik legislatif, yudikatif, esekutif.
Menjalankan
praktek nganthok (jilat atas), memplokotho
(injak bawah) cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam
masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada
sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo
anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi
merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang
dalam pasar kuasa.
Kedaulatan kepemimpinan
Lazimnya
martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-aset. Berapa
rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya? Tidak atau kurang
mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang bermartabat, maka juga kurang
disegani dan seolah tanpa busana. Selama dikaitkan dengan pemilikan material
macam itu, martabat disempitkan menjadi kekuasaan atau bahkan kekerasan belaka.
Ada jiwa kerdil yang bersembunyi di belakang segala lencananya.
Dalam
politik menunjukkan hal berbeda. Martabat dalam politik tak semata-mata
terletak pada status atau atribut sang pemimpin, tetapi pada keagungan
sikapnya. Keagungan itu menyembul keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan
kekuatan karakternya. Karakter kepemimpinan seperti ini nyaris punah dalam
masyarakat kita ditelan gelombang konsumtivisme dan oportunisme.
Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap dihubungkan dengan kebengisan itu. Jika perlu menghabisi nyawa seseorang, dalamk tulisan Machiavelli, lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya. Dalam takaran Machiavelli, kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati, tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat memalukan.
Mengapa
korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin ?
1.
Pertama,
pencuri kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual
keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok dan
penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak.
2.
Kedua,
politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik kedaulatan itu
sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan. Ketika politik berubah
menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak diperlukan lagi karena yang
terpenting bukan dirinya, tetapi harga keputusannya. Karena itulah, Machiavelli
tidak pantang kebengisan asal plus harga diri karena kebengisan bisa
menampilkan karakter dan kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter
kepemimpinan.
TEORI bare life ke good life
Tentu
Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik hanya terletak
pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa politik seseorang
bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa keputusannya tidak bisa dibeli,
melainkan juga bahwa ia memiliki keutamaan yang membangun kehidupan bersama,
seperti keadilan, kearifan, dan solidaritas sosial.
Mengacu
pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat dari sekadar
hidup belaka (bare life) menjadi hidup yang baik (good life). Martabat politik
sang pemimpin memancar dari keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam
menggerakkan suatu kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan
menghasilkan hukumnya sendiri. Itulah hidup yang baik.
Manusia
menjalani hidup belaka apabila tidak ada hukum yang melindunginya, tanpa hak
dan tanpa martabat, sehingga ia secara konstan berada dalam keadaan darurat. Di
mana kita dapat menemukan manusia yang menjalani hidup belaka?
Hannah
Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben menunjuk pada
penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-tempat itu manusia
memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek permainan kekuasaan belaka. Tak
terlindung hukum, tahanan boleh dibunuh tanpa alasan. Baik hidup publik maupun
privat para tahanan itu dirampas dari mereka. Yang mereka miliki hanya hidup
belaka. Mereka diempaskan ke dalam keadaan darurat yang konstan.
Dalam
kadar berbeda-beda, hidup belaka dijalani oleh penduduk di tanah-tanah jajahan,
pengungsi, minoritas yang didiskriminasikan, korban pelanggaran HAM, serta
mereka yang hak-haknya diabaikan dan menjadi permainan kekuasaan. Kehidupan
kaum marjinal menyingkapkan kepada kita bahwa keadaan darurat telah jadi aturan
harian bagi mereka. Namun, hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara
alamiah. Hal itu adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang mengubah
politik menjadi sekadar alat kesintasan.
Ketika
keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu sendiri
kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang yang menganga di
antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya dengan serta-merta berubah
menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan rakyat ke dalam hidup belaka.
Zona
itulah tempat yang sangat rentan untuk kesewenangan permainan kekuasaan.
Percaloan, mafia, dan premanisme yang merajalela di birokrasi, peradilan, dan
parlemen melemparkan rakyat ke dalam keadaan darurat yang konstan. Wajah mereka
kita saksikan di mana-mana. Suatu politik yang bermartabat menyangkut
upaya-upaya penuh keutamaan untuk mengubah hidup belaka menjadi hidup yang
baik.
Para
tokoh pergerakan kemerdekaan kita, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang
bermartabat, yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana pun.
Perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis untuk
memartabatkan rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup belaka menjadi
hidup yang baik. Di zaman kita, ketika keputusan para pejabat publik
dijualbelikan dan banyak anggota masyarakat kita menjalani hidup belaka karena
menjadi permainan kekuasaan, contoh politik berintegritas, berkarakter, dan pro-rakyat
yang memancar menjadi normatif.
Hanya
politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut bermartabat. Sebaliknya,
untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu lagi merampas atau mengabaikan
hak-hak rakyat demi kepentingan sendiri, yaitu politik yang menjerumuskan
rakyat ke dalam hidup belaka, tidak ada sebutan lain selain maaf, agak kasar politik
keparat para bajingan yang lemah karakter. Politik macam itu bahkan kiranya
akan dikritik oleh Machiavelli sebagai
tidak gagah.
BUDAYA
POLITIK
Pembangunan
kebudayaan merupakan langkah strategis dalam pengembangan politik bangsa.
Karena budaya dapat menjadi kontrol terhadap politik ketika pada praktiknya
menanggalkan martabat dan integritas manusia.
Kebudayaan
mengandung pola perilaku sosial masyarakat dan politik merupakan salah satu
bagian dalam dinamika kebudayaan. Sehingga pengembangan budaya diharapkan mampu
mempengaruhi pembangunan politik menjadi lebih baik.
Pancasila
sebagai norma dasar merupakan wajah kebudayaan Indonesia yang memungkinkan
pelestarian identitas kelompok, sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas
keindonesiaan warganya.
Setiap
dinamika bernegara, termasuk berpolitik
dalam konteks Indonesia mesti bertolak dari sumber nilai dan norma utama
kemanusiaan dan kebudayaan Indonesia.
Di
tengah arus modernisas, politik cenderung
mengesampingkan nilai kemanusiaan. Padahal, tambahnya, dinamika manusia
di setiap sektor kehidupan selalu berorientasi untuk kebaikan manusia, untuk
kesejahteraan masyarakat, untuk mencapai
cita-cita bersama. Kesadaran mutlak perlu ditanamkan kepada setiap warga negara
bahwa budaya merupakan representasi
seluruh diri manusia Indonesia yang utuh dan politik adalah cara untuk menempatkan manusia Indonesia pada
kedudukan tertinggi melalui semangat
politik kebangsaan.
Budaya,
harus memiliki peran yang dapat menyatukan masyarakat. Artinya bahwa, partai
politik yang memiliki peran langsung atau tidak langsung harus memperhatikan
perkembangan budaya di Indonesia dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang
memungkinkan budaya berkembang dengan baik.
Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan, sebagai salah satu produk politik dalam bentuk kebijakan
yang bertujuan mendorong pelestarian kebudayaan yang kita miliki. Ada objek budaya yang diamanatkan untuk
diperhatikan antara lain soal adat istiadat, manuskrip, olah raga tradisional,
bahasa dan ritus.
Partai
politik secara internal harus mampu membangun budaya politik sesuai visi dan
misi landasan negara.
Partai
politik juga harus mampu merumuskan dan memperjuangkan politik kebudayaan dan
strategi kebudayaan Indonesia yang telah ditetapkan.
Kejaiban
budaya global yang berujung pada krisis
identitas anak bangsa disebabkan proses akulturasi yang memunculkan budaya
baru. Terjadi karena akar budaya anak bangsa yang belum kuat dan tidak siap
sehingga terkikis oleh nilai-nilai budaya baru yang muncul. Membangun kebudayaan adalah bagian dari
membangun peradaban. Kearipan budaya menguat karena lebih dekat dengan
masyarakat.
Menghadapi
perkembangan kebudayaan global yang cepat seiring kecepatan perkembangan
teknologi informasi, perlu politik kebudayaan dengan politik anggaran yang kuat.