UJARAN KEBENCIAN
Ujaran kebencian (hate speech) bisa berarti tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain. Ujaran kebencian biasanya menyangkut aspek ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Sedangkan dalam arti hukum Ujaran Kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong. Pidana terhadap ujaran kebencian dilakukan karena tindakan itu bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik social.
Pengertian ujaran kebencian menurut institusi Polri, bentuk ujaran kebencian antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong, yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Kemajuan teknologi yang berkembang dengan sangat pesat tidak hanya membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat tetapi tidak sedikit menimbulkan dampak negative. Kemudahan kebebasan berpendapat dengan mengandalkan teknologi membawa perkembangan baru dalam jenis-jensi kejahatan yaitu munculnya ujaran kebencian atau hate speech yang dilakukan di media social baik berupa ketikan maupun video. Hal demikian apabila tidak diatur lebih lajut maka akan sangat mengkhawatirkan, masyarakat akan nkelewatan batas dan akan menimbulkan ketidaknyamanan atau perasaan tersinggung pada seseorang atau kelompok tertentu. Hukum pidana sudah pasti telah memperhatikan konsekuensi yang akan dihadapi seseorang baik yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindak pidana ujaran kebencian ini. Dalam artikel ini akan membahas bagaimana hukum pidana memandang kejahatan ujaran kebencian atau hate speech ini dan akan dibahas juga mengenai bagaimanakah system pembuktian dalam tindak pidana ujaran kebencian ini. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normative yang mana dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana ujaran kebencian. Hasil dan pembahasan yang didapat adalah Apabila kita melihat dalam KUHP dan peraturan perundang-udangan lain sudah dijelaskan
beberapa pasal yang dapat dikenakan terhadap seseorang yang melakukan ujaran kebencian atau hate speech. Pasal-pasal yang mengatur tindakan tentang Ujaran Kebencian terhadap seseorang, kelompok ataupun lembaga berdasarkan Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015 terdapat di dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, pasal 311,
kemudian Pasal 28jis. pasal 45 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik dan
pasal 16 UU No 40 Tahun 2016 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan pembuktian yang dilakukan
untuk memeriksa tindak pidana ujaran kebencian ini tetap berdasarkan dengan alat-alat bukti yang diatur dalam
KUHP.
MENGUNGAH UJARAN KEBENCIAN ADA SANKSINYA
Peristiwa yang menyeret pengguna medsos mengingatkan kita untuk berhati-hati berkomentar, baik secara langsung di depan forum, media sosial, maupun media elektronik.
Beberapa kelompok masyarakat pun menggiring kasus ujaran kebencian ke kepolisian.
Cara penyampaian ujaran kebencian yang dilaporkan ke kepolisian pun beragam. Ada yang melalui pernyataan langsung, di depan forum, media sosial, maupun media elektronik.
Menyinggung sekelompok orang berakibat bisa terancam hukuman penjara selama 10 tahun.
Pengguna media sosial harus berhati-hati. Sebab, apapun yang warganet unggah di akun media sosial pastinya mendapat perhatian, baik dari sesame pengguna media sosial maupun kepolisian. Bahkan, kepolisian berbekal Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 dapat menindak warganet yang mengunggah ujaran kebencian di akun masing-masing maupun di media elektronik, atau di depan forum.
Ujaran kebencian dapat mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, dan kekerasan, tertulis dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015.
Bahkan, hanya bermula dari sebuah unggahan, dampak paling buruk berpotensi terjadi yaitu pembantaian. Tentunya hal itu dapat merusak kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Dalam KUHP, ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Warga yang merasa menjadi korban dapat melaporkan hal tersebut ke kepolisian.
Penyidik dapat menerapkan aturan dalam KUHP Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, maupun Pasal 311. Ancaman hukuman untuk orang yang menyebarkan ujaran kebencian yaitu paling lama empat tahun.
Hukum Indonesia juga memiliki Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2), orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan dapat dipidana penjara paling lama enam tahun.
TINDAKAN PIDANA UJARAN KEBENCIAN MENINGKAT
Ikutip dari Pusiknas Bareskrim Polri,
Polri bekerja sama dengan berbagai pihak berupaya menjaga dan menciptakan keamanan serta kenyamanan masyarakat Indonesia. Salah satunya kenyamanan berpendapat dan penggunaan media sosial. Jangan sampai, kebebasan berpendapat dapat berujung pada ketidaknyamanan, kerusuhan, kebencian, bahkan huru hara.
Salah satu yang diantisipasi kepolisian dari penggunaan media sosial adalah unggahan yang merujuk pada ujaran kebencian. Terlebih, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta jiwa per Januari 2022, atau setara dengan 68,9 persen dari jumlah total warga Indonesia.
“Itu sebagai perbandingan dengan jumlah penduduk Indonesia kini mencapai 277,7 juta jiwa hingga Januari 2022,” demikian tertulis dalam artikel berjudul Jumlah Pengguna Media Sosial Indonesia Capai 191,4 Juta per 2022.
Di lain sisi, jumlah tindak pidana ujaran kebencian meningkat. Mulai Januari hingga Mei 2022, data dari Robinopsnal Bareskrim Polri menunjukkan kepolisian menindak 33 kasus ujaran kebencian. Penindakan paling banyak terjadi pada Januari 2022 yaitu 10 kasus. Sedangkan satuan kerja yang melakukan penindakan paling banyak yaitu Polda Sumatra Utara sebanyak 8 kasus.
Jumlah tersebut empat kali lebih banyak dibandingkan penindakan yang dilakukan kepolisian pada Januari sampai Mei 2022 yaitu dua perkara. Hanya Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya yang melaporkan menindak kasus ujaran kebencian di rentang waktu tersebut.
Bila merujuk pada data Robinopsnal, jumlah tindak pidana ujaran kebencian dari tahun ke tahun cenderung menurun. Pada 2019, kepolisian menindak 104 perkara. Angka tersebut menurun pada 2020 menjadi 53 perkara. Lalu di 2021, jumlah penindakan menjadi 14 perkara.
Laporan mengenai ujaran kebencian lebih banyak dilaporkan dan ditindak Bareskrim Polri. Namun jumlahnya menurun dari 2019 ke 2021.
Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pusiknas Bareskrim Polri juga memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).
UJARAN KEBENCIAN BERAKIBAT GENERASI MUDA MENJADI INTOLERAN DAN DISKRIMINATIF
Dikutip dari peneliti Maarif Institute Khelmy K. Pribadi menuturkan bahwa konten negatif yang menyebar di media sosial berupa ujaran kebencian, berita bohong dan sentimen bernada SARA (suku, ras dan agama), berdampak besar pada pola pikir maupun sikap generasi muda, terutama di tingkat Sekolah Menengah Atas.
Menurut Khelmy, seorang remaja yang sering terpapar konten negatif cenderung memiliki sikap yang intoleran terhadap orang-orang dengan latar belakang berbeda.
" Ujaran kebencian memiliki dampak yang besar bagi anak-anak muda untuk bertindak intoleran. Konten negatif di internet itu sangat menunjang terjadinya tindakan intoleransi dan diskriminasi.
Khelmy mengatakan, menguatnya isu SARA belakangan ini, seperti pribumi dan non-pribumi, mendorong cara pandang yang negatif terhadap perbedaan.
Hal tersebut tentu mengkhawatirkan, mengingat generasi muda telah menjadikan internet sebagai sebagai sumber rujukan utama dalam mencari informasi.
"Isu SARA seperti pribumi dan non pribumi itu punya dampak bagi anak-anak muda dalam memandang orang-orang yang berbeda
Oleh sebab itu Khelmy menilai harus ada upaya lintas sektoral untuk membanjiri internet dan media sosial dengan konten-konten yang positif.
Hal tersebut perlu dilakukan sebagai counter terhadap maraknya penyebaran konten negatif.
Artinya, anak-anak muda harus didorong untuk memproduksi dan membagikan konten positif secara online.
Menurut Khelmy, memperkuat opini dan narasi alternatif oleh generasi muda merupakan cara yang efektif dalam melawan ujaran kebencian.
"Memang perkembangan atau penyebaran konten positif memang tidak sepesat penyebaran konten negatif.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang tahun 2017 tercatat ada 13.829 konten negatif berupa ujaran kebencian yang marak di media sosial, 6.973 berita bohong dan 13.120 konten pornografi.
Selain itu, hingga 18 September 2017 terdapat 782.316 situs yang telah diblokir oleh pemerintah.
Multitafsir.
Dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 2, setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ujaran kebencian mencakup spektrum yang luas, mulai dari ucapan kasar terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan bias yang ekstrim, sampai hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.
Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan multitafsir.
1. Pertama, frase menyebarkan informasi.
Sejauh mana suatu informasi harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini ?
Apakah terbatas pada penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa pun ?
Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat ? Atau termasuk juga penyampaian informasi dalam grup chat privat ?
2. Kedua, standar rasa kebencian.
Menurut Robert Post, profesor hukum di Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam buku Extreme Speech and Democracy, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana.
Dengan kata lain, tidak semua ujaran kebencian dapat dipidana.
Dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2, unsur rasa kebencian tidak dijelaskan ukurannya. Ini berpotensi menyamaratakan semua jenis ucapan kebencian tanpa melihat intensitasnya.
Walaupun cakupan ujaran kebencian dapat merujuk ke Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun penegasan tentang ukuran ujaran kebencian yang dapat dipidana masih diperlukan.
KLASIFIKASI JENIS UJARAN KEBENCIAN
Kita bisa merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights atau OHCHR) pada 2012 untuk membedakan antara perkataan yang dilindungi oleh hak mengeluarkan pendapat dan ujaran kebencian dalam media sosial.
OHCHR menyarankan tiga klasifikasi ujaran kebencian, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakan pemerintah.
Penyampaian pendapat yang harus diancam pidana adalah hasutan untuk melakukan genosida, hasutan kekerasan, dan hasutan yang menyerukan kebencian berdasarkan dua peraturan internasional berikut.
Pasal 20 Ayat 2 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mengatur bahwa ajakan kebencian terhadap suatu bangsa, ras, atau agama yang menghasut perbuatan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Pasal 4 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) yang mengatur bahwa setiap Negara Anggota harus melarang segala bentuk propaganda yang didasarkan pada pemahaman yang berusaha untuk membenarkan atau menganjurkan kebencian terhadap ras dan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Indonesia sudah meratifikasi kedua konvensi tersebut, pada 1999 untuk ICERD dan 2005 untuk ICCPR.
Berikutnya, penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata, atau bahkan diselesaikan melalui keadilan restoratif yang menitikberatkan pada peranan pelaku dan korban dalam penyelesaian masalah.
Ujaran kebencian yang termasuk kategori ini adalah ucapan yang mengandung kebencian didasarkan pada Pasal 19 Ayat 3 ICCPR yang mengatur bahwa hak mengeluarkan pendapat dapat dibatasi untuk melindungi hak dan reputasi orang lain, keamanan negara atau ketertiban umum, kesehatan publik, atau untuk kepentingan moral.
Kemudian penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun adalah perkataan yang menurut Post merupakan sekadar bentuk dari sifat intoleransi dan perasaan tidak suka yang dimiliki seseorang.
Penyampaian pendapat yang demikian kurang tepat untuk diatur dalam ranah hukum pidana.
Pendekatan yang lebih tepat adalah lewat kebijakan edukasi dan pencegahan misalnya dengan advokasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan censorship yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media.
MENGHITUNG PROPORSI DAN KEPERLUAN
OHCHR menegaskan bahwa larangan beserta sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau neccessity yang dapat dinilai berdasarkan enam faktor.
Konteks, yaitu suatu ujaran kebencian harus berkaitan dengan konteks sosial atau politik tertentu pada saat ucapan itu dibuat dan disebarluaskan.
Status atau posisi pelaku ujaran kebencian dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan.
Kesengajaan. Merujuk pada Pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens, dalam arti, pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakkan orang lain.
Konten dan bentuk. Artinya, suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan.
Jangkauan ujaran kebencian yang melibatkan penilaian terhadap sifat audiens yang dituju, keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya.
Kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut.
Mengingat bahwa hukum pidana bersifat ultimum remedium atau sarana terakhir, maka pemerintah perlu menyusun ulang kualifikasi dan ruang lingkup ujaran kebencian.
Pemerintah perlu memulai menerapkan pendekatan lain untuk mencegah dan menyelesaikan kasus ujaran kebencian tanpa penyalahgunaan hukum pidana.
PC