POLITIK HITAM
Politik hitam adalah sebuah upaya untuk merusak atau
mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negatif. Hal
ini dapat diterapkan kepada perorangan atau kelompok. Target-target umumnya
adalah para jabatan publik, politikus, kandidat politik, aktivis dan mantan
suami/istri bahkan orang-orang yang menjalin suatu bisnis. Istilah tersebut juga diterapkan dalam konteks lainnya seperti tempat
kerja Istilah politik negatif dan politik hitam (black campaign) kerap muncul
di masa pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sampai pemilihan presiden
(Pilpres). Keduanya mempunyai pengertian dan dampak yang berbeda dari segi
hukum. Seperti dikutip dari laman Fakultas Hukum Universitas Indonesia, politik
negatif biasanya dilakukan dengan mengungkap kelemahan atau kesalahan lawan
politik. Sebagai contoh, politik negatif dalam kontes pemilihan presiden
(pilpres) dilakukan dengan mengumbar data utang luar negeri petahana calon
presiden (capres) oleh pihak lawan. Politik negatif sampai saat ini tidak
dilarang oleh pemerintah. Kandidat atau kelompok yang merasa menjadi sasaran politik
negatif diberi ruang untuk menanggapi dengan memaparkan data valid atau argumen
yang dapat membela posisinya. Sedangkan politik hitam adalah menuduh pasangan
calon atau kelompok lawan politik dengan tuduhan palsu atau belum terbukti,
atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Contoh politik hitam misalnya menuduh
seseorang calon presiden tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau
rasnya. Atau sang calon disebut melakukan kejahatan tertentu di masa lalu yang
tidak bisa dibuktikan. Politik negatif bertujuan untuk memojokkan karakter
seseorang. Sedangkan politik hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter
seseorang dan mengarah kepada tindak pidana. Kemudian dari sisi kebenaran, politik
negatif menggunakan data yang sahih, sementara politik hitam datanya tak sahih
atau mengada-ada. Ancaman pidana yang secara
khusus mengatur larangan politik hitam memang tidak disebutkan secara rinci
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, di dalam
Bagian Keempat Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu huruf a, b, d, dan e disebutkan
hal-hal yang dilarang dilakukan dalam masa politik oleh pelaksana, peserta dan
tim politik. Hal-hal yang dilarang dalam masa politik adalah :
1. Mempersoalkan
dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Melakukan
kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Menghina
seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang
lain.
4.
Menghasut
dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
5.
Mengganggu
ketertiban umum. Sedangkan perbuatan politik hitam melalui media sosial bisa
dijerat melalui Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) Undang-undang nomor 11
tahun 2008 yang diubah melalui UU 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dengan ancaman 6 tahun penjara. Sumber: laman Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
FRASE POLITIK HITAM.
Frase politik hitam dalam bahasa Inggris
(smear campaign) menjadi populer dari sekitar tahun 1936.
Ad hominem (bahasa Latin dari tertuju pada
orangnya), merupakan singkatan dari argumentum ad hominem, adalah sebuah
strategi retorikal di mana seseorang menyerang kesalahan tulis, kesalahan
istilah, kesalahan pemilihan kata, karakter, motif, atau beberapa atribut dari
orang yang membuat argumen ketimbang menyerang substansi dari argumen itu
sendiri. Penalaran ad hominem biasanya dipandang sebagai kesesatan logika atau
bisa juga sebagai suatu bentuk cacat logika yang mana lawan debat kita atau
lawan bicara kita menyerang hal-hal diluar substansi dari tujuan utama sebuah
debat maupun pembicaraan itu sendiri ataupun justru menyerang kepribadian kita.
Hal itu bisa meliputi gender, jenis kelamin, orientasi seksual, suku, ras,
agama, warna kulit, bentuk mata, dan lain semacamnya sehingga debat menjadi tak
substansial serta cenderung menjadi perundungan, penghinaan, caci maki dan
penghujatan.
Contoh dari ad hominem adalah :
-
Carl
Sagan adalah seorang pemakai ganja, maka karya-karyanya ngawur.
-
Jimi
Hendrix meninggal karena overdosis, jadi musiknya jelek.
-
Karena
dia hanya murid, maka semua pernyataannya pasti salah.
-
Otak
kamu pas-pasan, tidak mungkin bisa memahami perkataan saya.
-
Komentar
sendiri, like sendiri, apa Anda gila.
Sejarah
Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf pertama yang
membedakan antara argumen yang menyerang tesis atau menyerang orang lain. Berbagai
jenis argumen ad hominem telah dikenal di Barat setidaknya sejak zaman Yunani
kuno. Aristoteles, dalam karyanya Sophistic Refutations, merinci tentang
kekeliruan saat seseorang menyerang si penanya, bukan argumennya. Banyak contoh
argumen ad hominem kuno yang tidak salah (non-fallacious) dalam karya seorang
filsuf beraliran Pyrrhonist, Sextus Empiricus. Dalam argumen ini, konsep dan
asumsi lawan digunakan sebagai bagian dari strategi dialektis melawan lawan
untuk menunjukkan ketidakseimbangan argumen dan asumsi mereka sendiri. Dalam ad
hominem non-fallacious, argumen ditujukan kepada orang (ad hominem), tetapi
tanpa menyerang sifat individu yang membuat argumen.
Jenis lain dari penalaran ad hominem
Ketika argumen ad hominem dilakukan terhadap sebuah
pernyataan, penting untuk menarik perbedaan apakah pernyataan tersebut
merupakan argumen atau pernyataan fakta (kesaksian). Dalam kasus terakhir isu
kredibilitas orang yang membuat pernyataan tersebut mungkin penting. Doug
Walton, akademisi dan penulis Kanada, menyatakan bahwa penalaran ad hominem
tidak selalu keliru, dan bahwa dalam beberapa kasus, pertanyaan mengenai
perilaku pribadi, karakter, motif, dll, adalah sah dan relevan dengan masalah
ini,[8] seperti ketika secara langsung membicarakan kemunafikan, atau tindakan
bertentangan dengan kata-kata subjek. Filsuf Charles Taylor berpendapat bahwa
penalaran ad hominem adalah penting untuk memahami isu-isu moral tertentu, dan
menganggapnya sebagai lawan dari penalaran apodiktis naturalisme filosofis. Agent
provocateur (bahasa Prancis untuk "agen penghasut") adalah orang yang
berniat, atau bertindak untuk menghasut orang lain untuk melakukan tindakan
ilegal atau tindakan mencolok atau secara salah menempatkan mereka dalam
tindakan ilegal. Seorang agent provocateur bertindak atas kehendaknya sendiri
atau dibantu oleh polisi atau pihak lain untuk mendiskreditkan atau mencederai
kelompok lain (seperti protes damai atau unjuk rasa) dengan memprovokasi mereka
untuk melakukan kejahatan, sehingga merusak protes atau unjuk rasa tersebut
secara keseluruhan. Sesuai dengan tata bahasa Prancis, bentuk jamak dari
istilah tersebut adalah agents provocateurs; seorang agen perempuan disebut
agente provocatrice. Ikan haring merah (bahasa Inggris: Red herring) adalah
kesesatan logika yang mengalihkan perbincangan dari permasalahan utama untuk
membuat pembaca atau penonton mencapai kesimpulan yang salah. Kesesatan logika
ini masuk ke dalam kelas kesesatan relevansi yang luas. Tidak seperti kesesatan
manusia jerami yang mengubah pandangan lawan agar lebih mudah menyerangnya,
hering merah merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian. Menurut Oxford
English Dictionary, ikan haring merah dapat disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya
adalah kalimat "Saya rasa kita harus membuat penerimaan murid baru lebih
ketat karena kami tidak ingin gaji kami berkurang." Walaupun alasannya
digunakan untuk mendukung usulan dalam kalimat tersebut, alasan tersebut tidak
relevan. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris dan konon dikaitkan dengan
anjing yang teralih oleh bau ikan haring saat berburu. Namun, penelitian bahasa
modern menunjukkan bahwa istilah ini mungkin dibuat oleh William Cobbett dari
Inggris pada tahun 1807. Frasa ini kemudian digunakan sebagai nama resmi suatu
kesesatan logika.
Kegunaan
Dalam fiksi dan non-fiksi, ikan haring merah dapat
digunakan dengan sengaja oleh penulis untuk menanamkan petunjuk palsu yang akan
menyesatkan pembaca atau penonton ke kesimpulan yang salah. Contohnya, karakter
Bishop Aringarosa dari Dan Brown's The Da Vinci Code dipersembahkan pada hampir
seluruh novel seolah olah ia adalah pusat dari konspirasi gereja, tetapi
kemudian diungkapkan bahwa ia secara tidak bersalah telah ditipu oleh antagonis
yang sebenarnya. Nama karakter tersebut adalah terjemahan italia dari ungkapan
ikan haring merah, yaitu aringa rosa. Ikan haring merah seringkali digunakan
dalam ilmu hukum dan pertanyaan ujian untuk menyesatkan dan mengalihkan
perhatian siswa dalam mencapai jawaban yang tepat mengenai masalah hukum.
Maksud dari menyesatkan siswa adalah untuk menguji kemampuan dasar hukum
seorang siswa dan kemampuannya untuk memahami keadaan faktual.
Sejarah asal ungkapan
Ikan harring yang diasinkan dan diasapkan sampai merah,
dikenal sebagai makanan yang memiliki bau yang sangat menyengat. Pada 1807,
William Cobbett menulis tentang bagaimana ia menggunakan bau kipper untuk
melatih anjing pengendus, yang bisa saja adalah asal muasal dari ungkapan
haring merah. Sebenarnya tidak ada spesies ikan haring merah, melainkan ikan
haring merah adalah nama panggilan untuk sebuah kipper, sebuah makanan yang
dibuat dengan cara mengasinkan dan mengasapkan ikan haring. Proses ini
menghasilkan bau ikan yang sangat menyengat. Ikan juga akan berubah bewarna
kemerahan jika kandungan air garamnya cukup kuat. Sampai 2008, asal muasal
ungkapan "haring merah" diduga berasal dari apa yang diduga sebuah
teknik untuk melatih penciuman bau anjing. Terdapat variasi pada cerita ini,
tetapi menurut suatu versi, bau menyengat haring merah diseret sepanjang sebuah
lintasan sampai seekor anak anjing berhasil belajar untuk mengikuti baunya.
Kemudian, ketika anjing tersebut sedang dilatih untuk mengikut bau seekor
musang atau rubah (yang memiliki bau kurang menyengat), pelatih akan
menggabungkan bau ikan haring diatas bau hewan lain tadi untuk membuat anjing
bingung. Pada akhirnya, anjing pun akan mampu mengikuti bau hewan yang kurang
menyengat tersebut. Variasi lain dari cerita ini terdapat pada buku The
Macmillan Book of Proverbs, Maxims and Famous Phrases (1976), dan kegunaan
paling awal dikutip dari buku W.F Butler berjudul Life of Napier, yang
dipublikasikan pada 1849. Pada Brewers's Dictionary of Phrase and Fable (1981),
terdapat kalimat "Drawing a red herring across the path", sebuah
ungkapan yang memiliki arti mengalihkan perhatian dari masalah utama ke masalah
lain. Terdapat lagi variasi yang diberikan oleh Robert Hendrickson (1984) yang
menyebutkan bahwa narapidana yang melarikan diri penggunakan bau ikan menyengat
ini untuk membingungkan anjing pengendus.
Penggunaan di dunia nyata
Meskipun Cobett mempopulerkan penggunaan ungkapan ini
secara figuratif, Cobett bukanlah yang pertama kali dalam menggunakan teknik
melatih anjing menggunakan ikan haring. Pada sebuah pamflet berjudul Nashe's
Lenten Stuffe yang diterbitkan pada 1599 oleh Thomas Nashe, seorang penulis
pada zaman Elizabethan, dituliskan "Next, to draw on hounds to a scent, to
a red herring skin there is nothing comparable." Kamus besar bahasa
inggris Oxford tidak melihat koneksi antara kutipan Nashe dan ungkapan ikan
haring merah untuk mengalihkan perhatian, tetapi lebih ke arah harfiah untuk
berburu menggunakan anjing pengendus. Penggunaan haring untuk mengalihkan
perhatian anjing pengendus telah diujih pada Episode 148 dari serial TV MythBusters.
Anjing yang diuji berhenti sebentar untuk memakan ikan dan kehilangan bau
buronan untuk sementara, tetapi pada akhirnya berhasil menemukan target. Peperangan
psikologis atau perang urat saraf adalah suatu bentuk propaganda ofensif yang
dilancarkan dua atau lebih pihak yang saling bertentangan pendapat. Salah satu
batasan akademiknya adalah "suatu tindakan yang dilancarkan menggunakan
cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi psikologis yang telah
terancang terhadap orang lain. Peperangan psikologis sering kali menjadi bagian
dari taktik perang, termasuk perang gerilya. Jika menjadi bagian dari strategi
perang, peperangan psikologis biasanya menjadi operasi terpisah, dalam istilah
bahasa Inggris disebut PSY-OP (psychological operation). Reaksi psikologis
manusia dianggap sebagai prioritas utama sasaran. Tujuan utama peperangan
psikologis adalah mengubah sikap publik atau lawan agar berkurang tingkat
penentangan atau militansinya. Penggunaan taktik peperangan psikologis tidaklah
melulu dalam peperangan. Politik dalam suatu proses pemilihan umum juga sering
kali menjadi ajang peperangan psikologis di antara tim sukses masing-masing
kandidat. Titik serang paling penting dalam peperangan psikologis adalah
pikiran manusia. Kekalahan dalam berpikir dari manusia dianggap merupakan kekalahan
dari binatang politik tanpa harus melalui sebuah peperangan konvensional yaitu
dengan penggunaan peluru. Perang politik lahir dan berkembang di lingkungan
politik secara konstan pada kelompok masyarakat secara kolektif yang merupakan
"lingkungan" dalam dan tempat yang tepat bagi perang gerilya politik.
Operasi psikologis dalam perang politik dianggap menjadi faktor yang menentukan
untuk memengaruhi target sistem tata nilai pemirsa, sistem kepercayaan, emosi,
motif, pemikiran, dan perilaku. Sasaran (pemirsa) dalam operasi psikologis bisa
jadi pemerintah, organisasi, kelompok, dan individu dengan menggunakan
teknologi informasi dalam memperkuat sikap dan perilaku, sasaran bisa jadi
pemula atau kadang-kadang kombinasi. Politik pecah belah, politik adu domba,
atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi
yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok
besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam
konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil
untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang
yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol,
Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi
dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah
tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan,
sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun
lebih menjadi strategi Politik kekuasaan.
Teknik
Unsur-unsur yang dijadikan teknik dalam politik ini
adalah :
1.
Menciptakan
atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa
menentang kekuasaan berdaulat.
2.
Membantu
dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang
berdaulat.
3.
Mendorong
ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat.
4.
Mendorong
konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.
Politik pecah belah di Indonesia
Politik pecah belah termasuk strategi yang digunakan oleh
penjajah kolonial Belanda mengadu domba antara kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan anggota-anggota kerajaan (pangeran-pangeran) yang tidak puas dengan
pemerintahan raja kerajaan-kerajaan tersebut.
Politik pecah belah di Jawa
Belanda (VOC) menjalankan politik pecah belah antara lain
di Kesultanan Mataram dengan hasil Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743,
Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kesultanan Mataram antara Surakarta dan
Yogyakarta, Perjanjian Salatiga (1757) yang membagi Surakarta dengan
Mangkunegaran, serta Perjanjian 1813 (dengan pemerintah Inggris) yang membagi
Yogyakarta dengan Pakualaman. Selain itu perjanjian yang lain di antaranya
adalah Perjanjian Cirebon 1688 yang membagi-bagi Kesultanan Cirebon.
Awal kemerdekaan Indonesia
Untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945, politik pecah belah juga
menjadi alat memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan
untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar
menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai. Pada 1947-1948
Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap
beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, diantaranya Negara Indonesia Timur
(sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara
Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur. Pada Perang Dunia II, Jepang
mengakui kalah dari tentara sekutu
dengan pemboman kota Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Setelah
Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian
memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan
kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke
Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 rombongan Belanda, perwakilan sekutu
berlabuh di Tanjung Priok. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA
(Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda)
yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka
perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942
(statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan). Terjadi kekosongan
pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh
karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap
Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus
1945. Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni
penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta,
ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan
Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi
militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.
Agresi Belanda I dan II
Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih
mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu
bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia
(NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda
dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang-
Merauke.
Perjanjian Linggarjati 1946
Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat,
dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak
Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan
Indonesia secara de Facto.[5] Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui
Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.
Agresi Militer Belanda I 1947
Pada 21 Juli 1947, Wakil Gubernur Jenderal Belanda
Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku
lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer
Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947.[6] Belanda menamakan operasi
militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan
dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah
perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama
minyak.
Perjanjian Renville 1948
Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika
Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara
Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17
Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral
USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.[7] Hasil dari
perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan
sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah,
Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah
pendudukan.
Agresi Militer Belanda II 1948
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan
senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya[8]
kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan
melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa
tokoh lainnya.
Konferensi Meja Bundar 1949
Akibatnya, Amerika Serikat kembali menekan Belanda untuk berunding dengan
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November
1949,[9] terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia,
termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk
mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda
menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari
Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan
dibahas setahun kemudian, yakni 1950.
Negara Bagian Indonesia Timur
(Papua) di Indonesia
Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.[10] Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950.Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua. Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961. Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada tahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua. Taktik salami, juga dikenal dengan nama strategi potongan salami, adalah teknik memecah belah lewat ancaman dan persekutuan yang dilakukan untuk menjatuhkan oposisi. Dengan menggunakan taktik ini, panggung perpolitikan didominasi secara perlahan. Jika seorang penguasa berupaya menyingkirkan oposisi dengan kekerasan, hal tersebut akan menimbulkan perlawanan. Namun, dengan menggunakan taktik salami, suatu faksi politik dapat memicu perpecahan di tubuh partai politik lawan dan kemudian menghancurkan partai itu dari dalam tanpa menimbulkan protes dari mereka. Taktik ini berhasil jika pelakunya berhasil menyembunyikan agenda jangka panjang mereka dan tetap terlihat bekerjasama dan membantu. Istilah "taktik salami" bahasa Hongaria: szalámitaktika) diciptakan pada akhir tahun 1940-an oleh pemimpin Partai Komunis Hongaria, Mátyás Rákosi, untuk mendeskripsikan strategi partai tersebut. Rákosi mengklaim bahwa ia berhasil menghancurkan partai non-komunis dengan "memotong-motong mereka seperti salami." Dengan menggambarkan musuh-musuhnya sebagai bagian dari kelompok fasis (atau simpatisan fasis), ia berhasil menghancurkan oposisi di sayap kanan, dan lalu oposisi dari kelompok sentris, dan kemudian orang-orang dari sayap kiri yang lebih berani hingga hanya kelompok komunis yang tersisa. Ucapan kebencian atau ujaran kebencian (Inggris: hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku, pernyataan tersebut, atau korban dari tindakan tersebut. Situs yang menggunakan atau menerapkan hate speech ini disebut hate site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas sudut pandang tertentu.
Para kritikus berpendapat bahwa istilah hate speech
merupakan contoh modern dari novel Newspeak, ketika hate speech dipakai untuk
memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang
diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut
terlihat benar secara politik. Sampai saat ini, belum ada pengertian atau
definisi secara hukum mengenai apa yang disebut Hate speech dan pencemaran nama
baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik
diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander),
fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah
untuk membedakan ketiga kata tersebut
Undang-undang tentang hate
speech
Hampir semua negara di seluruh dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hate speech. Contohnya adalah Britania Raya, pada saat munculnya Public Order Act 1986 menyatakan bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindakan kriminal adalah ketika seseorang melakukan perbuatan "mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan" terhadap "warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis". Di Brazil, negara mempunyai konstitusi yang melarang munculnya atau berkembangnya propaganda negatif terhadap agama, ras, kecurigaan antarkelas, dll. Di Turki, seseorang akan divonis penjara selama satu sampai tiga tahun apabila melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah. Di Jerman, ada hukum tertentu yang memperbolehkan korban dari pembinasaan untuk melakukan tindak hukum terhadap siapapun yang menyangkal bahwa pembinasaan itu terjadi. Adapun di Kanada, "Piagam Kanada" untuk hak dan kebebasan (Canadian Charter of Rights and Freedoms) menjamin dalam kebebasan berekspresi namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu agar tidak terjadi penghasutan.
Sementara di Indonesia, R. Susilo menerangkan bahwa yang
dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang". Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu :
1.
Menista
secara lisan (smaad)
2.
Menista
dengan surat/tertulis (smaadschrift)
3.
Memfitnah
(laster)
4.
Penghinaan
ringan (eenvoudige belediging)
5.
Mengadu
secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
6.
Tuduhan
secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan tersebut hanya dapat dituntut jika ada
pengaduan dari individu yang terkena dampak penghinaan.
Pasal-pasal yang mengatur tindakan Hate speech terhadap
seseorang semuanya terdapat di dalam Buku I KUHP Bab XVI khususnya pada Pasal
310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318 KUHP. Sementara, penghinaan
atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah, organisasi, atau suatu kelompok
diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu :
1.
Penghinaan
terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP).
2.
Penghinaan
terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP)
3.
Penghinaan
terhadap pegawai agama/pemeluk agama (Pasal 177 KUHP)
4.
Penghinaan
terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan pasal 208 KUHP)
5.
Penghinaan
terhadap orang yang mau duel (Pasal 183)
Hate speech dalam internet
Etika dalam dunia online perlu ditegaskan, mengingat
dunia online merupakan hal yang sudah dianggap penting bagi masyarakat dunia.
Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia maya untuk
menyebarluaskan hal-hal yang tidak lazim mengenai sesuatu, seperti suku bangsa,
agama, dan ras. Penyebaran berita yang sifatnya fitnah di dunia Internet,
misalnya, menjadi hal yang patut diperhatikan. Internet Service Provider (ISP)
biasanya menjadi pihak yang dianggap bertanggung jawab atas segala isi yang
mengandung fitnah. Sesungguhnya, isi yang mengandung fitnah berada di luar
tanggung jawab ISP; terlebih ada pihak ke tiga yang memasukkannya tanpa
sepengetahuan ISP. Sama halnya seperti manajemen dalam toko buku, dunia
Internet membedakan peran antara distributor dan publisher. Dalam hal ini, ISP
sekadar bertindak sebagai publisher yang mengontrak distributor untuk mengelola
jaringan mereka. Hal di ataslah yang sering disebut dengan Libel yakni sebuah
pernyataan ataupun ekspresi seseorang yang mengakibatkan rusaknya reputasi orang
lain dalam komunitas tertentu karena ekspresinya itu. Ataupun bisa dalam bentuk
pembunuhan karakter dan dalam dunia profesional sekalipun. Dalam bukunya yang
berjudul ‘The New Communication Technology’, Mirabito menyatakan ada 12 ribu
pengguna Internet yang menjadi korban kejahatan di Internet yang berkenaan
dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender.
Nyatanya, kemajuan Internet berjalan seiring dengan peningkatan teror di dunia
maya. Contoh kasus pada seorang anak muda berusia 19 tahun yang menggunakan
komputer di sekolahnya untuk mengirim surat elektronik berisi ancaman
pembunuhan pada 62 siswa lain yang keturunan Asia-Amerika. Contoh kasus di atas
adalah salah satu contoh kasus mengenai istilah hate yang sering dihadapi oleh
Amerika dan merupakan sebuah dilema dari kebebasan berekspresi dari first
amandment mereka. Kejahatan Hate merupakan masalah serius yang dihadapi oleh
Amerika, pada tahun 2001 sendiri terdapat 12.000 individu yang menjadi korban
dari kejahatan Hate ini biasanya dikarenakan ras, etnis, negara asal, agama
atau kepercayaan mereka, orientasi sex, atau bahkan karena gender mereka. Di
Amerika, pernah muncul sebuah aksi yang bernama The Hate Crime Prevention Act
of 2003 yang masih diperdebatkan dalam kongres yang ke-108. Jika aksi ini
disahkan k edalam hukum, maka perlindungan dari hate speech akan semakin
terjamin dari lembaga federal. Aksi tersebut didasarkan pada premis legal yaitu
:
1.
Individu
yang menjadi target hate crime akan mencoba untuk pergi keluar batas negara
agar tidak menjadi korban penghinaan
2.
Pelaku
kejahatan hate crime akan mencoba untuk pergi melewati batas negara untuk
melakukan penghinaan terhadap korban
3. Pelaku mungkin menggunakan artikel, termasuk komputer yang mampu menyebarkan informasi ke berbagai negara, untuk melakukan hate crime.
Tanpa kita sadari, sebenarnya ujaran kebencian masih
banyak terjadi di Indonesia. Termasuk blogosphere (situs-situs blog) Indonesia.
Contoh kasus ujaran kebencian di Indonesia adalah kasus ketika Luna Maya memaki
infotainment lewat Twitter yang terjadi pada akhir tahun 2009. Kalimat yang
diucapkan Luna Maya pada saat itu adalah, “Jadi bingung kenapa manusia sekarang
lebih [mirip] setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yang disebut
manusia udah jadi setan semua?”; “Infotaiment derajatnya lebih hina daripada
pelacur, [atau] pembunuh! May your soul burn in hell!” Peristiwa ini diduga
ketika Luna menghadiri acara premier film “Sang Pemimpi” yang berlokasi di EX
Plaza, tanggal 15 Desember malam hari. Pada saat itu, Luna sedang menggendong
anak kandung dari Ariel. Meski sempat dilaporkan ke polisi, bahkan melibatkan
Tantowi Yahya untuk mediasinya dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
akhirnya damai menjadi jalan tengah. PWI, atas nama Priyo Wibowo, mencabut
laporan terhadap Luna Maya yang dituding telah melakukan pencemaran nama baik
melalui akun Twitter. Selain itu ada contoh kasus lain, yaitu kasus Prita yang
dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional lewat e-mail. Kejadian
dimulai pada tanggal 7 Agustus 2008 sekitar pukul 20.30 ketika Prita datang ke
UGD karena keluhan panas selama 3 hari, sakit kepala berat, mual, muntah, sakit
tenggorokan, tidak BAB selama 3 hari, dan tidak nafsu makan. Pada saat
pemeriksaan darah, ternyata terbilang jumlah trombosit Prita 181.000/ul dan
kemudian dilakukan terapi. Selama 4 hari dirawat, ternyata gejala-gejala
tersebut sudah mulai menghilang, namun timbul gondongan yang muncul di
lehernya. Setelah mengetahui adanya gondongan di lehernya, Prita langsung izin
pulang dan mengisi formulir saran karena merasa tidak puas dengan layanan yang
diberikan oleh rumah sakit. Tidak hanya lewat form saran, tetapi juga membuat
surat lewat e-mail dan situs dengan judul "Penipuan OMNI Internasional
Hospital Alam Sutera Tangerang", yang kemudian disebarluaskan ke berbagai
alamat e-mail.
Politik Hitam, Perusak Demokrasi
Bahwa politik hitam akan efektif di daerah yang
masyarakatnya belum menentukan pilihan. Kalau berhasil memunculkan kecemasan
yang tinggi maka akan efektif, karena kecemasan itu pintu masuk perubahan sikap.
Salah satunya berdasarkan hasil survei lembaganya ditemukan data bahwa sebanyak
35 persen pemilih akan menentukan pilihan di masa tenang atau sekitar sepekan
sebelum hari pemungutan suara berlangsung. Lebih dari 50 % pemilih akan
menentukan pilihan di hari tenang atau hari H. Jadi sekarang sudah punya
tendensi tapi belum bulat, semakin dekat hari H itu biasanya yang akan menempel
akan dibawa ke tempat pemungutan suara. Politik hitam menjadi salah satu model
yang digunakan pendukung atau tim kandidat di lokasi yang peta kekuatannya
dalam kontestasi elektoral bisa dikatakan masih di bawah kompetitornya. Hal
tersebut, kata dia, pun sama modelnya dengan yang terjadi di negara-negara
penganut sistem demokrasi lain. Model politik hitam buruk dan kontraproduktif
bagi perkembangan demokrasi. Pasalnya politik hitam cenderung mengabarkan
isu-isu atau berita bohong (hoaks) untuk mendegradasi elektoral lawan politik. Penyebaran
politik hitam sulit hilang, meskipun di Indonesia sendiri sudah ada aturannya
dalam undang-undang dan PKPU.
Mencegah Peredaran Politik Hitam
Untuk mencegah beredarnya politik hitam, kata dia, perlu
andil semua pihak dari mulai penyelenggara pemilu, penegak hukum, hingga
kontestan serta para pendukungnya. Ia pun mengkritik penandatanganan pakta
integritas sebelum gelaran proses pemilu sebagai upaya seremonial belaka karena
hasilnya politik hitam masih banyak beredar di masing-masing kubu. Butuh
ketegasan dan komitmen moral dalam melaksanakan undang-undang, serta penegakan
hukum yang tegas pula tanpa memerhatikan pertimbangan politis. Hal yang perlu
diperhatikan lagi dalam peniadaan politik hitam adalah dugaan tim atau relawan
kandidat menggunakan simpatisan di luar struktur untuk melakukan tugas
tersebut. Kontestan, atau kandidat, atau tim paslon selalu menepis. Kalau ada
yang black campaign semuanya menolak, tidak mengakui. Mereka mengatakan itu
bukan bagian dari tim. Daripada model politik hitam, dalam tataran kontestasi
demokrasi sebetulnya ada dua hal yang diperbolehkan yakni politik negatif dan
positif. Dua model politik terakhir tersebut, katanya, diperbolehkan karena
muncul berbasiskan fakta dan data untuk menjatuhkan lawan politik. Sebaliknya
kalau black campaign cenderung hoaks, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan
dari segi data, bahwa yang membuat model politik hitam cenderung merusak demokrasi.
Politik Hitam, Kebiasaan Politik
Berorientasi Kuasa dan Kekuasaan
Sederhananya, politik adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dipolitikkan. Politik bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik. Bagaimana dengan Politik Hitam;!? singkatnya adalah lawan dari Politik. Kampenya Hitam bisa bermakna memberitakan dan menyampaikan sesuatu yang tidak berdasar (bahkan memutarbalikan) fakta, data, arsip, dan hasil yang telah ada/dicapai, berita, dan kabar bohong tentang seseorang (dan organisasi) yang menjadi kompetitor, lawan, dan saingan pada proses pemilihan. Dengan demikian, tujuannya adalah menimbulkan ketidaksukaan (bahkan kebencian) terhadap lawan, saingan, dan kompetitior, dan selanjutnya anggota organisasi, publik, atau pun komunitas tak memilih orang, institusi yang pokok pemberitaan pada Politik Hitam.
Kira-kira seperti itulah, gambaran tentang Politik dan Politik
Hitam. Sayangnya, banyakorang salah ngerti tentang hal tersebut, sehingga
begitu cepat menuduh dan menuding orang lain (telah) melakukan Politik Hitam.
Padahal, yang disampaikan adalah fakta dan data mal-prestasi, penyimpangan,
ketidakberhasilan, dan hal-hal minus dan buruk yang sudah bukan lagi menjadi
rahasia. Hal seperti itu, gampangnya adalah pada sikon sekarang. Ketika banyak
orang dan media menyampaikan tentang peran dan hal-hal yang berhubungan dengan
Prabowo (pada masa 1997/1998, bahkan tahun-tahun sebelumnya) berdasar data,
fakta, arsip yang ada pada Dumay dan Dunya (Dunia Maya dan Dunia Nyata),
langsung (dengan cepat) dituding sebagai Politik Hitam. Selanjutnya, agaknya Politik
Hitam telah menjadi sisi yang melekat dan tek terpisahkan dari Politik,
terutama dalam pada dunia politik; bukan saja di Indonesia, namun di mana pun. Jika,
pada politik (resmi, berizin) maka selayaknya yang terjadi adalah para kandidat
(dan juga Tim Ses) menampilkan kompetisi yang elegan dan mendidik publik;
sehingga tidak asal kromo, menghantam sana-sini, segala cara dihalalkan,
termasuk memakai isu SARA. Oleh sebab
itu, para kandidat dan timnya tidak menjadikan area, arena, panggung politik
hanya sekedar panggung hiburan, pesta, hura-hura, teriak-teriakan penghujatan
terhadap lawan, dan pusat kebisingan, serta memacetkan jalan sekitar. Jika
hanya itu yang terjadi, maka hanya menimbulkan kekesalan serta ketidaksukaan
masyarakat. Dengan demikian, jika politik sebagai upaya menarik perhatian,
penyebaran kebaikan kebaikan dan keberhasian, serta memberi janji dan harapan
baru, maka yang harus terjadi adalah penyampaian konsep, ide, atau agasan bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Sehingga tak nampak adanya
ucapan-ucapan pelemahan (dan hal-hal lain yang tak ada hubungan dengan
kedudukan serta jabatan sebagai presiden dan wakil presiden) terhadap personal
dari capres/wapres. Sebab, politik untuk Pilpres/wapres, bukan merupalan pertarungan
personal; melainkan upaya memperkenalkan diri sebagai yang paling cocok, pas,
tepat sebagai pemimpin bangsa. Jadi, para kandidat, dalam politiknya, jangan
lagi mencoba membodohkan masyarakat yang sudah pinar dan tahu rekam jejak
mereka sebelumnya; masyarakat sudah tahu dan semakin dewasa dalam berpolitik,
sehingga mereka bisa memilih dan memilah dengan baik dan benar siapa yang akan
menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Kedua kubu Capres/Wapres; sama-sama
mempunyai basis massa, pendukung, kelebihan, dan juga kekuarangan; sama-sama
pernah melukai hati rakyat. Kedua pasangan tersebut pernah ada dalam lingkaran
kekuasaan yang kebijakannya mencerminkan ketidakmerataan pembangunan, serta
menyisahkan barisan anak negeri yang masih papa, miskin, dan terbelakang.
TERIMSKASIH MAS ATAS POATINGANNYA YANG LUAR BIASA TERUTMA PENGERTIAN TENTANG HITAM PUTIHNYA POLITIK BERIKUT PRNJELASANN YANG SANGAT LENGKAP...
BalasHapus