MENGKAMBING HITAMKAN
Gaya bahasa mengkambing hitamkan yang bermakna selalu menyalahkan orang lain. Mungkin pernah mendengar dalam kehidupan sehari-hari tentang sebuah kalimat yang berbentuk gaya bahasa metafora yang berbunyi mengkambing-hitamkan, tentu saja pernah barangkali. Kalimat ini hadir dalam kehidupan kita sehari-hari untuk mencerminkan sebuah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tuduhan yang tidak menyenangkan dengan disertai perlakuan negatif atau tindakan di luar dugaan terhadap orang yang dimaksud tidak bersalah.
Kambing hitam digambarkan orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan.
Mengambing hitamkan ibarat menjadikan kambing hitam, mempersalahkan, menuduh bersalah (sikapnya selalu ditujukan orang lain), sedangkan sebenarnya dia sendiri yang berbuat
Menurut (KBBI), mengartikan bahwa kata mengambinghitamkan adalah menjadikan kambing hitam. Arti lainnya dari mengkambinghitamkan adalah mempersalahkan. Mempersalahkan seseorang yang padahal tidak bersalah pada situasi kenyataan tertentu. Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang atau mereka dengan Mengkambinghitamkannya sebagai sebab, karena mereka ingin memperoleh keuntungan pribadinya, cemburu, menutupi kekurangan atau tidak mau dipersalahkan dari sebuah tanggungjawab yang merupakan tanggungjawabnya.
Biasanya, mereka melakukan tindakan negatif dengan selalu mendramatisir keadaan, berspekulasi dan mencari-cari kesalahan orang yang dimaksud, meskipun masing-masing mereka ada punya kesalahan malahan mungkin melebihi. Yang lebih menyedihkan dari situasi ini adalah sayang sekali kelemahan mereka adalah tidak mau bertanya secara langsung satupun secara profesional. Seharusnya lebih profesional dan rasional berpikir dan tidak emosional. Lebih menyedihkan lagi anak-anak yang masih hijau dilibatkan dalam hal ini. Janganlah begitu dan janganlah berjiwa kerdil. Yang pada akhirnya menjadi sebuah hobi bagi dirimu untuk selalu menyalahkan orang lain.
PEMAHAMAN MENGKAMBING HITAMKAN
Mengkambinghitamkan adalah praktik melakukan tuduhan tidak menyenangkan dan diikuti dengan perlakuan negatif terhadap seseorang atau kelompok.
Mengkambinghitamkan dilakukan oleh seseorang melawan seseorang. Contohnya : ia melakukannya, bukan aku !, seseorang melawan kelompok.
Contoh, Aku tak dapat melihat apapun karena semua orang tinggi, kelompok melawan seseorang (contoh, Jane adalah sebab dari tim kita tak menang), dan kelompok melawan kelompok.
Mengkambinghitamkan dapat ditujukan terhadap hampir semua kalangan, termasuk orang dewasa, anak-anak, saudara, karyawan, murid, etnis, kelompok politik atau agama tertentu, atau negara.
LEVEL INDIVIDU
Kelompok yang selama ini dikambinghitamkan hampir mencakupi segala jenis pengelompokan sosial, seperti: gender, agama, ras, bangsa, orientasi seksual, kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan politik, atau pun orang-orang yang memiliki perbedaan perilaku dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Namun demikian, pengkambinghitaman ini seringkali juga diasosiasikan terhadap pemerintah, korporasi, atau berbagai kelompok politik pula.
KESAMAANNYA PADA MASA LALU
Seorang analis beraliran jungian, Sylvia Brinton, berbicara bahwasannya mengkambinghitamkan dapat dikaitkan dengan sebuah mitologi bayangan dan kesalahan. Hal ini berkaitan dengan suatu tradisi kuno, seperti dalam cerita pengkambinghitaman untuk Tuhan Azazel yang dilakukan demi membersihkan dosa-dosa masyarakat yang terdahulu dan untuk terhubung dengan alam gaib yang suci. Namun, dalam masa kini, peran Azazel dalam mengkambinghitamkan berubah seperti penuduh korban yang dikambinghitamkan.
TUDUHAN
Secara tidak sadar, pemikiran-pemikiran ataupun perasaan-perasaan seseorang yang tidak diinginkan oleh orang-orang di sekitarnya akan dituduhkan kepada seseorang yang dianggap sebagai kambing hitam. Tidak hanya terhadap seseorang saja, konsep ini dapat dituduhkan terhadap sebuah kelempok tertentu. Seseorang atau suatu kelompok tertentu dijadikan sebagai objek kambing hitam sebagai akibat atas penyelesaian permasalahan kelompoknya. Seorang psikiater berkebangsaan Swiss, Carl jung, mengatakan jika di dalam suatu masyarakat pasti ada seseorang yang berperilaku menyimpang, dan seolah-olah menjadi kambing hitam, demi memenuhi keinginan dari mayoritasnya.
MENGKAMBING HITAMKAN DALAM KONFLIK ANTAR KELOMPOK
Kondisi foto saat terjadinya peristiwa 9-11 yang mengakibatkan terjadinya stereotipe dan pengkambinghitaman terhadap etnis Arab karena dianggap sebagai etnis yang sama dengan aktor pembajakan pesawat yang menabrak gedung WTC.
Mengkambinghitamkan dalam Konflik Antar-kelompok biasanya terjadi saat adanya korelasitas antara kondisi ekonomi yang melemah dan kenaikan tingkat prasangka buruk dan kekerasan dari out-group. Selain itu, dapat dilihat melalui kejadian gerakan anti-kulit hitam yang terjadi di Amerika Serikat pada saat 1882-1930 yang menunjukkan korelasi antara kondisi ekonomi yang buruk dan terjadinya kekerasan memicu terjadinya pengkambinghitaman oleh ras kulit putih yang frustrasi dengan kondisi buruknya ekonomi dengan melakukan kekerasan terhadap ras kulit hitam sebagai out-grup-nya.
Tindakan mengkambinghitamkan seringkali juga diasosiasikan saat adanya serangan teroris ataupun pemakzulan. Hal ini dapat dicontohkan saat adanya gerakan Anti-arab yang banyak menyerang etnis Arab di Amerika Serikat saat setelah kejadian Serangan 11 September 2001. Selain itu, dapat dilihat pula dalam Pembunuhan Indira Gandhi yang mengkambinghitamkan etis Sikh di India.
Dalam ilmu manajemen, mengkambinghitamkan biasanya dipraktikan saat pekerja kasar yang seringkali dituduh bersalah atas kesalahan yang dibuat oleh pimpinannya. Hal ini seringkali terjadi karena kurangnya tingkat keterbukaan yang terjadi di manajemen tingkat atas.
MEKANISME MENGKAMBING HITAMKAN
Seorang kritikus dan filosof, Kenneth Burke pertama kali memopulerkan istilah "mekanisme mengkambinghitamkan" dalam bukunya yang berjudul Permanence and Change (1935), serta pada jurnal yang berjudul A Grammar of Motives (1945). Pemopuleran istilah mekanisme mengkambinghitamkan pada buku dan jurnal tersebut, mempengaruhi beberapa filsuf antropologi lainnya, seperti Ernest Becker dan René Girard.
Secara sederhana, hubungan antara hasrat mimesis dan mekanismenya dalam membentuk proses mengkambinghitamkan dapat dilihat melalui ilustrasi di atas.
Dalam perkembangannya, Girard membangun konsep ini jauh lebih luas demi menginterpretasikan sebuah kebudayaan manusia. Girard berpandangan bahwa: bukanlah lewat Tuhan, tetapi dari manusia itu sendiri yang layak mendapatkan balasan berupa kekerasan atas yang dilakukannya sendiri demi menebus dosa-dosanya. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya, keinginan manusia itu didorong oleh keinginan yang dimiliki atau diinginkan orang lain pula (hasrat mimesis). Oleh karena itu, hal ini menyebabkan terjadinya triangulasi keinginan dan berakibat terjadinya konflik antara pihak-pihak yang berkeinginan. Mekanisme ini akan terus memuncak apabila masyarakat saling terpengaruh, dengan begitu akan menimbulkan mekanisme mengkambinghitamkan.
Pada titik ini, seseorang kambing hitam akan dipilih sebagai penyebab anasir permasalahan masyarakat dan akan diusir atau dibunuh oleh kelompok sosial. Kepulihan tatanan sosial akan terukur dengan kepuasan masyarakat, bahwa mereka telah menemukan penyebab permasalahan dengan menyingkirkan seseorang individu yang dikambinghitamkan. Mekanisme ini akan terus bergulir dan akan terus-menerus menjadi siklus.
Kepuasan masyarakat yang menjadi titik tolak dalam terus bergulirnya siklus mekanisme mengkambinghitamkan ini. Bagi kelompok tertentu, mengkambinghitamkan berfungsi sebagai bantuan psikologis untuk meredakan ketegangan sosial.