SUARA RAKYAT SUARA TUHAN
Vox Populi, Vox Dei merupakan ungkapan dalam bahasa Latin ini terjemahannya adalah, suara rakyat adalah suara Tuhan. Maksudnya suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. Konteks dari perkataan ini ialah ucapan hakim yang meneguhkan suara para juri dalam perkara di pengadilan.
Daulat rakyat tak akan terwujud hanya karena ungkapan romantik-retorik semata. Kelengahan rakyat memilih pengelola kekuasaan negara akan berakibat rakyat menuai derita dan sengsara.
Derajat kemuliaan suara rakyat dijunjung tinggi setara kuasa ilahiah. Mantranya, suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Suara rakyat yang disunggi sedemikian tinggi dipercayakan kepada para wakil rakyat dan penguasa negara yang lain. Rakyat mengganjar mereka martabat, kehormatan, dan otoritas politik agar kekuasaan dikelola guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Rakyat mempertaruhkan nasib dan masa depannya kepada mereka.
VARICOZY VOX POPULI, VOX DEI (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan)
Dunia tengah dilanda keresahan global. Di sepanjang tahun 2019 hingga saat ini apalagi setelah badai pandemi/endemi Covid-19, gelombang protes sosial menghantam banyak negara, krisis energi, krisis pangan, perang Eropa Timur hingga proxy war dibelahan negara konflik memperebutkan energi dan ekonomi. Menghempas kawasan Asia, Afrika, Eropa hingga Amerika Latin bahkan merata ke seluruh dunia. Di sana, aktivisme media sosial, unjuk rasa, pemogokan, kerusuhan anarki, bentrokan demonstran dan aparat hingga kerusuhan berkecamuk ora tedeng aling-aling. Ini merupakan protes massal terbesar sejak era Kejatuhan Bangsa-Bangsa (Autumn of Nations), sejak bubarnya Uni Soviet tiga dekade lalu.
Gelombang protes sosial ini hendaknya dipandang sebagai penguatan civil society. Gerakan suara rakyat, suara Tuhan bukan hanya menguat, melainkan memasuki fase baru, fase revolusi tanpa pemimpin. Revolusi ini ditulangpunggungi oleh kelas menengah bersenjatakan smartphone. Internet dan media sosial menjadi instrumen penting.
Slogan yang sering diusung oleh para pengikut demokrasi. Pepatah kuno Bahasa Latin itu memang menggambarkan pengagungan yang luar biasa terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Sedemikian tinggi posisi suara atau aspirasi rakyat hingga diserupakan dengan suara atau kehendak Tuhan. Karena itu suara rakyat mutlak harus diperturutkan, tidak boleh diabaikan. Seperti sudah dipahami, inti dari demokrasi adalah prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen, menetapkan peraturan perundangan guna mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, mana yang benar dan mana yang salah. Slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan berangkat dari sebuah asumsi, bahwa kesepakatan mayoritas (wakil) rakyat dalam sistem demokrasi itu pasti mencerminkan kebaikan dan bakal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan orang setuju, pastilah persetujuan itu akan berkait dengan hal-hal yang dipandang baik oleh kebanyakan orang itu. Bila Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan, maka persetujuan kebanyakan orang atas sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu selaras dengan kehendak Tuhan. Dari situlah disimpulkan, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Secara faktual, terbukti tidak selamanya kesepakatan kebanyakan orang selalu berkenaan dengan kebaikan atau menghasilkan kebaikan. Tidak selamanya sebuah kebaikan dengan mudah disepakati. Sebagaimana juga tidak selamanya sebuah keburukan pasti tidak disepakati. Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu disebut benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Di situlah pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan sangat menentukan, karena ia menjadi dasar berpikir dan landasan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Bila pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran yang bertumpu di atasnya juga akan menjadi benar, begitu sebaliknya, tak peduli berapa jumlah orang yang mendukungnya. Meski telah disepakati oleh banyak orang, belum tentu sesuatu itu adalah benar-benar sebuah kebenaran, karena kesepakatan banyak orang tidak selalu identik dengan kebenaran dan pasti akan menghasilkan kebaikan.
BENARKAH SUARA RAKYAT SUARA TUHAN ?
Barangkali pemahaman agak sesat dan pendangkalan pikiran atau memang sengaja menggunakan istilah-istilah yang terdengar tidak elok dalam konteksnya era globalisasi. Seperti menggunakan istilah Vox Populi Vox Dei dalam praktek demokrasi saat ini. Istilah ini dari bahasa Latin yang diartikan secara harafiah sebagai Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Membenarkan istilah ini dalam konteks politik apalagi dalam praktek demokrasi saat ini, seakan menerima cara berpikir yang terdoktrim dan dalam waktu bersamaan mengaburkan suara rakyat sekaligus suara Tuhan.
Dalam dunia hukum Vox Populi Vox Dei adalah semboyan hukum yang digunakan dalam sistem hukum anglo saxon, dimana suara juri diyakini oleh Hakim sebagai suara Tuhan, karena Juri mewakili berbagai kelompok masyarakat/rakyat. Sebaliknya hakim mengingatkan para Juri untuk mengambil keputusan sebijaksana mungkin karena menyangkut bersalah atau tidak bersalah seseorang yang diperhadapkan di pengadilan, oleh karenanya suara juri (yang adalah keterwakilan masyarakat/rakyat) adalah suara Tuhan. Ini dalam konteks Hukum ada sisi kemanusiaan dan keadilan bukan di kancah demokrasi perpolitikan.
Sementara di dalam praktek politik, adakah yang bisa menjamin bahwa benar suara rakyat adalah suara Tuhan. Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, apa artinya demokrasi jika kedaulatan rakyat dimaksudkan sebagai kedaulatan Tuhan.
Mestinya dalam Pemilihan Umum, Pilihan yang benar adalah pilihan yang rasional dalam arti siapapun yang dipilih oleh rakyat itu karena pertimbangan yang matang dari akal budi yang sehat (berbudaya adiluhung, budi pekerti, moral, etika, attitude, akhlak) dan hati nurani yang tulus.
Pastinya pilihan tersebut tidak didasarkan pada wahyu, wangsit, ataupun Ilham Ilahiah.
Konstitusi kita menyatakan dengan jelas bahwa Kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian sungguh keliru jika pemilihan umum yang merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya baik di legislatif maupun di eksekutif adalah pilihan Tuhan. Oleh karena itu perlu dikritisi lebih serius soal sistem demokrasi ataukah theokrasi di negara Indonesia ini.
Pemilihan umum merupakan medan perebutan kekuasaan secara legal bukan spiritual. Oleh karena itu sama sekali tak ada hubungannya dengan keberadaan Suara Tuhan. Tidak ada pengadilan tuhan apabila terjadi kecurangan dalam pemilu seperti manipulasi suara. Yang ada hanyalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia apabila terjadi perselisihan hasil pemilihan umum karena adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif.
Manipulasi suara dalam pemilu sering terjadi karena politik transaksi menjadi jalan gampang bagi para calon untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Money politic seakan menjadi fenomena buruk yang selalu membayangi setiap perhelatan pemilu. Seringkali pemilih tidak malu-malu menawarkan suaranya untuk dibeli oleh para calon atau tim suksesnya, dengan harga yang bervariasi. Pemilu seakan menjadi kesempatan atau musiman panen rupiah oleh para pemilih dengan berbagai alasan.
Suara menjadi barang komoditas politik dalam perebutan kekuasaan. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri apabila melihat demokrasi itu sendiri. Pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif terbentuk melalui Pemilu. Pemilu tidak lain dari mengumpulkan suara pemilih yang kemudian suara tersebut dikonversi ke dalam perolehan jumlah kursi. Oleh karena suara ini yang menjadi rebutan para politikus, maka tidak sedikit yang akhirnya menempuh cara-cara yang tidak legal antara lain melalui politik transaksional / money politic. Tentunya tidak sedikit calon yang terpilih karena politik transaksional seperti ini.
Pasca reformasi, pemilu (pilpres, pileg, Pilkada), makin hari makin demokratis, menghasilkan para calon terpilih karena meraup suara mayoritas. Tetapi pemilu yang demokratis ini juga menghasilkan tidak sedikit legislator, gubernur, bupati dan walikota yang terjerat berbagai kasus antara lain yang paling banyak adalah korupsi. Jika dalam pesta demokrasi ini suara rakyat adalah suara tuhan, maka pejabat-pejabat tersebut mestinya pilihan tuhan. Bagaimana bisa hanya beberapa waktu saja pilihan Tuhan ini ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan selanjutnya divonis bersalah oleh pengadilan.
Dengan demikian Vox Populi Vox Dei atau Suara Rakyat adalah Suara Tuhan tidak tepat atau setidaknya tidak cocok (pitakompli/konflik sosial), dalam suasana Demokrasi yang sementara berjalan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Justru yang perlu ditingkatkan saat ini adalah kesadaran pemilih bahwa betapa berharganya suara kita, dan tidak dengan mudah menjualnya. Hendaknya pemilih memilih calon yang ada karena calon tersebut memiliki kecerdasan politik dan integritas yang baik.
Ada ungkapan yang lebih enak dan konstitusional yakni Salus populi suprema lex, Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum yang Tertinggi, oleh karena itu hendaknya Pemilu bertujuan untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD tingkat I / II dan bahkan memilih Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota, bersama wakilnya masing-masing, benar-benar memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selaras Pancasila sebagai tolok ukurnya sila ke-lima yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
PRO KONTRA SUARA RAKYAT SUARA TUHAN DI INDONESIA
Demokrasi dibangun di atas daulat rakyat. Rakyatlah pemegang penuh kuasa pemerintahan. Anggota parlemen hanyalah wakil rakyat, lembaganya pun disebut Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak lebih, tidak kurang.
MPR yang pada masa lalu pemegang tertinggi kedaulatan rakyat pun hanyalah tempat rakyat bermusyawarah. Presiden, gubernur, wali kota, bupati, bersama para wakilnya semua dipilih rakyat. Sebagai mandataris rakyat. Rakyat itulah pemegang saham kekuasaan.
Demokrasi bahkan berkredo vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Ketika rakyat sudah bersuara, mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan. Di dalamnya ada sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan dan diselewengkan.
Demokrasi tidak seagung kredo ketika dihadapkan dalam realitas politik. Selalu ada bias dan penyalahgunaan suara rakyat. Para wakil dan mandataris rakyat tidak menyuarakan kehendak rakyat. Suara siapa yang diperjuangkan.
IRONI DEMOKRASI
Ketika suara rakyat diwakilkan dan dimandatkan kepada elite sebagai aktor dalam institusi pemerintahan negara. Logika dasar demokrasi meniscayakan suara elite politik itu sama sebangun dengan kehendak rakyat.
Endingnya ada pemahaman elite di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga lain dalam dirinya menjelma kehendak rakyat. Bahkan menjelma kehendak dirinya, apalagi kehendak pihak lain yang merugikan rakyat.
Disahkannya sejumlah kebijakan maupun undang-undang yang ditentang dan merugikan rakyat menunjukkan bukti suara dan kehendak rakyat dicederai serta disalahgunakan oleh para wakil dan mandataris rakyat. Praktik demokrasi berbeda antara keharusan (das sollen) dan kenyataan (das sein). Hidup rakyat dibuat merana oleh para mandataris dan wakilnya.
Rakyat yang terepresentasi dalam kelompok buruh atau pekerja, petani, nelayan, mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, kelompok marginal, dan mayoritas yang dikenal wong cilik dalam kenyataan sering terabaikan dan menjadi korban kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan negara.
Atas nama rakyat merugikan rakyat. Demokrasi dari rahim rakyat melahirkan balada kisah sedih bagi rakyat. Malin Kundang demokrasi berbuat durhaka kepada ibu yang melahirkannya.
Namun, para elite negeri tidak merasakan ironi. Ketika aspirasi rakyat disuarakan, elite dengan piawai mengingkari, rakyat yang mana? Setiap kebijakan dan undang-undang yang merugikan rakyat pun diklaim atas nama rakyat.
Lahir sikap bebal politik dan arogansi kuasa. Bila para elite di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berkehendak meski ditentang rakyat, maka tidak ada yang dapat mencegah dan menghentikan.
Mengutip dalam satu ayat :
Suara Tuhan pun tak didengar, bak kafilah berlalu di gurun keruhanian nan gersang. Shumum bukmun ‘umyun fahum la yarji’un (QS al-Baqarah: 17). Mereka tuli, bisu, dan buta hatinya; maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar. Demokrasi sebaik apa pun konsepnya, akhirnya melahirkan praktik-praktik politik yang antidemokrasi.
Inilah ironi dunia demokrasi Indonesia saat ini. Para mandataris dan wakil rakyat mengingkari suara rakyat atas nama rakyat, dengan bebal dan angkuh kuasa. Kita teringat drama ketatanegaraan pada awal reformasi.
Ketika amendemen UUD 1945 dilakukan, yang ingin diakhiri ialah kekuasaan mutlak, khususnya eksekutif. Kini, yang terjadi adalah absolutisme kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus dalam jalinan politik oligarki yang angkuh diri.
Demokrasi liberal Indonesia melahirkan kekebalan elite politik karena merasa dipilih langsung rakyat. Mata hatinya buta karena digdaya kuasa. Era Reformasi dalam wujud lain akhirnya melahirkan praktik baru kekuasan absolut, mengulang Orde Lama dan Orde Baru. L’histoire se répète, sejarah berulang, kata pepatah Prancis, sealur pemikiran sejarawan Inggris Philip Guedalla.
KEKUASAAN MUTLAK DALAM PRAKTEK POLITIK
Apakah kondisi kuasa mutlak dalam praktik politik oligarki setelah dua reformasi ini akan berakhir atau sebaliknya semakin dominan? Demokrasi di negara modern dipilih bukan karena ini merupakan sistem ideal, melainkan karena dipandang memiliki kekurangan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem lainnya. Sebutlah sistem teokrasi, oligarki, diktatorial, dan sebagainya.
Sistem politik demokrasi memerlukan prasyarat dan instrumen yang mendukung. Demokrasi dari aspek subjek dan budaya politik meniscayakan rakyat yang melek politik. Dalam pemikiran Almond dan Sidney, budaya politik dengan pengetahuan rendah menumbuhkan sikap parokial, yakni partisipasi politik terbatas dan pasif.
Demokrasi meniscayakan orientasi politik partisipan berbasis pengetahuan dan daya kritis. Harus ada kekuatan kontrol yang proaktif mengawasi jalannya pemerintahan. Bukan rakyat yang apatis dan permisif sekadar menyalurkan suara gratis.
Demokrasi selain memerlukan dukungan sistem checks and balances, pada saat yang sama meniscayakan integritas moral elite. Elite yang dipilih rakyat wajib memiliki kesadaran etik dan tanggung jawab politik yang tinggi.
Mandat rakyat dengan segala aspirasi dan kepentingannya harus menyatu dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakannya bermuruah negarawan. Ketika merancang dan mengambil keputusan politik, yang menjadi patokan adalah kepentingan rakyat, bukan pihak lain. Bila ingin membangun legasi politik pun harus demi rakyat, bukan untuk kemegahan diri.
Jika kredo vox populi vox dei dikonstruksi secara keruhanian, para elite di pemerintahan dan parlemen penting memiliki kesadaran etik dan teologis. Ada jiwa Ketuhanan Yang Maha Esa sekaligus berdemokrasi yang dibangun atas musyawarah, hikmah, dan kebijaksanaan. Itulah esensi demokrasi berjiwa Pancasila. Pancasila di dunia nyata, bukan keindahan jargon dan kata-kata.
Dalam menjalankan mandat rakyat, ada pertanggungjawaban moral profetik keilahian. Tidak semata urusan duniawi yang bernilai guna. Ketika memperjuangkan hajat hidup rakyat dengan benar maka akan mendapatkan kebaikan Ilahi.
Sebaliknya, jika menyalahgunakan dan merugikan rakyat, ia akan berhadapan dengan murka Tuhan. Dalam pesan Nabi, barang siapa yang menyia-nyiakan amanat rakyat diancam dengan neraka jahanam. Meski bagi yang bebal diri akan mengingkari, jangan bawa nama Tuhan dalam berdemokrasi.
Bila elite politik dan pejabat negeri sudah kehilangan kesadaran etik dan nurani autentik, yang tumbuh angkuh kuasa. Aspirasi publik dianggap angin lalu. Suara Tuhan pun tidak akan didengar karena nuraninya nan fitri terkunci sangkar besi. Nurani elite negeri mengalami lockdown akibat pandemi serba-indrawi.
Kendati rakyat marah dan anarki tumpah di segala arah, para elite angkuh diri itu tetap bebal kuasa. Kaum beriman tinggal bersandar doa, “Wa Ilaihi turja’ al-‘umur.” (QS Yunus: 56).
Segala urusan kita pasrahkan kepada kuasa Tuhan Yang Maha Perkasa. Dialah Dzat Pemilik Segala Keputusan.
DEMOKRASI PANCASILA CERMIN SUARA RAKYAT SUARA TUHAN
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi tersusun dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Secara umum, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi pancasila sebagai sistem demokrasi yang dianut di Indonesia secara ringkas adalah sistem demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat bagi kesejahteraan rakyat. Kebebasan individu dijamin namun tidak bersifat mutlak karena disesuaikan dengan tanggung jawab sosial.
Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila sesuai dengan kepribadian bangsa. Demokrasi Pancasila mengandung nilai-nilai dan tujuan yang tertuang dalam sila-sila Pancasila.
Istilah demokrasi Pancasila secara formal pertama kali tercantum dalam Tap MPRD Nomor XXXVII/MPRS/1968 tentang pedoman pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pedoman pada ketetapan tersebut adalah tata cara bermusyawarah dan pengambilan keputusan berdasarkan mufakat atau suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.
Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mempersatukan Indonesia, dan bertujuan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Manipol/USDEK adalah dasar dari pemerintahan Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Manipol/USDEK merupakan akronim dari Manifesto Politik (yaitu, pidato Presiden Sukarno yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dibacakan pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-14 tanggal 17 Agustus 1959) / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dijadikan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara, sehingga harus dijunjung tinggi, dipupuk, dan dijalankan oleh semua bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, perwujudan demokrasi di Indonesia tidak bisa lepas dari Pancasila sebagai dasar negara. Semua sila dalam Pancasila memiliki kedudukan yang sama dan setara. Sehingga, keterkaitan antara silanya menjadi satu kesatuan membentuk demokrasi.
Peran Pancasila dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, serta penyelesaian masalah nasional melalui permusyawaratan untuk mencapai mufakat adalah wujud dari demokrasi Pancasila itu sendiri.
ASPEK DEMOKRASI PANCASILA
Terdapat dua aspek yang menjelaskan definisi dari Demokrasi Pancasila, yaitu :
1. Aspek Material. Aspek material meliputi substansi dan isi. Aspek ini menjelaskan tentang pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia. Demokrasi Pancasila tidak hanya demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi dan sosial.
2. Aspek Formal. Aspek formal menjelaskan tentang proses dan cara rakyat menunjuk wakil dalam lembaga perwakilan rakyat. Mengatur musyawarah wakil rakyat secara bebas, terbuka, dan jujur. Demokrasi Pancasila memakai cara musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan.
CIRI-CIRI DEMOKRASI PANCASILA
Ciri-ciri demokrasi Pancasila adalah :
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaa dan gotong royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
5. Menghargai hak asasi manusia.
6. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah disalurkan melalui wakil-wakil rakyat.
7. Tidak menganut sistem partai tunggal.
8. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, bebas, terbuka, jujur, dan adil.
9. Tidak adanya dikatator mayoritas dan tirani minoritas.
10. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
Prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah.
3. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain. Contohnya. Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya
4. Adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat.
PRINSIP DEMOKRASI PANCASILA
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal.
Demokrasi Pancasila merupakan budaya demokrasi dengan karakteristik khas Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip. Berikur prinsip-prinsip demokrasi Pancasila :
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat.
3. Badan peradilan merdeka yang berarti tidak terpengaruhi akan kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain.
4. Terdapat partai politik dan juga organisasi sosial politik yang berfungsi mrnyalurkan aspirasi rakyat.
5. Sebagai dasar pelaksanaan pemilihan umum.
6. Kedaulatan ada di tanga rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar atau UUD 1945.
7. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
8. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, dan negara.
9. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.
10. Menerapkan otonomi daerah untuk membatasi kekuasaan legislatif dan eksekutif di tingkat pusat.
PEMERINTAH MENURUT HUKUM DAN UUD 1945
Pemerintah menurut hukum, dijelaskan dalam UUD 1945, yaitu :
1. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
2. Pemerintah berdasarkan sistem konstitusi sebagai hukum dasar, tidak bersifat absolutisme atau kekuasaan tidak terbatas.
3. Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
CIRI-CIRI DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945
1. Pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
2. Adanya pemilu secara berkesinambungan
3. adanya peran-peran kelompok kepentingan
4. adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
5. Pelaksanaan Pemilihan Umum
6. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945)
7. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
8. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain
9. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
10. Pemerintahan berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan :
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas)
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA
Dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila terdapat tujuh sendi pokok yang menjadi landasan, yaitu :
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.
Seluruh tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitsional. Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi. Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu :
Menetapkan UUD;Menetapkan GBHN; danMemilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.
Wewenang MPR, yaitu :
a) Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden
b) Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN
c) Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden
d) Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e) Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislatif ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi :
a) Hak tanya/bertanya kepada pemerintah
b) Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah
c) Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah
d) Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal
e) Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. a) Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
b) Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
a) Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden
FUNGSI DEMOKRASI PANCASILA
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut :
a) Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya :
- Ikut menyukseskan Pemilu
- Ikut menyukseskan pembangunan
- Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
MENJAMIN TETAP TEGAKNYA NEGARA RI
a) Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional
b) Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila
c) Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara
d) Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya :
Presiden adalah mandataris MPR, Presiden bertanggung jawab kepada MPR.
DEMOKRASI DELIBERATIF
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi deliberatif.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat tiga prinsip utama :
1. Prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.
2. Prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
3. Prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan. Maka diperlukan suatu proses yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan publik demi suatu ketertiban sosial dan stabilitas nasional.
DEMOKRASI PANCASILA DALAM BEBERAPA BIDANG
Bidang ekonomi
Demokrasi Pancasila menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak agar semua rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan negara. Dalam implikasi pernah diwujudkan dalam Program ekonomi banteng tahun 1950, Sumitro plan tahun 1951, Rencana lima tahun pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan tahun dan terakhir dalam Repelita kesemuanya malah menyuburkan korupsi dan merusaknya sarana produksi. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila. Maka secara kongkrit, rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Bidang kebudayaan nasional
Demokrasi Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan dan kemajemukan budaya Indonesia dapat tetap dipertahankan dan ditumbuhkembangkan sehingga kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik. Terdapat penolakan terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi berkembangnya budaya lokal sehingga identitas suatu komunitas mendapat pengakuan dan penghargaan.
By, POINT Consultant