2 (dua) alat bukti cukup
ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Bukti didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; atau tanda. Sedangkan yang dimaksud alat bukti adalah segala sesuatu hal maupun benda yang ada hubungan dan kaitannya dengan suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Soebekti mendefinisikan bukti sebagai sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. sedangkan alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian (Bewisjemiddle) adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan. Misalnya, bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah.
Di dalam dunia peradilan, pembuktian adalah proses terpenting dalam persidangan, baik itu dalam perkara pidana maupun perdata. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Ia berisikan ketentuan-ketentuan mengenai pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana telah mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan, sehingga majelis hakim tidak bisa secara subjektif memvonis terdakwa.
Menurut Prof. Andi Hamzah seorang pakar ilmu pidana Indonesia telah mendefinisikan tentang bukti dan alat bukti, yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian dan dakwaan. Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alai-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan dan sumpah.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 (1) ada disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah :
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.’’
Berikut akan penulis jelaskan satu-persatu tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut pasal 184 (1) KUHAP sehingga dapat diterima di persidangan.
A. Keterangan Saksi
Ditinjau dari urutan nya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama disebutkan. Dalam perkara pidana, di setiap proses yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga sampai kepada sidang di pengadilan pasti menggunakan alat bukti keterangan saksi. Hal ini dikarenakan hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Untuk itu, Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No.1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disebutkan bahwa:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”
Disini bisa dipahami bahwa untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan berkualitas, kesaksian yang akan dipertimbangkan keterangannya oleh majelis hakim haruslah memenuhi kriteria-kriteria berikut, pertama saksi wajib disumpah di muka pengadilan, karena kesaksian yang diakui hanyalah keterangan yang disampaikan dimuka pengadilan, kedua saksi melihat, mendengar, dan mengalami sendiri, ketiga saksi harus menyatakan sendiri di dalam persidangan, keempat kesaksian minimal harus disampaikan oleh 2 (dua) orang saksi, kelima keterangan saksi harus berkaitan dengan perkara.
B. Keterangan Ahli.
Yang dimaksud keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang dianggap memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara yang sedang diperiksa, hal tersebut nantinya agar perkara yang sedang diperiksa menjadi terang dan jelas. Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”
C. Surat.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Surat. Pasal 187 Undang-Undang No.1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”
Berarti yang dimaksud dengan surat sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Atau dengan kata lain, alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian yang berkualitas adalah semua surat yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau ditunjuk untuk membuat surat tersebut. Di era modern sekarang, teknologi informasi telah berkembang maju dimana manusia juga bisa membuat surat elektronik (surel). Adapun khusus mengenai surel sebagai alat bukti yang sah telah diatur didalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
D.Petunjuk.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 188 telah menyebutkan bahwa:
“(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.”
Berdasarkan Pasal diatas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa ‘petunjuk’ sebagai alat bukti itu seperti upaya penemuan jembatan atau mata rantai yang hilang. Ia bersifat layaknya penghubung yang menghubungkan antara satu dengan yang lain sehingga terbentuk kesesuaian yang sempurna yang pada akhirnya akan menggambarkan suatu kejadian atau peristiwa secara utuh.
E. Keterangan Terdakwa.
Mengenai ‘keterangan terdakwa’, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 189 telah menyebutkan bahwa:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Bunyi dari pasal 189, yang menjelaskan ‘keterangan terdakwa’ sebagai alat bukti yang sah, memiliki kriteria yang serupa atau semakna dengan bunyi Pasal 187 yang menjelaskan ‘Keterangan Saksi’. Yaitu untuk dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, keterangan terdakwa harus disampaikan sendiri dimuka sidang pengadilan, dan kejadian atau peristiwa tersebut harus dialami oleh terdakwa itu sendiri.
Kemudian, penting juga untuk dicatat bahwa terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada Penyidik atau Majelis Hakim tanpa ada tekanan dari pihak manapun, hal ini termaktub di dalam KUHAP Pasal 52:
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”