Moralitas Pemberantasan Korupsi
Masa depan koruptor di negeri ini tak sesuram di Cina. Di negeri Tirai Bambu itu pikiran koruptor dibayangi teror tentang kematian. Siapa berani korupsi lebih dari 100.000 Yuan ganjarannya hukuman mati. Hukum dan moral benar-benar menjadi jangkar utama pemberantasan korupsi.
Suasana kontras terjadi di Indonesia. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, para predator uang negara masih bisa mengumbar senyuman. Mereka tahu masa depannya masih cerah dan jauh dari bayang-bayang kematian. Meski hukuman badan menjadi instrumen penjeraan, namun konsep pemenjaraan badan tak selamanya efektif.
Buktinya, di lembaga pemasyarakatan koruptor masih bisa menyulap kamar menyerupai hotel. Memperoleh berbagai fasilitas mewah. Melenggang bertamasya ke luar Lapas. Berkomunikasi ke mana saja melalui telepon genggam. Dan, yang memanjakan, tidak semua terpidana kasus korupsi menjalani hukuman sesuai dengan vonis yang dijatuhkan. Koruptor bisa bebas lebih cepat dari yang seharusnya karena mendapatkan obral remisi.
Ketika bebas para koruptor tidak terancam jatuh miskin karena uang hasil korupsi telah terintegrasi dalam kapital berskala internasional dan bermetamorfosa sedemikian rupa untuk mengelabuhi penegak hukum melalui tindak pidana pencucian uang.
Penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti juga tak membuat koruptor melarat karena eksekusi uang pengganti juga bisa dimainkan dan rawan dikorupsi. ICW menyatakan eksekusi uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor antara yang termuat dalam amar putusan kadang tidak sama dengan yang dibayarkan karena ada permainan.
Quid leges sine moribus.
Menilik menurunnya moralitas pemberantasan korupsi di negeri ini, penting dikemukakan kredo quid leges sine moribus. Dalam lanskap penegakan hukum, di negara-negara yang menjunjung tinggi peradaban, adagium quid leges sine moribus menjadi kredo yang bertemali erat dengan dimensi teologis.
Quid leges sine moribus mengandung makna: ‘apalah artinya hukum tanpa moralitas’. Pemaknaan teologis adagium tersebut mengandaikan bahwa hukum harus ditegakkan dengan benar dan adil sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemilik kuasa yang sesungguhnya: Tuhan.
Moralitas menjadi roh dari supremasi pemberantasan korupsi karena hukum tanpa moralitas menjadikan hukum kering atau hampa dari nilai. Sebuah aksioma mengatakan bahwa hukum yang baik jika ditegakkan oleh aparatur bermental jahat maka akan tercipta kezaliman. Sebaliknya, hukum yang buruk sekalipun jika ditegakkan oleh aparatur bermental baik maka akan tercipta keadilan. Ungkapan tersebut secara implisit menyiratkan bahwa hukum dan moralitas satu kesatuan yang saling berkelindan.
Mazhab hukum positivisme yang mendikotomikan hukum dan moralitas dengan menempatkan hukum sebagai kumpulan pasal yang tertuang dalam lembar dokumen hukum, sedangkan moralitas bersifat filosofis dan abstrak, sejatinya merupakan tesis yang kurang tepat. Karena dalam praktiknya hukum tidak bisa berdiri sendiri alias membutuhkan sokongan etika sebagai bagian dari filsafat.
Lawrence M. Friedman (1984) mengemukakan bahwa efektif atau tidaknya penegakan hukum tergantung trigatra sistem hukum yang melingkupi, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Meskipun substansi hukum dalam kondisi ideal, namun supremasi hukumnya tidak menjamin berjalan dengan baik karena hukum dan moralitas penegaknya tidak selalu berjalan beriringan. Dengan demikian, keparipurnaan dan kualitas penegakan hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum dalam pengertian substantif akan hampa.
Dalam disiplin ilmu etika dikenal istilah eudaimonisme. Teori etika klasik ini dikemukakan filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM), yang intinya bahwa setiap kegiatan manusia mengejar satu tujuan tertinggi hidup, yakni kebahagiaan (eudaimonia). Jika eudaimonisme dikaitkan dengan semangat pemberantasan korupsi, maka simbiosa hukum dan moralitas menjadi keniscayaan agar hukum mampu melahirkan kebahagiaan bagi masyarakat karena terbebas dari cengkeraman korupsi.
Menurunnya moralitas dalam pemberantasan korupsi sejatinya tak melulu disebabkan sepak terjang penegak hukum yang brengsek karena cenderung memanjakan koruptor. Tapi juga karena menurunnya kesalehan elite politik yang mulai kehilangan fatsun. Hal ini bisa dibuktikan dengan jumlah pelaku korupsi yang didominasi para pejabat politik. Mereka lulusan perguruan tinggi dan bergelar master.
Menurunnya peradaban politik di satu sisi dan menguatnya pragmatisme di sisi lain memicu terjadinya lonjakan praktik bancakan anggaran negara. Salah satu proyek favorit bancakan elite ialah korupsi infrastruktur. Hal ini disebabkan dana yang dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dari tahun ke tahun terus meroket.
Tahun 2019 sebesar Rp119 triliun, naik menjadi Rp120 triliun di tahun 2020. Pada tahun 2021 kembali naik mencapai Rp150 triliun. KPK menyebut korupsi sektor ini sangat besar karena sejak tahun 2020 hingga Maret 2021 sebanyak 36 kasus korupsi yang ditangani KPK. ICW juga mencatat sepanjang tahun 2015-2019 kuantitas korupsi infrastruktur terus meroket. Pada tahun 2015 korupsi sektor ini tercatat sebanyak 106 kasus. Kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2016 menjadi 133 kasus. Pada tahun 2017 kembali melonjak menjadi 158 kasus. Dan, pada tahun 2018 berada pada angka 167 kasus. Total kerugian negara diperkirakan Rp 1,1 triliun.
Maka itu, di samping memperbaiki mental dan sensitivitas penegak hukum, moralitas pemberantasan korupsi juga harus dibarengi dengan taubat nasional dan keinsyafan kolektif dari para elite. Sehingga korupsi sirna bukan karena ancaman hukumnya yang berat, tapi karena muncul dari kesadaran bahwa praktik lancung tersebut adalah tindakan laknat dan biadab yang harus dijauhi.