Politik Etis
Kritik
terhadap perlakuan pemerintah kolonial Belanda yang membuat nasib rakyat di
wilayah jajahannya menderita menjadi salah satu alasan munculnya Politik Etis
(Etische Politiek) atau politik balas budi. Politik Etis atau politik balas
budi dipelopori oleh Pieter Brooshooft yang merupakan seorang wartawan
sekaligus sastrawan asal Belanda, dan Conrad Theodore van Deventer yang
merupakan seorang ahli hukum asal Belanda.
Politik
Etis adalah sebuah kebijakan yang pernah diterapkan pemerintah kolonial Belanda
di Indonesia pada tahun 1901 yang berisi program-program sebagai kewajiban
moral menyejahterakan para penduduk wilayah jajahan.
Program-program
pada masa pemberlakuan Politik Etis atau politik balas budi dikenal juga dengan
istilah Trias van Deventer yang terdiri dari edukasi, irigasi, dan
transmigrasi.
PENGERTIAN
Politik
etis atau politik balas budi adalah kebijakan Hindia Belanda sebagai reaksi
tuntutan protes dari diterapkannya kebijakan tanam paksa yang dilayangkan oleh
van Deventer pada 1901 berupa program kewajiban moral menyejahterakan jajahan.
Politik etis dipelopori oleh Brooshooft yang merupakan seorang wartawan
sekaligus sastrawan Belanda dan Conrad Theodore van Deventer yang merupakan
ahli hukum Belanda. Program yang dimaksud dari pemberlakuan politik etis diantaranya
edukasi, irigasi dan transmigrasi.
Politik
etis adalah sebuah upaya politik balas budi pemerintah Belanda kepada rakyat
bumiputra yang telah diperas sehingga menjatuhkan taraf hidupnya. Namun tidak
disangka, program ini malah membuka mata orang-orang pribumi akan nasionalisme.
Politik
Etis atau Politik Balas Budi (bahasa Belanda: Ethische Politiek) adalah politik
pemikiran kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) selama empat dekade dari
1901 sampai tahun 1942. Pada 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina
mengumumkan bahwa Belanda menerima tanggung jawab politik etis demi
kesejahteraan rakyat kolonial mereka. Pengumuman ini sangat kontras dengan
doktrin resmi sebelumnya bahwa Indonesia adalah wingewest (wilayah yang
menghasilkan keuntungan). Ini juga menandai dimulainya kebijakan pembangunan
modern; sedangkan kekuatan kolonial lainnya berbicara tentang misi peradaban,
yang terutama melibatkan penyebaran budaya mereka kepada orang-orang terjajah.
Latar Belakang Politik Etis
Sistem
tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan salah satu kebijakan pemerintah
kolonial Belanda yang membuat rakyat Indonesia sangat sengsara. Aturan ini
mulai diterapkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830.
Penindasan serta penekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial saat itu
membuat rakyat mengalami kerugian baik dalam segi materi maupun tenaga. Tanam
paksa yang diterapkan tak hanya mewajibkan rakyat menanam komoditas ekspor yang
berharga bagi pemerintah kolonial. Salah satu aturan tanam paksa adalah
mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan sekitar 20 persen tanahnya untuk
dikuasai dan ditanami tanaman komoditas ekspor. Sementara masyarakat yang tidak
memiliki kebun wajib bekerja di kebun milik pemerintah dengan gaji kecil dan
kondisi yang berat. Akibat sistem tanam paksa tersebut, kualitas dan hasil
tanaman pangan juga berkurang dan menimbulkan masalah baru yaitu kelaparan. Hal
ini karena petani tidak sempat mengurusi sawah dan ladang karena harus mengurus
tanaman perkebunan yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial. Kondisi kurangnya
pangan juga menimbulkan wabah penyakit mulai merajalela. Di Cirebon dan
Grobogan jumlah kematian meningkat sehingga jumlah penduduk menurun tajam.
Sistem tanam paksa juga memunculkan sistem premi atau cultuur procenten yakni
pemberian untung kepada penguasa pribumi dan bupati atau kepala daerah yang
produksinya melebihi target. Hal ini menyebabkan adanya pemerasan tenaga rakyat
demi bisa mendapatkan premi sebesar-besarnya. Pieter Brooshooft yang saat itu
berkegiatan mengelilingi wilayah Jawa pada tahun 1887 turut mendokumentasikan
bagaimana kesengsaraan yang dialami oleh rakyat pribumi Hindia Belanda pada
saat itu. Kondisi ini ternyata menggugah hati nurani dan memunculkan berbagai
kecaman dari warga Belanda karena menganggap kebijakan ini tidak
berkemanusiaan. Van Deventer kemudian mengisahkan dalam majalah De Gids dengan
judul Eeu Ereschuld atau Hutang Budi tentang bagaimana perjuangan dari rakyat
Indonesia yang hasilnya justru dinikmati oleh rakyat Belanda. Gagasan Van
Deventer kemudian mendapatkan dukungan Ratu Wilhelmina yang juga disebutkan di
dalam pidatonya pada tahun 1901, yang kemudian dibuktikan melalui terbitnya
kebijakan baru.
Kebijakan
tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Van Den Bosch membawa
kesengsaraan bagi Hindia Belanda. Kewajiban menyediakan 20 persen tanahnya
untuk dikuasai Belanda menjadi hal yang sangat merugikan bagi pemilik tanah.
Terlebih apabila tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja kepada Belanda dengan
gaji yang sangat kecil. Akibatnya, kualitas hasil tanaman menurun dan
menimbulkan permasalahan kelaparan. Terlebih, kurangnya pangan menimbulkan
wabah penyakit. Di Cirebon dan Grobogan tingkat kematian meningkat sedangkan
jumlah penduduk menurun tajam.
Penyimpangan
cultuur procenten (pemberian bonus kepada bupati yang melebihi target) semakin
membuat praktek pemerasan dan perbudakan semakin besar. Pieter Brooshooft
selama berkeliling di Jawa pada 1887 menemukan banyak kesengsaraan yang dialami
pribumi Hindia Belanda pada waktu itu.
Kondisi
ini membuat kecaman dari warga Belanda yang menganggap kebijakan Hindia Belanda
tidak manusiawi. Van Deventer dalam majalah De Gids berjudul Eeu Ereschuld atau
Hutang Budi menjelaskan bagaimana kesengsaraan bangsa Indonesia yang hasilnya
justru dinikmati Belanda. Gagasan Van Deventer mendapatkan dukungan dari Ratu
Wilhelmina yang menyebutkan dalam pidatonya mengenai kesengsaraan tanah jajahan
tahun 1901. Hasilnya kemudian dibuktikan dengan kebijakan baru diterapkannya
politik etis.
Dampak Politik Etis
Namun
pada akhirnya, Trias van Deventer tidak berhasil menyejahterakan rakyat seperti
yang diharapkan sebelumnya. Alasannya yaitu tidak adanya kesungguhan dari
Belanda untuk mengubah kondisi rakyat, serta pelaksanaannya yang hanya
dijadikan dalih untuk terus melakukan eksploitasi terhadap Indonesia. Beberapa
contoh penyelewengan pada pelaksanaan kebijakan Politik Etis antara lain:
Pemerintah Belanda tidak memberi perlindungan atau bantuan kepada usahawan
pribumi secara sungguh-sungguh Irigasi hanya dibangun di daerah-daerah di mana
ada perkebunan yang mempunyai hak utama penggunaannya Pengajaran yang dilakukan
hanyalah pengajaran tingkat rendah Walau begitu, tiga kebijakan utama yang
dijalankan dalam Politik Etis yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi tetap
memberi dampak positif yang dirasakan pihak Indonesia, antara lain: Munculnya
kalangan terdidik dari rakyat Indonesia Terbangunnya saluran irigasi pertanian
dan perkebunan Terjadinya perpindahan penduduk dalam proses transmigrasi
Politik Etis perlahan memunculkan elit baru yang teredukasi di kalangan
masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi yang telah terdukasi ini mulai menyadari
harga dirinya dan kemudian mendirikan berbagai perkumpulan seperti Boedi
Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij. Organisasi-organisasi inilah yang
menjadi awal mula pergerakan nasional dan melahirkan rasa persatuan untuk
memerdekakan bangsa Indonesia.
Trias
Van Deventer, istilah yang dikenal sebagai bentuk kebijakan politik etis dari
Hindia Belanda. Kebijakan ini meliputi irigasi (pengarian; memperbaiki sistem
pertanian), edukasi (pendidikan; memberikan pendidikan kepada pribumi) dan
imigrasi (memindahkan penduduk dengan tujuan pemerataan wilayah). Namun, pada
pelaksanaannya, Trias Van Deventer tidak dapat diharapkan sesuai istilahnya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda masih enggan mengubah kondisi rakyat dan
terus melakukan eksploitasi.
Pada
pelaksanaannya, Belanda tidak memberi perlindungan atau bantuan kepada usahawan
pribumi secara sungguh–sungguh. Pada sektor petanian, irigasi hanya dilakukan
pada perkebunan yang memiliki hak utama. Sedangkan pada pendidikan, pelajaran
yang diberikan hanya pada pengajaran tingkat rendah dan tertutup pada golongan
priyayi.
Namun,
kebijakan politik etis tetap memberikan dampak positif diantaranya :
Munculnya
golongan cendekiawan, Terbangunnya saluran irigasi, Terjadinya pemerataan
penduduk
Berkat
politik etis memunculkan golongan elit baru yaitu kaum terdidik yang kemudian
mendirikan berbagai perkumpulan seperti Budi Utomo, Indische Partij, dan
Sarekat Islam. Organisasi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal nasionalisme
dan kemerdekaan Indonesia.
Kebijakan
tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material. Namun, kebijakan
ini menderita karena kekurangan dana yang parah, ekspektasi yang membengkak dan
kurangnya penerimaan dalam pembentukan kolonial Belanda, dan sebagian besar
lenyap oleh permulaan Depresi Besar pada tahun 1930.
Pemikiran
politik etis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral
bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik
tanam paksa. Munculnya kaum etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft
(wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata
membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para
bumiputera yang terbelakang.
Pada
17 September 1901, Ratu Wilhelmina menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen
Belanda yang ditulis oleh Abraham Kuyper, perdana menteri yang baru menjabat,
bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang
terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi :
1.
Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan
bendungan untuk keperluan pertanian.
2.
Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3.
Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Banyak
pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan
tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya,
sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan
pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan
memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi.
Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh
politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah
Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah,
baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di
daerah-daerah.
Sementara
itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara
orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis
merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi
sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum
bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri
menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke
arah swadaya.
Perumusan
Pada
tahun 1899, pengacara liberal Belanda Conrad Theodor van Deventer menerbitkan
sebuah esai di jurnal Belanda De Gids yang menyatakan bahwa Pemerintah Kolonial
memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan kekayaan yang telah diterima
Belanda dari Hindia Timur kepada penduduk pribumi.
Jurnalis
Pieter Brooshooft (1845-1921), menulis tentang kewajiban moral Belanda untuk
memberi lebih banyak kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan dukungan kaum
sosialis dan kelas menengah Belanda yang peduli, ia berkampanye melawan apa
yang ia lihat sebagai ketidakadilan surplus kolonial. Dia menggambarkan
masyarakat adat Hindia sebagai "kekanak-kanakan" dan membutuhkan
bantuan, bukan penindasan. Surat kabar adalah salah satu dari sedikit media
komunikasi Hindia Belanda dengan parlemen Belanda, dan sebagai editor De
Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, ia menerbitkan
tulisan Snouck Hurgronje tentang pemahaman orang Indonesia. Brooshooft mengirim
reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal; mereka
melaporkan tentang kemiskinan, gagal panen, kelaparan dan epidemi pada tahun
1900. Pengacara dan politikus yang mendukung kampanye Brooshooft bertemu dengan
Ratu Wilhelmina dan berargumen bahwa Belanda berhutang kepada rakyat Hindia
Belanda sebuah 'hutang kehormatan'.
Pada
tahun 1901, Ratu, di bawah nasihat dari perdana menterinya dari Partai Kristen
Anti-Revolusi, Abraham Kuyper, secara resmi mendeklarasikan "Kebijakan
Etis" yang baik yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat
Hindia. Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan
kolonial pada awal abad ke-20, yang merupakan dasar implementasi Kebijakan.
Para
pendukung Kebijakan berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan
ke Belanda sementara kondisi masyarakat pribumi nusantara buruk.
Tujuan
Para
pendukung Kebijakan prihatin tentang kondisi sosial dan budaya yang menahan
penduduk pribumi. Mereka mencoba untuk meningkatkan kesadaran di antara
penduduk asli tentang perlunya membebaskan diri dari belenggu sistem feodal dan
mengembangkan diri di sepanjang garis Barat.
Pada
tanggal 17 September 1901, dalam pidatonya dari tahta di hadapan Dewan Negara
Belanda, Ratu Wilhelmina yang baru dinobatkan, dengan bantuan Perdana Menteri
Abraham Kuyper, secara resmi mengartikulasikan kebijakan baru - bahwa
pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral kepada penduduk asli Hindia Belanda
yang dapat diringkas dalam 'Tiga Kebijakan' Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi.
Irigasi
Kebijakan
tersebut mendorong upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat biasa
melalui program irigasi, pengenalan layanan perbankan untuk penduduk pribumi,
dan subsidi untuk industri dan kerajinan pribumi.
Emigrasi
Kebijakan
tersebut pertama kali memperkenalkan konsep transmigrasi dari Jawa yang padat
penduduk ke daerah yang kurang padat di Sumatra dan Kalimantan, dimulai dengan
skema yang disponsori pemerintah sejak tahun 1905 dan seterusnya. Namun, jumlah
orang yang pindah selama periode Politik Etis merupakan sebagian kecil dari
peningkatan populasi di Jawa selama periode yang sama.
Edukasi
Pembukaan
pendidikan Barat bagi penduduk asli Indonesia baru dimulai pada awal abad
ke-20; pada tahun 1900. Hanya 1.500 yang bersekolah di Eropa dibandingkan
dengan 13.000 orang Eropa. Akan tetapi, pada tahun 1928, 75.000 orang Indonesia
telah menyelesaikan pendidikan dasar Barat dan hampir 6.500 sekolah menengah,
meskipun ini masih merupakan sebagian kecil dari populasi.
Penilaian
Kebijakan
tersebut merupakan upaya serius pertama untuk membuat program pembangunan
ekonomi di daerah tropis. Ini berbeda dari "misi memperadabkan" dari
kekuatan kolonial lainnya dalam menekankan kesejahteraan material daripada
transfer budaya. Komponen pendidikan dari Kebijakan ini terutama bersifat
teknis karena tidak bertujuan untuk menciptakan pria dan wanita Belanda
berkulit coklat. Kebijakan tersebut kandas pada dua masalah. Pertama, anggaran
yang dialokasikan untuk program-program Kebijakan tidak pernah cukup untuk
mencapai tujuannya, akibatnya banyak pejabat kolonial menjadi kecewa dengan
kemungkinan mencapai kemajuan yang langgeng. Ketegangan finansial dari Depresi
Hebat mengakhiri Kebijakan secara definitif. Kedua, program pendidikan dari
Kebijakan memberikan kontribusi yang signifikan bagi Kebangkitan Nasional
Indonesia, memberikan alat intelektual kepada orang Indonesia untuk mengatur
dan mengartikulasikan keberatan mereka terhadap pemerintahan kolonial.
Akibatnya, banyak kalangan kolonial yang memandang Kebijakan tersebut sebagai
kesalahan yang bertentangan dengan kepentingan Belanda.
Penyimpangan
Pada
dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan
tersebut.
Irigasi
Pengairan
hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi
Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh
rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas
II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
Migrasi
Migrasi
ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan
kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang
menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Penyimpangan
politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat
Indonesia.
Kritik
Pelaksanaan
politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa
ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif).
Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara
pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke
Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest
Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah
yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua
penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang
Eropa yang menetap (blijvers).