Politik uang (Money Politik)
Politik uang jadi momok
dan virus demokrasi, bahkan sebuah kejahatan luar biasa atau extraordinary
crime yang akan mengganggu proses demokrasi Indonesia. Masyarakat dipaksa
memilih untuk kepentingan kandidat dengan memberikan atau menjanjikan
iming-iming duit atau materi lainnya.
Salah satu musuh utama
dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di
Indonesia adalah praktek politik uang. Istilah politik uang dimaksudkan sebagai
praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses,
baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat
pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja,
program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian
uang belaka.
Politik uang atau
politik perut (bahasa Inggris: Money politic) adalah suatu bentuk pemberian
atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada
saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya
dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari
H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian
berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan.
Dasar Hukum
Pasal 73 ayat 3 Undang
Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi :
"Barang siapa pada
waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan
pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu.
Dampak Money
Politik (Politik Uang)
Money politik adalah
suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya dia menjalankan haknya dengan
cara tertentu pada saat pemilihan umum, berdasarkan pasal 73 ayat 3
Undang-Undang No. 3 tahun 1999 dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun
2017 secara jelas mengatur mengenai money politik, suap merupakan golongan
tindak melanggar hukum dalam tatanan masyarakat secara tidak sadar Money
politik merupakan tindakan pelanggaran kompanye yang dapat mengubah literatur
pola pikir masyarakat mengenai sistem politik yang sebenarnya.
Praktik politik uang
akan menyebabkan dampak negatif jangka panjang, yang jika terus dibiarkan
terjadi dapat merugikan banyak pihak. Tidak hanya merugikan masyarakat, bahkan
dapat meluas hingga merugikan negara karena kemungkinan munculnya berbagai
permasalahan baru akibat praktik politik uang. Berdasarkan hasil penelitian
penulis terhadap beberapa literatur, politik uang menghasilkan 3 (tiga) dampak,
yakni 1 (satu) dampak langsung dan 2 (dua) dampak jangka panjang sebagai
berikut :
Pidana Penjara dan
Denda bagi Pelaku
Pidana penjara dan
denda merupakan dampak langsung yang akan terjadi ketika praktik politik uang
dilakukan. Dalam Pemilu dan Pemilihan, praktik politik uang merupakan salah
satu jenis pelanggaran yang ancamannya berupa pidana penjara dan denda. Hal itu
disebutkan secara jelas dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilu
dan UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya yang mengatur tentang Pemilihan.
Ancaman pidana yang
diberlakukan dalam Pemilu bagi pelaku politik uang, disebutkan pada Pasal 523
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Dimana pidana paling rendah adalah penjara 2 (dua)
tahun dan denda Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) serta paling
pidana paling tinggi adalah penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp 48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah). Ancaman pidana Pemilu ini menyasar
pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pada tahapan kampanye dan masa
tenang. Sedangkan pada hari pemungutan suara berlaku bagi setiap orang.
Sementara dalam
Pemilihan, ancaman pidana yang diberlakukan bagi pelaku politik uang disebutkan
pada Pasal 187A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya,
dimana pelaku diancam pidana paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling
lama 72 (tujuh puluh dua) bulan serta denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah). Sementara bagi penerima, diancam pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan serta denda
paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sejatinya, negara
memberlakukan hukum pidana dalam Pemilu/Pemilihan sebagai ultimum remedium atau
upaya terakhir yang menjadi pilihan untuk mencegah terjadinya politik uang.
Namun perlu diingat, dalam ilmu hukum, khususnya ilmu perundang-undangan ada
asas lazim yang berlaku di seluruh belahan bumi, termasuk di Indonesia. Asas
itu adalah asas fiksi hukum (presumtio iures de iure/semua orang dianggap tahu
hukum yang sedang berlaku dan mengikat dirinya). Jika mengacu pada asas
tersebut, maka ketidaktahuan atas aturan pidana politik uang bukan menjadi
pemaaf bagi pelaku ataupun penerima yang hendak dikenakan ketentuan pidana
tersebut.