Psikologi Intelijen Dapat Mengasah Insting Alpha
Dinamika perkembangan
lingkungan strategis seringkali berubah dengan sangat cepat dan terkadang tidak
bisa diprediksi sebelumnya. Perubahan dinamika ini bisa terjadi di tingkat
nasional, regional ataupun internasional, dimana satu sama lain pada akhirnya saling
mempengaruhi. Terutama pada variabel – variabel yang dinilai sensitif terhadap
suatu kejadian, misalnya variabel ekonomi, variabel politik, dan lain
sebagainya. Dalam konteks inilah peran Intelijen menjadi sangat penting agar
bisa menyampaikan informasi yang akurat, tepat, cepat, cermat dan valid kepada
pimpinan, sehingga pimpinan bisa mengambil keputusan atau kebijakan yang sesuai
dalam merespon dinamika perkembangan situasi yang relevan.
Dalam situasi seperti
itu, maka tentu sangat dibutuhkan SDM–SDM Intelijen yang handal dan
profesional. Namun semua ini tentu bukan barang jadi, melainkan sebuah
rangkaian proses yang harus dilalui sehingga para intelijen memiliki dan
memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Secara umum ada 3 rangkaian proses yang
akan dilalui yaitu pertama, seleksi psikologi terhadap kandidat dalam rangka
menemukan calon yang memiliki kesiapan mental, kecerdasan, keterampilan olah
pikir, kondisi psikologi dan fisik yang prima. Kedua, pembinaan mental
psikologi yang berkesinambungan ketika sudah menjadi anggota, terutama saat
akan mengikuti pendidikan lanjutan di bidang intelijen atau saat akan
menjalankan tugas dalam operasi – operasi khusus. Ketiga, pembinaan mental
psikologis jika gagal dalam pelaksanaan tugas, ataupun saat memasuki masa purna
tugas. Semua rangkaian tes psikologi ini pada hakikatnya bertujuan untuk
mengetahui kesiapan mental dan kejiwaan personil.
Coba perhatikan
sejarah, biografi dan kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir Putin dimana saat
ini sedang menjadi perhatian dunia karena keberaniannya dalam menentang
hegemoni barat, AS dan sekutu NATO-nya yang dimanifestasikan dalam invasi Rusia
terhadap Ukraina. Vladimir Putin dikenal juga sebagai salah satu pemimpin yang
suka memainkan psikologi lawannya, dimana Ia kerap datang telat ketika akan
bertemu dengan para kepala negara lain, tetapi selalu tepat waktu saat
konferensi pers atau wawancara. Ia bawa anjing saat bertemu Angela Merkel
karena tahu pemimpin Jerman itu takut pada anjing. Tak heran, jika mantan agen
intelijen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) ini disebut tipe
kepemimpinan Alpha, dengan visi besarnya terkait kejayaan masa lalu Uni Soviet.
Jika dilihat dari
perspektif kajian psikologi kepemimpinan disebut Alpha Instinct, yaitu
kecenderungan seseorang untuk menjadi pemimpin yang dominan dan cenderung
agresif untuk mendapatkan rasa hormat, didengarkan, atau diikuti oleh orang
lain. Putin juga dikenal piawai dalam
memainkan psikologi lawan, misalnya saat bertemu dengan Angela Merkel
dan utusan Jepang ia membawa anjing. Di
samping memainkan rasa takut “lawan”, tentunya ada “pesan psikologi” yang ingin
ia sampaikan dalam bahasa perilakunya. Disinilah kepiawaian dan pengalamannya
di bidang intelijen tidak bisa ia lepaskan dalam konteks diplomasi internasional.
Apalagi dinamika
ancaman yang muncul saat ini tidak terbatas pada ancaman fisik militer, tetapi
juga terorisme, konflik komunal, penyelundupan, narkoba, human trafficking,
illegal logging, money laundring, kriminalitas virtual, dan sebagainya. Padahal
secara fisik pun, persenjataan militer terus dikembangkan dan semakin
mengkhawatirkan. Lihat saja bagaimana perkembangan teknologi bom nuklir, bom
kimia, bom biologis dan bom kombinasi dari semuanya, hingga lahirnya bom
thermobaric. Disinilah kembali peran strategis intelijen akan menjadi
pertaruhan keselamatan sebuah bangsa, dimana mereka harus mampu memberikan
peringatan atau penginderaan dini (early warning) kepada para pembuat keputusan
dalam menghadapi ancaman-ancaman tadi. Dengan demikian SDM intelijen yang
menguasai anatomi dan isu-isu intelijen mutakhir guna menangkal berbagai
ancaman sangat diperlukan. Sebaiknya hindari pemikiran dan perasaan jumawa,
dimana merasa bahwa ilmu intelijen sendiri sudah cukup mumpuni. Perlu diingat
bahwa ilmu intelijen itu sangat dinamik dan harus mampu merespon setiap
perkembangan situasi dengan cepat, maka literasi, kemampuan adaptasi dan
pembentukan jaringan intelijen harus menjadi karakter yang melekat “built in”
dalam SDM intelijen Indonesia.
Dalam implementasi di bidang
intelijen, salah satu ilmu psikologi terapan yang banyak digunakan adalah
psikologi kognitif, yaitu ilmu pengetahuan yang secara perspektif mengkhususkan
diri pada lingkup perspektif pemikiran ingatan manusia. Psikologi kognitif
merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari proses mental dan
pada umumnya membahas mengenai bagaimana cara berfikir, melihat, daya ingat,
dan belajar dari seseorang. Fokus utama dari ilmu psikologi kognitif adalah
mengenai bagaimana cara manusia memperoleh, memproses, serta menyimpan
informasi.
Begitupun jika merujuk pada teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget yang mengemukakan beberapa hukum tentang kognitif, yaitu setiap orang punya aspek kognitif, yang terdiri dari aspek-aspek struktural intelektual. Perkembangan kognitif adalah hasil interaksi dari kematangan organisme dan pengaruh lingkungan. Proses kognitif itu meliputi aspek persepsi, ingatan, pikiran, simbol-simbol, penalaran dan pemecahan persoalan.
Sementara itu, ruang
lingkup studi dalam psikologi kognitif meliputi Persepsi (Perseption),
Pengambilan pola (Pattern Recognition), Perhatian (Attention), Ingatan
(Memory), Imajeri (Imagery), Bahasa (Language), Penalaran (Reasoning),
Pembuatan keputusan (Decision Making), Pemecahan masalah (Problem Solving),
Pembentukan konsep (Concept Formastion or Learning), Perkembangan kognitif
(Cognitive Develoment), Inteligensi manusia (Human Intelligence), Emosi dan
proses kognitif (Emotion and Cognitive Processes)
Dari ruang lingkup
bahasan yang dijelaskan dalam pembahasan psikologi kognitif ini menjadi saat
penting untuk diterapkan dalam bidang intelijen. Mulai dari saat rekruitmen,
pendidikan dan pengembangan, pembinaan berkelanjutan saat pelaksanaan tugas–tugas,
dan masa ‘purna’ tugas. Itulah sebabnya pendidikan dan latihan berkelanjutan
menjadi salah satu instrumen penting dalam membentuk karakter dan watak
intelijen yang memiliki basis fundamental kesemaptaan psikologi.
Referensi :
- Brigham, C. C.
(1923). A study of American intelligence. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
- Davenport, C. (1910).
Eugenics—The science of human improvement by better breeding. New York, NY:
Henry Holt and Co.
- Pastore, N. (1978).
The army intelligence tests and Walter Lippmann. Journal of the History of the
Behavioral Sciences, 14, 316-327.
- Samelson, F. (1977).
World War I intelligence testing and the development of psychology. Journal of
the History of the Behavioral Sciences, 13, 274-282.
- Von Mayrhauser, R. T.
(1989). Making intelligence functional: Walter Dill Scott and applied psychological
testing in World War I. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 25,
60-72.
- Yerkes, R. M. (ed.).
(1921). Psychological examining in the United States Army. Memoirs of the
National Academy of Sciences, 15, 1-890.