NABI IBRAHIM AS ADALAH SOSOK BRAHMA DALAM HINDU
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam; memiliki kesamaan. Baik dalam ajaran tauhid maupun tasawufnya. Semua agama itu, kalau kita pelajari kitab-kitab mereka, juga berbicara tentang ke-Esa-an Tuhan. Meskipun ada ayat dan praktik-praktik yang mengalami deviasi dari spirit aslinya.
Syeikh Ahmad Deedat (1918-2005) ataupun dr. Zakir Naik adalah dua intelektual yang banyak mengupas doktrin agama-agama terdahulu. Semua teks suci kuno mengulas tentang tauhid, juga meramalkan kemunculan Muhammad. Termasuk dalam 3 sumber utama Hindu: Weda, Upanishad, dan Purana. Kalki Avatar (tajalli/citra Tuhan) dan Narasangsa (yang terpuji) misalnya; adalah diantara banyak sebutan yang digunakan untuk guru spiritual (nabi) akhir zaman. Jadi, ketauhidan semua agama terlihat memiliki ushul yang sama. Percaya pada Tuhan yang satu, dengan berbagai gambaran tentang sifat-Nya.
Pun tasawufnya Islam sering dituduh sebagai warisan mistik ajaran sebelumnya, termasuk Hindu. Pun dengan Budha, punya olah jiwa yang terkesan serupa. Kalau anda pelajari Kabbalah Yahudi, juga ada kesamaan meditasinya. Juga dengan sekte-sekte ruhaniah Nasrani. Kok bisa mirip?
Kita tidak bisa mengatakan jika spiritualitas Islam sebagai ajaran “kemarin sore” atau agama baru. Islam merupakan kompilasi pengajaran tentang “kepasrahan kepada Allah” sejak Adam as sampai kepada nabi-nabi setelahnya. Semua agama kuno yang mengajarkan ke-Esa-an Tuhan dapat dipastikan sebagai agama tauhid, agama samawi, agama taslim (yang mengajarkan cara tunduk dan patuh kepada Tuhan, lahir dan batin).
Ibrahim: Bapak (Imam) Semua Bangsa dan Agama
The teaching of tauhid tentu sudah ada sejak Adam as sampai kepada rentetan kenabian setelahnya (Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan anak-anak mereka). Hanya saja, pengajaran yang diberikan masih bersifat lokalitas dan terbatas, untuk kaum tertentu saja. Mungkin saja jumlah penduduk dunia saat itu masih terlokalisir pada wilayah tertentu saja. Seiring perkembangan zaman dan penyebaran populasi, kelihatannya, Ibrahimlah orang yang kemudian paling sukses meramu dan mengokohkan doktrin-doktrin tauhid warisan guru-guru spiritual sebelumnya sehingga berada pada level yang lebih tinggi, untuk ditransmisikan kepada semua bangsa. Karenanya, Ibrahim dikenal sebagai “Bapak Tauhid” (monoteisme) bagi semua agama.
Versi Injil menyebutkan. Awalnya, ia bernama Abram. Lalu diubah Tuhan menjadi Abraham, yang berarti “bapak semua bangsa” (father of nations, father of many). “Kamu tidak akan disebut Abram lagi, melainkan Abraham karena Aku telah menjadikanmu bapak dari banyak bangsa” (Kejadian 17:5). Mahabharata juga mengatakan hal yang sama: “Narayana menciptakan Brahma dan menetapkan bahwa ia akan menjadikan penghulu dari manusia” (Shantiparba Bab 339). Banyak agama dan bangsa berdebat bahwa Ibrahim milik mereka. Dalam spirit non-sektarian, Al-Qur’an menengahi kisruh ini dengan mengatakan bahwa Ibrahim milik bangsa dan agama manapun yang bersikap lurus (hanif) dan berserah diri kepada Allah (muslim):
مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif), berserah diri (muslim) dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik” (QS.Ali ‘Imran: 67)
Biasanya, seorang nabi diutus (identik) hanya untuk kaum tertentu. “Dan nabi-nabi terdahulu diutus hanya kepada kaumnya” (HR. Bukhari). Isa as sekalipun, diutus untuk bani tertentu: “Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu..” (QS. Ash-Shaff: 6). Berbeda dengan Ibrahim, eksistensi dan pesan-pesan tauhidnya tersebar pada semua etnis dan ajaran agama. Bahkan syariat Ibrahim diadopsi secara masif dalam semua tradisi samawi, termasuk Islam (i.e., haji, qurban, khitan, dan sebagainya). Pengaruhnya melampaui sekat waktu, tempat, dan suku. Karena itulah Beliau disebut Tuhan sebagai “imam” bagi umat manusia:
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” “
QS. Al-Baqarah: 124
Muhammad “Reinkarnasi” Ibrahim
Sebagaimana pesan ayat 124 Al-Baqarah di atas, gelar “imam” untuk seluruh umat manusia ini melekat kembali pada Muhammad dan imam-imam keturunan Ibrahim di akhir zaman. Sebab, dakwah Muhammad dan imam-imam paska beliau mereplika karakter millah Ibrahim yang energi cinta dan kasih sayangnya ditujukan untuk semua suku dan bangsa: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua..“ (QS. Al-‘Araf: 158). “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada seluruh umat manusia..” (QS. Saba: 28).
Tidak ada ayat Al-Quran yang diawali “Ya bani Quraisy” ataupun “Ya ayyuhal Araby”. Melainkan dimulai dengan “Ya ayyuhannas” (wahai manusia), ataupun “Ya ayyuhalladzina aamanu” (wahai orang-orang yang beriman). Ini menunjukkan universalitas pengutusan Muhammad, bukan untuk satu kaum. Sebagaimana Ibrahim disebut sebagai “father of the multitude” yang penuh kasih sayang (ab-Raham, Ab-Rahim, Ab/bapak, Rahim/penyayang); demikian juga Muhammad: Rahmatal lilálamin (Rahman bagi semesta alam).
Jadi, Muhammad itu memang “reinkarnasi” dari Ibrahim. Hanya ada dua nabi yang universal pengajarannya, menjadi bapak semua bangsa, rahmatal lil’alamin: “khalilullah” Ibrahim dan “habibullah” Muhammad. Keagungan Ibrahim berulang kembali pada sosok Muhammad. Sehingga dikatakan, yang paling dekat dengan Ibrahim adalah mereka yang mentabik, mengikuti atau berwashilah kepada Muhammad: “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad).” (SQ. Ali Imran: 68).
Spiritualitas yang ditransfer Muhammad, persis sama seperti apa yang didakwahkan Ibrahim: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah millah (agama) Ibrahim yang hanif” (QS. An-Nahl: 123). Karena kesamaan inilah, shalawat (balasan cinta kita) kepada Muhammad dan Keluarganya selalu dibandingkan dengan shalawat kepada Ibrahim dan Keluarganya:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ و بَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, berilah kasih sayang kepada junjungan kami Muhammad dan Keluarganya sebagaimana Engkau memberi kasih sayangMu kepada junjungan kami Ibrahim dan Keluarganya. Dan berkatilah junjungan kami Muhammad dan Keluarganya sebagaimana Engkau memberkati junjungan kami Ibrahim dan Kelurganya, sesungguhnya diseluruh alam ini Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.
Ketika menyebut Muhammad sebagai “reinkarnasi” Ibrahim, terkesan seperti Hindu. Kita tentu tidak menerima semua konsep reinkarnasi yang kadang-kadang terlalu liar. Dalam ajaran Hindu, reinkarnasi secara sederhana dipahami sebagai “penjelmaan kembali, secara berulang kali, karena roh tetap hidup walaupun terleburnya badan, dan roh masuk ke dalam bentuk badan yang baru”. Dan diakui oleh umat Hindu sendiri, proses reinkarnasi merupakan suatu fenomena unik yang tidak mudah dijelaskan dan memerlukan pengetahuan untuk memahaminya (I Ketut Kaler, “Reinkarnasi dalam Pemikiran Masyarakat Hindu Bali”, Universitas Udayana, 2016).
Namun, dalam gnostisime Islam ini mudah dipahami sebagai fenomena “pewarisan ruhani” (warasatul anbiya), yang bersifat terus menerus atau berulang-ulang. Ada sesuatu yang bersifat “ruhaniah” yang diteruskan secara kontinyu, sehingga orang yang menerima warisan ruhani itu memiliki kesamaan (kemiripan) derajat, pangkat, dan fungsi-fungsi seperti orang yang mewariskannya. Jadi, “reinkarnasi” ini sejatinya adalah konsep spiritual tingkat tinggi pada mata rantai (silsilah) ruhaniah orang-orang suci. Bukan untuk dipahami bahwa semua orang mati, akan hidup lagi dalam wujud lainnya. Mati, lalu dibangkitkan lagi dalam rupa yang sesuai dengan amal (karma), itu benar. Itu masuk dalam konsep eskatologi (kebangkitan di hari akhir).
Yang di-reinkarnasi (diwariskan) seorang nabi kepada nabi selanjutnya adalah “Ruhani”-Nya. Inilah yang dalam ilmu tasawuf disebut sebagai pewarisan Nur Muhammad (dalam berbagai nama disebut Ruhul Quddus, Ruhul Muqaddasah Rasulullah, Ruhani Rasulullah, Ruh, Al-Ruh, Roh, atau Jibril). Semua ini entitas ilahiyah, Ruh yang Tinggi, Cahaya Allah, yang jika itu menghampiri jasad seseorang; akan membuat ia menjadi nabi/rasul (utusan Tuhan). Karena yang disebut nabi atau rasul adalah seseorang yang dalam dirinya telah ‘dirasuki’ Cahaya Allah (entitas Ruh, Nur Muhammad). Sehingga ia mampu berbicara atas nama Allah. “Rasul” artinya “utusan Tuhan”. Ada ‘bagian’ atau ‘elemen’ Tuhan yang hadir, diutus atau diturunkan dalam dirinya, yaitu Ruh: Tanazzalul Malaa-ikatu war Ruh, QS. Al-Qadar: 4). Dan Ruh ini terus diwariskan (mengalami reinkarnasi) dari satu nabi ke nabi lainnya. Sehingga dapat kita katakan, seorang nabi adalah “jelmaan” nabi sebelumnya. Semua mereka punya sanad ruhaniah. Dalam artian, unsur ruhaninya sama, ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam Hindu juga disebutkan, “reinkarnasi selalu terjadi sebagai suatu proses karena kesadaran sang roh untuk masuk ke bentuk kehidupan baru sesuai dengan karma, dan demikian seterusnya sampai sang roh suci berada pada titik kesempurnaan, kekal abadi yaitu ”Moksa” (I Ketut Kaler, “Reinkarnasi dalam Pemikiran Masyarakat Hindu Bali”, Universitas Udayana, 2016). Dalam konteks tasawuf memang begitu. Ruh Al-Ilahi ini tidak pernah mati, akan terus diwariskan sampai hari kiamat kepada orang-orang yang memiliki kesiapan dan kesucian jiwa. Ruh tertinggi ini hanya menghampiri (bertajalli) pada mereka-mereka yang memiliki mujahadah yang tinggi, atau telah mencapai level “moksa” alias “maksum” (suci). Pada level tertinggi, orang-orang suci ini disebut sebagai nabi. Selanjutnya disebut para imam, mursyid atau wali-wali. Merekalah “waris” (jelmaan, reinkarnasi, penerus) nabi. Mereka ini orang-orang yang “jiwa”-nya (dalam terminologi Hindu disebut “Atman”), telah menyatu (lebur/fana) dalam Brahman (Ruh Al-Ilahi).
Itulah Muhammad, wujud “reinkarnasi” dari Ibrahim (Brahma) melalui sanad ruhaniah para nabi dan orang-orang suci sebelumnya. Entitas nurullah yang sama, yang dulunya pernah hinggap di wajah Ibrahim, juga bersemayam di dada Muhammad. Bahkan kaum sufi mengatakan, Muhammad adalah tajalli, manifestasi, atau citra dari sang Tuhan itu sendiri. Meminjam bahasa Hindu, Muhammad itu reinkarnasi dari Brahman (Sang Hyang). Ada unsur-unsur ketuhanan dalam rupa biologisnya. Al-Quran meringkas pemahaman ini dengan kata-kata penuh kerendahan hati: “Sesungguhnya aku ini manusia sepertimu, yang dititiskan Wahyu..” (QS. Al-Kahfi: 18). “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (Q.S Al-Isra’ ayat 93). Dalam bahasa Hindu: “Aku Brahma (manusia biasa/basyar) yang kebetulan mendapat titisan Brahman (memiliki unsur-unsur difinitas)”.
Ibrahim “Mencari Tuhan”
Bukan hanya menjadi bapak “monoteisme” (prinsip ke-Ahad-an Tuhan yang terpisah dari manusia); Ibrahim juga dikenal sebagai bapak sufisme atau “monisme” (prinsip kemanunggalan Tuhan dalam segala eksistensi) bagi semua bangsa dan agama. Ibrahimlah yang dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai sosok paripurna, pencari “hakikat” Tuhan, dan ia sukses mencapai maqam rabbani (dinarasikan dalam QS. Al-An’am: 74-78). Ia berhasil menghadap (“menyatukan”) wajahnya dengan Wajah Allah setelah menyingkap banyak tabir (berhala). Sehingga, pengalaman Ibrahim ini menjadi doktrin hakikat dalam bacaan shalat kita sampai hari ini: inni wajjahtu wajhiya…. (QS. Al-An’am: 79). Topik “Wajah Allah” adalah aspek kajian esoteris dalam Islam. Proses penyatuan wajah menjadi garapan khusus dalam metodologi (praktik) irfan atau tariqah.
Namun, ketika disebut Ibrahim “mencari Tuhan”, jangan mengira ia memulainya dari kekafiran. Tidak ada nabi yang memulai karir dari seorang kufur. Ia sudah muslim (bertauhid) sejak lahir. Ayah kandungnya yang bernama Tarikh (Terah), itu orang beriman. Ia mewarisi keimanan dari anak turunan Nuh yang shalih. Yang musyrik itu, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an adalah Azar, ayah tirinya. Silsilah lengkap Ibrahim sampai ke Nuh adalah: Ibrahim bin Tarikh bin Tahur bin Syaru’ bin Abarghu bin Taligh bin Abbir bin Syalih bin Arfakhasdzi bin Sam bin Nuh.
Perjalanan Ibrahim “mencari Tuhan” adalah perjalanan sufistik. Perjalanan jiwa menembusi alam fisik, menuju alam metafisis murni. Yang digambarkan Alquran sebagai bintang, bulan, dan matahari adalah proses salik Ibrahim untuk menafikan segala bentuk ilah lahiriah yang sangat lemah dan rendah posisinya dalam gradasi eksistensi. Bintang, bulan, dan matahari juga diriwayatkan sebagai metafor para “guru” Ibrahim dalam penapakan spiritual. Mereka semua memiliki level emanasi Cahaya yang berbeda, dan tentunya bukan (Dzat) Tuhan, yang kemudian mengantarkan Ibrahim sampai kepada Wajah Allah yang azali, yang berada dibalik yang “tenggelam” itu semua. Jadi, Ibrahim tidak se-naive itu, menganggap objek semacam bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan. Walaupun bangsa-bangsa pada terdahulu termasuk pemerhati benda-benda langit.
Menariknya, ayat serupa juga ditemukan dalam Upanishad: Na tatra suryo bhati na chandra tarakam. “O Lord! Neither the sun, nor the moon, nor the stars can illumine you. “Tidak matahari, tidak bulan, juga tidak bintang-bintang; yang menggambarkan Dirimu” (Mondok Upanishad 2/2/15 dan Shetasshatara Upanishad 6/14).
Ibrahim adalah Brahma
Karena universalitasnya sebagai bapak tauhid dan sufi, maka ada yang meyakini; Ibrahim, Abraham, Ab-Raham, Abram, Brahm yang memiliki salah satu istri bernama Sara ini adalah sosok yang juga disebut sebagai Brahma dalam tradisi Hindu, yang beristrikan Sara-iswati. Pun ada yang meyakini, Hindu yang otentik ini sebagai kelompok Sabi’in (Sivaisme) yang disebut dalam Al-Qur’an. Semua kelompok ahli kitab yang bertauhid serta bagus amal shalehnya ini mendapat jaminan dari Tuhan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah: 62).
Kalau dilihat dari tahun kemunculan Hindu (sekitar tahun 1700 SM); ini sangat dekat dengan masa Ibrahim, sekitar tahun 2100 SM (C.L.Woolley, “Abraham”, 1936). Bahkan bisa disimpulkan, Hindu tumbuh tidak jauh setelah kemunculan Ibrahim.
“Hindu” itu sebenarnya nama baru. Pada awal terbangunnya ajaran ini (2000 SM), tidak ada yang namanya agama Hindu. Sebab, ajaran ini hanyalah “jalan”, dharma abadi, atau kumpulan pandangan hidup dan praktik moralitas sehari-hari berdasarkan filsafat dan kompilasi shuhuf-shuhuf yang mereka miliki, khususnya Brahmanisme. Hindu sendiri diambil dari nama “Shindu” (bahasa Persia) atau “Indus” (bahasa Inggris). Yaitu sebuah sungai yang membelah Pakistan. Jadi, Hindu merujuk pada suku bangsa diseberang sungai Indus (yaitu India hari ini) yang mengamalkan ritus-ritus puja/sembahyang, doa, ziarah, pertapaan, dan sejenisnya. India atau Hindi belakangan juga disebut Hindustan (tanah orang-orang pengamal ritus Hindu).
Jika “Brahma” itu adalah “Ibrahim”, maka secara geografis juga memungkinkan ia memiliki pengaruh sampai ke wilayah Shindu (India). Ibrahim berasal dari suku Ur di kota Babilon, Mesopotamia kuno (Irak sekarang). Sejumlah sumber menyebutkan, suku Ur berkembang menjadi Urian, Aryan, atau Arya. Orang-orang India diseberang sungai Indus (pengikut Hindu) juga disebutkan sebagai orang-orang Arya yang hijrah kesana. Simbol-simbol Hindu hari ini juga dikatakan sebagai simbol-simbol Arya. Seperti “swastika”, lambang Hindu yang juga menjadi logo partai Nazi di German.
Tidak hanya ke wilayah India, bangsa Arya juga berkembang sampai ke Eropa. Kita masih teringat bagaimana Hitler bangga dengan ras Arya-nya. Bangsa Persia pun disebut sebagai Arya, dan mengaku sebagai turunan Hazrat Ibrahim dari Ur. Makanya, Zoroaster (Majusi) juga memiliki pesan-pesan tauhid yang sangat kuat dalam kitab-kitabnya. Dalam ajaran Zoroastrianisme, hanya ada satu Tuhan yang universal dan Maha Kuasa, yaitu Ahura Mazda (Yang Maha Bijaksana). Mereka juga percaya konsep hari kebangkitan (eskatologi). Paling tidak, para sejarawan percaya, anak turunan Nuh dari Mesopotamia ini (Sam, Ham dan Yafet) telah menyebar ke berbagai arah paska banjir besar (kisah air bah ini ikut juga terekam dalam kitab-kitab Hindu, dan Nuh disebut sebagai “Manu”). Turunan Semitik, Hamitik dan Yafetik inilah yang diduga telah berperan dalam pengembangan peradaban dan penanaman nilai-nilai dasar tauhid dalam berbagai nama agama dan ajaran, pada sejumlah bangsa di era kuno.
Dengan demikian, maka benar jika Mesopotamia disebut sebagai “The Cradle of Civilization” (tempat lahirnya peradaban). Disitulah Ibrahim the father of nations lahir dan mengembangkan tauhid secara global. Semua bangsa dan agama menangkap pesan-pesan keadabannya. Fakta lain menunjukkan, kota kelahiran Ibrahim bernama Babel atau Babilon, yang berasal dari kata “Bab El”, “Bab Eloh”, atau Bab Ilahon” (Pintu Tuhan). Beberapa sumber sejarah menyebutkan, akselerasi Babilon menjadi sebuah pusat peradaban juga dimulai dari awal milenium 3 sebelum masehi (tahun 2000 SM). Artinya, sangat berdekatan dengan periode Ibrahim. Seolah-olah, keberadaan Ibrahim di Babilon menjadi kunci pintu ketuhanan bagi banyak bangsa. Kenyataannya, Hindu dan Budha tumbuh disisi timurnya (India). Sedangkan Yahudi, Kristen dan Islam muncul di sebelah baratnya (Arab). Jika Babilon menjadi “Pintu Tuhan”, masyriq dan magrib, timur dan baratnya “milik Tuhan”. Semua agama termasuk Hindu (yang kemudian berevolusi dalam Budha), sepertinya memiliki tapak pada ajaran tauhid sang “Brahma”, Ibrahim.
Jadi, bagaimana Ibrahim menjadi (dikenal sebagai) Brahma di India? Disatu sisi, Mesopotamia dan India berada dalam satu bidang geografis yang relatif berdekatan. Artinya, ada kemungkinan Ibrahim memiliki safari dakwah sampai kesana. Konon dalam sejarah, beliau juga dikenal sebagai pengembara. Lahir di Ur (Irak), ia pernah melakukan perjalanan sampai ke Syam (Suriah). Ia juga hadir ke Mekkah, meninggikan tapak Kakbah dan menempatkan Ismail (anak sulungnya dari Hajar) untuk mendiami lembah itu dan menjadi datuk dari bangsa Arab. Terakhir, ia wafat di Hebron, Kanaan (Palestina). Disini, Ishak (anak dari Sarah) menjadi datuk bagi Bani Israil, suku-suku Iran, Zimbran, Jakshan, Wedan, Midian, Isbhak dan Suah.
Namun kita tidak punya informasi yang mencukupi, apakah ia pernah berinteraksi sampai ke anak benua India. Setidaknya ada satu informasi lain dari Bible yang menyebutkan, bahwa ia juga memiliki istri bernama Keturah. Disebutkan, anak keturunan Keturah inilah yang berkembang dan menyebarkan ajaran Ibrahim ke wilayah Timur (kelihatannya India). Kenyataannya, Hindu berkembang di India tidak begitu berjarak, hanya 1-3 abad setelah Ibrahim. Pun banyak kesamaan bahasa antara Arya India dengan orang-orang Ur di Mesopotamia (Irak). Sebuah indikasi ada migrasi peradaban dari Mesopotamia ke tanah Shindu.
Mengapa Brahma (Ibrahim) Di ‘Tuhankan’ di India ?
Kalaupun kemudian Ibrahim (Brahma) ‘dituhankan’ di India, mungkin itu pengaruh monisme dan pemahaman teofani yang sangat kuat pada sebagian agama samawi. Ini berkaitan dengan pembahasan di atas terkait “reinkarnasi”. Dalam makna tertentu, Tuhan (Brahman) “bertajalli” (dalam bahasa Hindu: berinkarnasi) pada diri Ibrahim. Ibrahim (Brahma) itu wujud Zahir dari dimensi ketuhanan (Brahman). Dalam bahasa lebih keras, Ibrahim itu (patung/kakbah/simbol) dari sang Tuhan. Meskipun, patung/kakbah itu bukan Tuhan, bukan sesembahan. Dan harus ‘dihancurkan’ untuk mengenal Tuhan yang azali. Namun kiblat tetap diperlukan sebagai arah rukuk sujud (wasilah) menuju Tuhan.
Dalam Hindu, nama Brahma dengan Brahman memiliki makna reciprocal (timbal balik). Brahma (nama wujud/sosok/orang), merupakan refleksi dari Brahman (sifat-sifat atau dimensi ketuhanan). Sehingga, jika Brahma itu adalah Ibrahim, maka ia adalah manifestasi dari asma Tuhan (Brahman) itu sendiri. Dengan demikian, Brahma bukanlah Tuhan (sebagaimana cenderung diapahami). Melainkan sosok utusan Tuhan yang memiliki akhlak (citra) Tuhan. Tuhan dengan utusan-Nya sering berbagi nama. Muhammad, misalnya, itu Hamid. Ataupun Ahmad, itu nama lain dari Ahad (bila mim, tanpa huruf “mim”). Bahkan yang disebut makrifat adalah mengenal nama imam zaman (utusan Tuhan) pada masanya. Pada nama sang utusan, disitulah tersembunyi sang Tuhan.
Sedangkan yang disebut “Brahmana” adalah kasta ruhaniawan, kelompok cendekiawan, pendeta atau agamawan yang menguasai pengetahuan batiniah (sacred knowledge), adat, dan adab dalam Hindu. Semua karakter ini ikut merefleksikan karakteristik religiusitas atau kehanifan Ibrahim. Kata “Brahma” juga memiliki arti: yang tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari dirinya. Semua makna ini terasa seperti terkait dengan kebesaran, perluasan dan perkembangan pengaruh Ibrahim (sang Brahma) terhadap semua agama dan bangsa.
Dalam beberapa literatur, nama Brahma diidentikan dengan nama Agni (api). Bukan kebetulan jika Ibrahim juga terkenal dengan kemampuannya menguasai elemen api. Ia tidak terbakar saat dihukum Namrud. Tidak mustahil jika hal ini berkembang menjadi sebuah mitologi dalam Hindu, bahwa Beliau “dewa api”. Dalam Upanishad disebutkan: “Api bahkan tak dapat menyentuh rambut sang Brahma” (Keno – Upanishad 305/6).
Namun demikian, hipotesis “Nabi Ibrahim as adalah sosok Brahma dalam Hindu” perlu pengujian lebih lanjut. Kebenarannya tidak sesederhana ilmu “cocoklogi”. Walaupun berbagai kesamaan ini mengkorfirmasi dugaan kita. Yang jelas, Ibrahim itu sosok familiar dalam sejarah monoteisme banyak bangsa dan agama. Sementara, siapa figur Brahma yang juga telah memperkenalkan dasar-dasar tauhid yang begitu esensial dalam manuskrip-manuskrip awal Hindu, yang ternyata hadir dalam waktu hampir bersamaan dengan Ibrahim, itu perlu kajian.
Namun studi terhadap sejarah kuno tidak selalu mudah. Para peneliti terkadang harus menghadapi manuskrip yang berumur 4000an tahun, yang seringkali penuh kiasan berbungkus mitos dewa-dewi. Namun tetap penting untuk didiskusikan, guna menemukan “kalimatun sawa” (titik kesamaan) antar bangsa dan umat beragama. Membangun toleransi. Sekaligus menerangkan Islam, Muhammad dan wali-walinya sebagai kelanjutan wasilah para nabi, budha, resi, rahib, bikshu, dan pendeta-pendeta monoteistik terdahulu. Juga untuk menjelaskan universalitas tauhid dan sufisme dalam semua tradisi samawi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.