Apa itu Greedflation dan Greenflation ?
Greedflation
Greedflation merupakan Keterkaitan Laba Korporasi dengan Tingginya Inflasi.
Di tengah penantian keputusan suku bunga acuan Federal Reserve pekan ini, pasar menilai upaya perusahaan mengeruk laba memiliki andil bagian besar terhadap inflasi, dan mempertahankan suku bunga tetap tinggi adalah cara terbaik untuk mengendalikannya.
Ekonom menyebut fenomena ini sebagai greedflation, atau inflasi yang didorong oleh keserakahan perusahaan dalam mengeruk laba.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (12/6/2023), sekitar 90 persen dari 288 responden survei Markets Live Pulse (MLIV) dari kalangan profesional dan investor ritel mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan telah menaikkan harga melebihi biaya yang mereka keluarkan sejak pandemi dimulai pada tahun 2020.
Sudah tidak asing di telinga kita ketika membicarakan tentang inflasi, secara harfiah kita mendefinisikan inflasi sebagai kondisi di mana barang-barang yang beredar di pasaran mengalami kenaikan pada periode waktu tertentu. Singkatnya, kenaikan harga tersebut diiringi dengan daya beli yang semakin menurun.
Misalnya, terjadi perbedaan harga yang cukup mencolok pada beberapa komoditas year-over-year (YOY). Sebagai contoh dapat kita ambil harga semangkuk bakso di tahun 2010 akan sangat jauh berbeda dengan harga bakso di tahun 2023, terlihat sebagai contoh yang terlalu usang, tetapi perlu kita sadari melalui hal tersebut kita dapat menyadari bahwa inflasi benar-benar terjadi dan terkadang tanpa kita sadari telah meningkat. Selain inflasi, beberapa di antara kita juga mengenali “flasi” yang lainnya, seperti stagflasi, hiperinflasi, dan deflasi.
Tetapi, masih terdapat satu jenis “flasi” lainnya yang sudah terjadi di beberapa negara, yaitu greedflation. Di Amerika, khususnya, telah menunjukkan adanya greedflation yang ditandai dengan peningkatan upah yang sangat cepat dan berdampak pada aktivitas produksi dan pasar. Mungkin, kenaikan gaji merupakan salah satu harapan terbesar dari para pekerja dan salah satu aspek yang dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, namun dalam pengertian tertentu hal tersebut dapat memicu wage-price spiral.
Fenomena tersebut dapat terjadi karena adanya putaran dari respons balik antara upah dan harga, sehingga dapat memicu suatu siklus inflasi yang tidak terputus. Siklus ini dapat terjadi dan memengaruhi beberapa aspek, misalnya upah buruh, biaya produksi, respons pasar, perilaku konsumen, hingga inflasi yang tidak mudah terputus.
Untuk kondisi Indonesia saat ini, mungkin beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah tergolong cukup baik untuk menekan angka inflasi. Akan tetapi, sebagai langkah tambahan untuk mengatasi adanya greedflation atau wage-sprice spiral, maka pemerintah dapat mengambil beberapa langkah. Misalnya, menentukan kebijakan fiskal dan moneter yang ketika diterapkan akan berdampak langsung pada kondisi perekonomian agar tetap stabil, langkah ini dapat diambil melalui kebijakan belanja negara dan suku bunga.
Manajemen rantai pasokan juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bahan mentah yang terhambat selama di perjalanan, dengan adanya manajemen rantai pasokan yang lebih efisien, negara dapat berperan untuk menstabilkan lonjakan inflasi karena kebutuhan pasar dapat terpenuhi dengan tepat waktu dan kelangkaan dapat ditekan secara bertahap.
Manajemen sumber daya manusia melalui pelatihan dan keterampilan yang akan mendorong kenaikan upah tanpa harus memicu tumbuhnya angka inflasi, dengan adanya tenaga kerja yang memiliki kemampuan yang baik, harapannya perekonomian akan berjalan dengan stabil meski beban gaji atau upah yang ditanggung oleh perusahaan meningkat, sehingga wage-price spiral tidak terjadi.
Dan, salah satu langkah klasik lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui regulasi dan kontrol persaingan agar setiap entitas di dalam sistem ekonomi atau pasar mendapatkan kesempatan yang sama dan tidak adanya kecurangan yang mampu mendorong ketidakstabilan perekonomian meski pada praktiknya kecurangan selalu menjadi ancaman nyata yang akan dibatasi dengan regulasi terkait harga-harga, misalnya melalui Harga Eceran Tertinggi (HET), Harga Acuan Pembelian, atau Harga Acuan Penjualan.
Teori Baru Greedflation
Sebuah teori inflasi baru telah muncul, yang disebut dengan greedflation. Ini menunjukkan inflasi yan didasarkan pada keserakahan perusahaan.
Penelitian tahun 2022 menunjukkan, perusahaan yang bersiap menghadapi prospek inflasi mungkin telah membantu mendorongnya. Ekonom dengan Federal Reverse Bank berusaha memeriksa bagaimana markup perusahaan atau laba terkait dengan inflasi.
Mereka kemudian menemukan bukti bahwa pertumbuhan markup merupakan kontributor utama inflasi pada tahun 2021. Markup tumbuh sebesar 3,4 persen sepanjang tahun, sementara inflasinya sebesar 5,8 persen. Mereka menyebut, markup itulah yang mungkin menyumbang lebih dari setengah inflasi pada tahun 2021.
Andrew Glover, rekan penulis studi dan ekonom senior di departemen ekonomi di Federal Reverse Bank of Kansas City mengatakan, itu menyiratkan jika sebagian besar inflasi pada tahun 2021 sesungguhnya terjadi karena markup tumbuh lebih cepat dari biasanya.
Apa yang mereka temukan dalam periode kenaikan harga dan sifat kenaikan yang luas, meski permintaan dan tekanan inflasi tidak sama adalah perusahaan cenderung menaikkan harga untuk mengantisipasi biaya bisnis yang lebih tinggi di masa depan.
Terkait dengan apakah perusahaan menggunakan inflasi sebagai kedok menaikkan harga, para peneliti enggan berspekulasi. Namun, dari penelitian mereka tersebut mengakui adanya istilah greedflation. Konsep itu kemudian ditangkap baik Robert Reich, mantan Menteri Tenaga Kerja Amerika Serikat dan pendiri Economic Policy Institute.
Robert mencatat, laba perusahaan berada pada level tertinggi dalam 70 tahun.
Ketika perusahaan begitu dibanjiri uang tunai, dia mempertanyakan, kenapa mereka justru menaikkan harga, yang bukan akibat dari kenaikan biaya pasokan dan komponen atau pekerja yang mendapatkan kenaikan gaji.
Greedflation digambarkan sebagai fenomena di mana perusahan memanfaatkan periode inflasi untuk menaikkan harga produk atau layanannya secara berlebihan untuk tujuan memaksimalkan keuntungan, meski biaya produksi yang mendasarinya tidak meningkat secara proporsional.
Perilaku ini dapat mengakibatkan kenaikan signifikan pada tingkat harga keseluruhan, yang menyebabkan penurunan daya beli mata uang dan berkontribusi bagi inflasi.
Selama periode inflasi, tingkat harga umum barang dan jasa cenderung meningkat, yang dapat disebabkan beberapa faktor, seperti meningkatnya jumlah uang beredar, perubahan permintaan dan penawaran barang, serta perubahan kebijakan pemerintah.
Dalam situasi ini, pemasok mungkin tergoda menaikkan harga guna mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar. Namun, jika biaya produksi yang mendasarinya tidak meningkat secara signifikan, kenaikan harga tersebut dapat dianggap sebagai langkah oportunistik, yang didorong oleh keinginan untuk mengeksploitasi situasi dan keuntungan dengan mengorbankan konsumen.
Selain itu, ada beberapa dampak negatif dari greedflation, yaitu :
1. Mengurangi akses ke produk esensial.
Ketika harga produk utama, seperti makanan meningkat dengan cepat karena greedflation, ini dapat menyebabkan berkurangnya akses bagi mereka yang tidak mampu membeli. Akibatnya, kerawanan pangan dan kelaparan terjadi, terutama di rumah tangga berpendapatan rendah yang berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Kesulitan ekonomi.
Dengan meningkatnya harga akan menambah tekanan keuangan pada rumah tangga dan individu yang sudah berjuang mengelola pengeluaran mereka. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan ekonomi, yang dapat bermanifaste dalam berbagai cara, seperti utang, ketidakmampuan membayar tagihan, dan ketidakamanan finansial.
3. Tekanan inflasi.
Greedflation dapat menciptakan inflasi dalam perekonomian, sehingga menyebabkan peningkatan keseluruhan harga barang dan jasa, serta mengurangi daya beli konsumen. Ini juga dapat berdampak negatif pada perekonomian secara keseluruhan, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi lebih lambat dan pengangguran melonjak lebih tinggi.
4. Keuntungan jangka pendek, kerugian jangka panjang.
Sementara, greedflation menghasilkan keuntungan jangka pendek untuk bisnis yang terlibat dalam praktik tersebut, hal ini bisa menyebabkan kerugian jangka panjang bagi industri karena dapat merusak kepercayaan dan loyalitas konsumen, yang menyebabkan hilangnya pelanggan dan penurunan penjualan. Ini juga dapat menyebabkan pemerintah mengambil tindakan regulasi, yang dapat menimbulkan kerugian finansial lebih lanjut bagi industri.
Perusahaan memang perlu menaikkan harga selama periode inflasi, namun memenuhi kebutuhan pelanggan lebih utama ketimbang meningkatkan margin keuntungan.
Greenflation
Pada dasarnya, Greenflation sendiri merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu.
Topik inflasi ramah lingkungan (green Inflation) merupakan topik yang hangat dan menarik, karena kenaikan harga energi telah menyebabkan gejolak sosial dan masalah ekonomi.
Green inflation sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.
Pada dasarnya, Greenflation sendiri merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu.
Mengadaptasi metode produksi dengan teknologi rendah karbon, yang mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca, di satu sisi memerlukan investasi besar dan mahal yang akan meningkatkan biaya marjinal setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek. Di sisi lain, penggunaan energi dari bahan yang lebih langka dan karena itu lebih mahal. Hal ini akan menciptakan tekanan ke atas pada harga.
Green Inflation mengadaptasi metode produksi dengan teknologi rendah karbon, yang mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca, di satu sisi memerlukan investasi besar dan mahal yang akan meningkatkan biaya marjinal setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek. Di sisi lain, penggunaan energi dari bahan yang lebih langka dan karena itu lebih mahal. Hal ini akan menciptakan tekanan ke atas pada harga.
Transisi energi juga dapat menimbulkan dampak makroekonomi tidak langsung terhadap inflasi. Dalam jangka pendek, dampak-dampak ini sebagian besar akan mendorong kenaikan harga sehingga terjadi inflasi.
Dalam jangka menengah dan panjang, transisi energi akan menekan harga energi sehingga bisa terjadi disinflasi. Disinflasi yang berasal dari dampak positif transisi terhadap peningkatan pasokan dan produktivitas dapat menjadi lebih penting.
Semakin cepat dekarbonisasi dimulai, dengan cara yang jelas, bertahap dan didukung, maka dampaknya terhadap gangguan dan inflasi akan semakin moderat, dan semakin cepat pula dampak positifnya menjadi nyata.
Greenflation Diawali Green Production
Transisi ramah lingkungan sebagian besar akan melibatkan perubahan metode produksi. Hal-hal terakhir ini memang bertanggung jawab atas tingginya emisi gas rumah kaca (GRK). Untuk menghasilkan produksi yang "hijau", modal ini perlu digantikan dengan struktur, peralatan, material dan teknik yang lebih sedikit menghasilkan emisi GRK. Perubahan besar ini cenderung bersifat inflasi, meskipun dampak sebaliknya tidak dapat dikesampingkan.
Beberapa mineral yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri "net zero" tersedia dalam jumlah terbatas dan beberapa lainnya sulit untuk diekstraksi meskipun permintaannya tinggi. Beberapa bahan tersebut terkandung di bahan mineral, seperti lithium.
Menurut Badan Energi Internasional, total permintaan mineral untuk menghasilkan teknologi rendah karbon diperkirakan meningkat empat kali lipat pada tahun 2040 dengan asumsi bahwa tujuan Perjanjian Paris tercapai.
Mengenai lithium, misalnya, permintaannya diperkirakan akan meningkat empat kali lipat antara tahun 2025 dan 2035, para ilmuwan masih terpecah mengenai apakah cadangan yang tersedia akan cukup untuk memenuhi permintaan baterai listrik yang terus meningkat.
Kesulitan besar pertama datang dari keterbatasan kepemilikan karena adanya tingginya konsentrasi pasokan bijih di tangan sejumlah kecil produsen.
Sekitar 91% litium hanya diproduksi oleh tiga negara pada tahun 2022 (Australia, Chili, dan China) dan lebih dari 52% produksi kobalt berasal dari Republik Demokratik Kongo pada 2020.
Paparan gas Rusia di Eropa menunjukkan dengan baik sejauh mana dampaknya terhadap gas Rusia. ketergantungan pada satu mitra membuat negara-negara pengimpor sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas.
Selain itu, tambang baru dapat beroperasi selama 20 tahun, sehingga menambah kendala pasokan. Yang terakhir, hambatan lingkungan (perhatian terhadap kerusakan keanekaragaman hayati) juga membebani pasokan mineral-mineral ini.
Konsentrasi pasokan dan keterbatasan teknik penambangan membuat pasokan menjadi sangat tidak elastis. Kombinasi pasokan yang rendah dan permintaan yang kuat menciptakan konfigurasi inflasi di pasar-pasar ini.
Kemudian, perusahaan dan otoritas publik harus mengarahkan penelitian mereka ke proses-proses baru untuk melakukan dekarbonisasi industri mereka.
Namun, teknologi baru ini memerlukan investasi besar (terutama dalam penelitian dan pengembangan), terutama selama masa transisi. Investasi dalam transisi energi ini diharapkan mewakili rata-rata 2% PDB global per tahun hingga tahun 2050 untuk menyelesaikan transisi ini.
Dalam jangka pendek, investasi yang lebih mahal akan meningkatkan biaya produksi tetap yang akan dibebankan pada harga dan oleh karena itu menimbulkan dampak inflasi.
Di sisi lain, sebagian dari modal yang digunakan saat ini akan dinyatakan usang sebelum akhir siklus hidupnya ("aset terlantar"). Hal ini mirip dengan penghancuran modal dan jika semua kondisi dianggap sama maka akan menjadi guncangan pasokan negatif, yang berpotensi menimbulkan inflasi. Namun, peningkatan produktivitas agregat yang diharapkan dari inovasi ramah lingkungan akan menimbulkan efek disinflasi karena harag semakin murah.
Kekhawatiran Green Inflation
Beberapa pengamat berpendapat bahwa transisi energi pada dasarnya akan lebih mendorong inflasi dimana perusahaan terpaksa berinvestasi lebih sedikit pada energi bahan bakar fosil pada saat biaya energi terbarukan masih tinggi.
Faktanya, ada berbagai peraturan dan kebijakan yang dapat mempengaruhi inflasi. Dorongan internasional terhadap globalisasi dalam bentuk penerapan tarif perdagangan yang terus berlanjut merupakan salah satu faktor yang memberikan tekanan pada harga.
Kebijakan iklim cenderung berlaku selama beberapa dekade, yang berarti kebijakan tersebut merupakan pendorong struktural. Namun, secara agregat, konsumen hanya akan mengalami inflasi tinggi yang berkelanjutan jika bank sentral memang sengaja menahan suku bunga dalam tingkat yang tinggi. Bahkan jika ada kenaikan harga komoditas yang berkelanjutan, para pengamat tidak memperkirakan inflasi akan tetap berada di atas target bank sentral untuk jangka waktu yang lama.
Kini investor harus melihat lebih jauh lagi dalam jangka pendek dan memikirkan kemungkinan konsekuensi disinflasi dari pengetatan kebijakan global yang berkepanjangan.
Pengamat justru melihat adanya potensi inflasi hijau dalam waktu dua tahun ke depan, melainkan mengenai konsekuensi resesi AS yang terjadi lebih cepat dari perkiraan.
Sebenarnya, narasi seputar inflasi hijau didorong oleh apa yang terjadi di negara-negara Barat. Secara keseluruhan, inflasi jauh lebih rendah di Asia Pasifik, dimana kebijakan iklim berada pada tahap implementasi yang jauh lebih awal dan tidak ada kendala yang sama pada sektor bahan bakar fosil. Selain itu, tertundanya pembukaan kembali perekonomian Asia pasca Covid-19 telah menyebabkan tingkat aktivitas lebih lemah.
Solusi Green Inflation
Dalam waktu dekat, beberapa solusi mungkin akan bersifat inflasi. Kendaraan listrik, misalnya, lebih mahal dibandingkan kendaraan bermesin pembakaran internal. Namun kendaraan listrik relatif mengalami penurunan paling besar dan hal ini juga berlaku pada berbagai teknologi terbarukan, seperti fotovoltaik tenaga surya.
Namun kekuatan-kekuatan yang tampak bersifat inflasi saat ini dapat menjadi disinflasi di masa depan. Akan tiba saatnya harga komoditas turun, dan sebagai importir komoditas besar, Asia akan menjadi penerima manfaat terbesar.
Hal yang menjadi kewajiban manajer aset ketika mempromosikan investasi berkelanjutan adalah mengkomunikasikan bahwa transisi energi adalah keputusan jangka panjang. Bisnis yang banyak menggunakan komoditas dan bahan bakar fosil berjalan dengan baik karena kenaikan biaya produksi lebih lambat dibandingkan kenaikan harga, sehingga berdampak baik bagi pendapatan dan penilaian.
Sebaliknya, valuasi sektor energi terbarukan menjadi mahal pada tahun lalu karena sebagian besar bisnis tersebut merupakan perusahaan yang sedang berkembang.
Seiring dengan peningkatan struktur suku bunga, tingkat diskonto yang diterapkan pada pendapatan mereka juga meningkat yang menyebabkan kinerja buruk secara signifikan.
Hal yang digarisbawahi adalah bahwa investor kemungkinan besar akan mengalami banyak variasi dalam prosesnya. Bahkan jika para pelaku pasar yakin bahwa bank sentral pada akhirnya akan mengatasi masalah ini, strategi yang berupaya mengelola inflasi dan volatilitas akan menarik dari perspektif portofolio dalam jangka pendek.
Point Consultant