Demokrasi Beretika
Perilaku
dan etika politik tampil di publik menghadapi tantangan yang kompleks terutama
bagaimana membangun demokrasi Pancasila dan mempertahankan saling percaya antar
warga bangsa. Memaknai demokrasi dengan partisipasi rakyat menentukan hak
pilihnya adalah suatu jargon yang maklum diketahui. Namun, mensimplifikasi
demokrasi tanpa membangun trust (kepercayaan) adalah suatu benih bencana yang
membahayakan.
Perwajahan
demokrasi dalam potret pilpres, pilkada, dan pemilu legislatif kali ini jadi
arena yang mengkhawatirkan. Pada satu sisi, upaya partisipasi masyarakat
terbuka sebagai ekspresi demokrasi; namun pada sisi lain benih ketidak
percayaan (distrust) menguat. Lebih-lebih parpol tak lagi bersandar pada
pencapaian ideologis demi demokrasi yang sehat. Kepentingan politik pragmatis
menjadi negosiasi yang menonjol.
Etika
politik sangat diperlukan dalam berdemokrasi. Bagaimana pentingnya etika
politik dihadirkan dalam berbangsa dan bernegara agar nuansa politik senantiasa
terasa lebih sehat dan rasional. “Etika politik juga diperlukan bagi
penyelenggara negara dalam pemilu maupun pilkada agar tidak ternoda atau hasil
pemilu tidak cacat secara hukum.
Menurut
Prof. Siti Zuhro, masalah etika dan moral yang mendasar adalah akibat minimnya
penekanan nilai moral dalam proses pendidikan. Berbagai persoalan mulai dari
mahalnya biaya politik, hingga lemahnya pengawasan dan ketiadaan sosok teladan
bagi masyarakat perlu menjadi perhatian. Bahwa bangsa Indonesia mengalami
penurunan keadaban publik. Penurunan yang dimaksud adalah tidak adanya budaya
sopan santun yang ditunjukkan oleh masyarakat bahkan pejabat publik dalam
praktik komunikasi politik.
Menurut
Prof. Bachtiar Aly, M.A., pakar komunikasi politik, mengatakan bahwa etika
berkomunikasi sangat penting. Bahwa narasi dalam komunikasi politik yang banyak
terjadi adalah narasi yang mengarah pada kepentingan kelompok.”Saya membaca
sejumlah hal narasinya tidak dalam agenda program, tapi kepentingan kelompok.
Sampaikanlan apa yang menjadi agenda dan visi. Jangan berbasis pada politik
kepentigan kelompok yang berbasis pada SARA (suku, agama, ras).
Peran Tokoh Agama
Tokoh
agama memiliki peran penting bisa menyejukkan dan menenangkan masyarakat.
Perannya signifikan dalam menjaga keutuhan bangsa terutama dalam pesta
demokrasi. Bangsa ini berharap etika kenusantaraan yang dimiliki masyarakat
Indonesia dapat tetap hadir dan mengedepankan bhineka tunggal ika agar menjadi
bagian dalam penyadaran dalam berinteraksi. Kami sangat berharap calonnya lebih
banyak, jangan dipaksakan harus ada dua untuk menghindari polarisasi yang
sifatnya hitam dan putih. Hanya untuk memilih pemimpin bangsa ini harus pecah,
sangat disayangkan sekali.
Demokrasi dan Kepercayaan
Diawali
tahun 1999 dengan pemilu demokratis, hingga 2024, adalah pengalaman demokrasi
yang perlu kita rawat setelah masa Orde Baru yang penuh dengan tekanan. Pesta
demokrasi 2024, perhatian kita tertuju pada dinamika parpol dalam membangun
koalisi untuk bisa mengusung capres dan cawapres.
Kita
punya harapan, namun ada rasa cemas karena koalisi antar partai terlihat
zig-zag dibentuk berdasar negosiasi kepentingan (political interest) dibanding
agenda ideologis jargon partai (political ideology) yang komitmen pada filosofi
demokrasi Pancasila. Mengedepankan keputusan politik oleh kekuasaan partai secara
kolektif adalah bagian dari praktik demokrasi pada umumnya.
Terlihat
para pimpinan partai tersandera oleh masalah dirinya masing-masing. Alih-alih
upaya negosiasi dan mencari jalan aman ditempuh dalam menjaga kepentingannya,
demokrasi dalam tataran seperti ini menghadirkan demokrasi dilematis seperti
yang diungkapkan Francis Fukuyama, sejarawan dan ilmuwan politik AS.
Menurutnya, tampilan demokrasi yang bersandar pada kemufakatan partai
memperlemah demokrasi ideal. Ia menyarankan saling percaya perlu lebih
dimaksimalkan untuk memperkuat arah demokrasi.
Pemilu
saat ini menunjukkan ujian penting bagaimana trust dibangun. Negosiasi antar
partai untuk mengusung capres-cawapres lebih mengandalkan figur dan aliansi
kekuatan politik adalah bagian dari proses demokrasi. Namun, politik
client-patron yang sangat kuat dengan model mobilitas ”single power” penguasa
akan meruntuhkan arah demokrasi kita yang sedang dibangun.
Jika
setiap partai berkontestasi bukan pada jargon ideologi partai yang diper
-juangkan, tetapi pada kepentingan pimpinan partainya, maka demokrasi prose
-dural akan selalu jadi model demokrasi di Indonesia. Rakyat hanya jadi tikar
untuk tempat bersila para penguasa.
Sudah
maklum saat ini bahwa tiga koalisi besar partai-partai untuk mengusung
capres-cawapres.
1.
Pertama, Koalisi Golkar, PAN, Demokrat dan Gerindra.
2.
Kedua, koalisi PDI-P dan PPP.
3.
Ketiga, koalisi Nasdem, PKS dan PKB.
Irisan
dari ketiga koalisi ini membaur pada negosiasi politik untuk memperkuat
hegemoni aliansinya, tanpa ada perjuangan ideologis demi tegaknya demokrasi
seperti yang digagas Pendiri Bangsa.
Akibat
yang menguat yaitu kemenonjolan distrust antar anak bangsa, lebih -lebih antar
partai. Penulis melihat satu sama lain bisa saling ”menyikut”, dengan
mengabaikan spirit etika berpolitik. Dalam konteks kekinian perlu dibangun
pendekatan rasional, seperti dikatakan Charles Thilly (2007) dalam buku
Democracy yang bertitik tolak dari trust.
Ia
menjelaskan, trust adalah dasar keyakinan dalam demokrasi di mana setiap orang
atau institusi punya keinginan kuat mewujukan kesejahteraan bukan semata-mata
demokrasi prosedural. Langkah ini, menurutnya, sebagai upaya memberikan manfaat
bagi masyarakat dalam menghindari dilema demokrasi.
Di
Indonesia, politik bukan sekadar proses pengambilan keputusan publik, tetapi
juga panggung kekuasaan, persaingan ideologi, serta refleksi dari dinamika
sosial masyarakatnya.
Namun,
dalam konteks kekinian, ada kebutuhan mendesak untuk mengadopsi konsep politik
yang arif suatu pendekatan yang bijaksana, seimbang, serta mampu menciptakan
keadaban, kekeluargaan dan kemajuan bersama. Bisakah demokrasi dijadikan
pijakan tanpa membangun etika politik, atau dengan kata lain demokrasi adalah
semata-mata menghadirkan dukungan rakyat tanpa sama sekali menggunakan etika
Politik.
Etika politik keindonesiaan
Keindonesiaan
sejak dilahirkan para Founding Fathers dibangun berdasar budaya kekeluargaan
dan saling menghormati dengan nilai-nilai luhur yang berkeadaban. Para Pendiri
Bangsa bersusah payah membangun negeri untuk mematri model kenegaraan tidak
semata mengadopsi sistem dari luar, tetapi selalu melihat bagaimana konteks
budaya dan keindonesiaan bisa melekat dalam kebangsaan dan kenegaraan.
Maka
Pancasila menjadi temuan yang mulia untuk dijadikan dasar negara untuk
berkeadaban dalam keragaman. Dasar negara ini menyelamatkan Indonesia dari
keragaman yang rumit, antara nasionalisme dan keagamaan. Maka keunikan politik
kita sampai saat ini membaurkan nilai-nilai budaya, seperti terbuka, menghargai
dan kekeluargaan yang berkeadaban. Nilai dan etika partai harus berkaca dari
cara Pendiri Bangsa berpolitik di masa awal Indonesia.
Jika
keindonesiaan menjadi arah politik Indonesia, apakah praktik politik saat ini
dibangun pada etika yang berasas nalar Indonesia, atau nalar masa pra-Republik
Indonesia yang mendasarkan pada sukuisme dan model kerajaan?
Praktik
demokrasi kita masih sangat belia untuk akhirnya mewujud menjadi negara
demokrasi yang mapan. Persaingan para kontestan, baik partai maupun
capres-cawapres harus selalu mengedepankan etika luhur yang konsisten dalam
ucapan dan perbuatan.
Tampilan
politik yang bermuka ganda dan apalagi tak beretika keindonesiaan, akan jadi
contoh buruk buat generasi selanjutnya. Kumandang lagu Indonesia Raya dalam
setiap pertemuan resmi atau kendurian di berbagai tempat harus jadi renungan
dan pijakan penting dalam etika politik. Jika lagu kebangsaan itu sering kita
lantunkan setiap saat namun kita berpraktik politik dengan cara lain, nilai
apalagi yang akan kita yakini?
Civil society untuk keadilan politik
Civil
society atau masyarakat sipil memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan
dan memperkuat sistem politik suatu negara. Keterlibatan aktif dari berbagai
elemen masyarakat sipil, seperti organisasi non-pemerintah, LSM, kelompok
advokasi, dan komunitas sukarelawan, adalah kunci menciptakan dan memelihara
politik yang ideal di suatu negara.
Pemberdayaan
politik yang ideal melalui keterlibatan civil society merupakan fondasi bagi
masyarakat yang lebih demokratis, inklusif, serta bertanggung jawab. Upaya ini
untuk menjembatani membekunya kemandirian partai-partai dalam menyuarakan
idealismenya yang sudah tersandera lingkaran kekuasaan.
Civil
society berperan sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah dan parpol. Mereka
bertindak sebagai pengawas yang kritis terhadap kekuasaan, khususnya kebijakan
pemerintah, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam proses
politik.
Pemilu
yang jujur dan adil saat ini menjadi taruhan yang harus dikontrol bersama.
Keterlibatan civil society juga memberikan wadah bagi partisipasi masyarakat
dalam proses politik.
Dengan
memberikan edukasi politik dan mengkritisi kebijakan publik, civil society
mendorong partisipasi yang inklusif dari seluruh lapisan masyarakat.
Pemberdayaan
politik yang ideal melalui keterlibatan civil society juga membangun jembatan
antara pemerintah dan masyarakat. Melalui kolaborasi yang konstruktif, civil
society dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap
kebutuhan rakyat.
Dengan
mendorong partisipasi, pengawasan, dan advokasi yang berkelanjutan, civil
society menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan politik yang lebih
responsif, inklusif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Salah
satu filosof Jerman yang memiliki pandangan sangat relevan dalam konteks
politik dan pemberdayaan masyarakat adalah Jürgen Habermas. Dalam bukunya, The
Structural Transformation of the Public Sphere (1962), ia menekankan pentingnya
dinamika komunikasi sehat dan rasional di masyarakat.
Merujuk
pada pandangannya, pada pesta demokrasi 2024 ini kita harus meletakkan ruang
publik sebagai ruang terbuka untuk berdiskusi, dan menghasilkan pemahaman
kolektif tentang masalah-masalah politik tanpa ada rasa ketakutan atau
intimidasi.
Namun
kita perlu mewaspadai adanya "opini publik palsu" (pseudo-public
spheres), di mana narasi politik dan kebijakan dipengaruhi kepentingan-kepentingan
tertentu, terkadang tanpa keterlibatan yang sebenarnya dari masyarakat. Ini
diakibatkan oleh permainan ruang publik oleh kekuatan politik, komersialisasi
media dan perkembangan teknologi. Untuk membendung arus politik yang bisa
mendegradasi nilai-nilai demokrasi ini kita harus memperkuat pemberdayaan
masyarakat melalui partisipasi aktif di ruang publik yang sehat.
Komunikasi
yang rasional dan argumen yang berlandaskan kebenaran dalam proses politik akan
menjaga proses demokrasi itu sendiri. Syarat mutlak demokrasi bukan semata
partisipasi, tetapi juga diskusi yang bermakna, informasi yang akurat, dan
pertukaran ide yang bersifat kritis dan konstruktif.
Di
masa reformasi 1998, telah banyak korban nyawa melayang karena berjuang untuk
mencapai demokrasi yang sehat. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang
telah menjadi korban demi hadirnya demokrasi saat ini. Tanpa mereka, rasanya
tak mungkin kita punya presiden seperti Abdurahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo.
Sekarang
saatnya kita bertanya, apakah kita akan memutar jarum jam dengan model pseudo
demokrasi (demokrasi semu), yaitu demokrasi yang terlihat hanya di tataran
muka, namun sebenarnya masih jauh dari tujuan demokrasi itu sendiri?
Budaya komunikatif
Menciptakan
politik yang santun dan ideal yang mengusung keterbukaan bagi sesama memerlukan
serangkaian prinsip, praktik, dan nilai-nilai yang mendasari perilaku politik.
Penting untuk memahami bahwa politik yang santun berakar pada etika, rasa
hormat, dan tanggung jawab terhadap individu serta masyarakat. Keterbukaan
dalam konteks politik melibatkan transparansi, partisipasi, dan kesediaan untuk
mendengar dan memahami perspektif yang berbeda.
Salah
satu cara menciptakan politik yang santun dan terbuka adalah melalui kultur
politik yang didasari nilai-nilai etika, integritas, dan saling menghormati.
Para pemimpin dan aktor politik lainnya harus menunjukkan perilaku santun,
berkomunikasi secara bijaksana, serta berupaya menjaga norma etika dalam
interaksi politik mereka. Kesantunan dalam politik melibatkan pemahaman bahwa
perbedaan pendapat adalah hal wajar, bahkan diperlukan dalam membangun
keputusan yang lebih baik.
Keterbukaan
dalam politik harus diperkuat melalui transparansi dalam pengambilan keputusan.
Informasi mengenai kebijakan, keputusan politik, dan proses pengambilan
keputusan haruslah tersedia dan dapat diakses masyarakat.
Hal
ini tak hanya memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, tetapi
juga memperkuat legitimasi keputusan politik yang diambil.
Selain
itu, penting juga menciptakan ruang bagi partisipasi publik yang inklusif.
Keterbukaan dalam politik membutuhkan kerangka kerja yang memungkinkan
partisipasi aktif berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Dialog yang
terbuka, diskusi yang terarah, dan kesem -patan bagi masyarakat untuk
memberikan masukan menjadi penting dalam menciptakan politik yang lebih
inklusif.
Pada
akhirnya, menciptakan politik yang santun dan terbuka memerlukan komitmen
bersama untuk membangun budaya politik yang didasari oleh nilai-nilai etika,
integritas, dan keterbukaan. Ini melibatkan partisipasi aktif, transparansi,
kesediaan untuk mendengar, serta menghormati kepentingan yang beragam dalam
masyarakat. Dengan demikian, politik dapat menjadi wahana yang memajukan
kepentingan bersama dan menciptakan tatanan yang lebih adil serta inklusif bagi
semua.
Menghadapi
dinamika politik negeri ini, penting untuk meneguhkan nilai-nilai politik
berkeadaban. Keseimbangan antara kepentingan politik, keadilan, kebebasan, dan
pertanggungjawaban merupakan fondasi yang akan membawa Indonesia ke arah
kemajuan berkelanjutan.
POINT Consultant