Koruptor Harus Dihukum Mati
(REVIEW/ ditulis ulang by, PC)
Sidang pengujian materiil Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Senin (18/12/2023). Foto Humas/Bayu |
Mahkamah
Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 2 ayat (1), Pasal 2
ayat (2), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Senin (18/12/2023).
Permohonan Perkara Nomor 157/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh tiga mahasiswa
yaitu Michael Munthe, Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang.
Michael Munthe adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Kemudian Teja Maulana Hakim dan Otniel Raja Maruli Situmorang,
keduanya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
Para
Pemohon menjelaskan, ancaman pidana mati tidak dicantumkan langsung dalam Pasal
2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor. Ancaman pidana mati bagi pelaku pidana
korupsi baru bisa dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat dalam keadaan
tertentu sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
“Penjelasan
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor melindungi pelaku tindak pidana korupsi dari pidana
mati,” ujar kuasa Pemohon, Albert Ola Masan Setiawan Muda didampingi Risky
Kurniawan yang sama-sama mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional
Batam.
Albert
lebih lanjut mengatakan, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor melindungi
pelaku tindak pidana korupsi dari pidana mati karena sepanjang perbuatan pelaku
tidak masuk dalam rumusan “Yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter” meskipun terbukti telah
menimbulkan kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah
yang luar biasa besar, pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat
dijatuhkan pidana mati, sedangkan terhadap jumlah kerugian negara yang luar biasa
besar tersebut, jika dana tersebut tidak dikorupsi sehingga dapat diselamatkan
dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak kontitusional warga negara termasuk
hak-hak konstitusional Para Pemohon.
Menurut
para Pemohon, hukuman pidana mati harus dijatuhkan langsung kepada pelaku agar
menimbulkan efek jera yang kuat. Menurutnya, keamanan kejahatan sering
diabaikan karena kejahatan tidak ditanggapi dengan serius dan tidak mendapat
perhatian publik. “Beberapa cenderung hilang tiba-tiba dan juga mendapatkan pengampunan,”
tutur dia.
Bukan Pelanggaran HAM
Para
Pemohon menuturkan, penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku bukan
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena para pelaku korupsi itulah yang
merenggut hak asasi manusia warga negara Indonesia lainnya. Salah satunya para
Pemohon yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya ketika keuangan negara yang
seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dimakan koruptor untuk memperkaya
dirinya sendiri.
“Jika
dana tersebut tidak dikorupsi sehingga dapat diselamatkan dapat digunakan untuk
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara termasuk hak-hak konstitusional
para Pemohon,” kata dia.
Petitum
Dalam
petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “…dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Para
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
“…dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau dengan
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Nasihat Hakim
Sidang
Panel perkara ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo yang didampingi Hakim Konstitusi
M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Danies Yusmic P Foekh. Suhartoyo dalam
nasihatnya mengingatkan para Pemohon untuk menelaah kembali permohonannya.
Misalnya terkait pasal yang diajukan. Sebab, jenis perbuatan atau tindak pidana
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berbeda, sehingga ancaman pidananya pun
berbeda.
“Nanti
seolah-olah ada perbuatan yang tidak sepadan dengan ancaman pidana. Kalau di
Pasal 2 ayat (1) jenis tindak pidananya memang arahnya ke kualifikasi yang
lebih berat, tetapi Pasal 3 itu adalah untuk perbuatan yang lebih ringan.
Artinya perbuatan yang bisa jadi tidak memperkaya diri sendiri tetapi orang
lain yang diperkaya atau korporasi,” ucap Suhartoyo.
Penulis:
Mimi Kartika.- Editor: Nur R. - Humas: Tiara Agustina.
Sumber
Referensi :
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19874&menu=2
Ditulis
ulang oleh POINT Consultant