Stoikisme Menjadikan Tiga Prinsip yang Membuat Hidup Bahagia
Cuaca yang cerah, hidup yang tenang, pencapaian-pencapaian yang selalu berulang, hal itu mungkin akan menjadikan seseorang mudah merasa bahagia. Sebaliknya, ketika hidup sedang tidak baik-baik saja, semua masalah di luar ekspektasi, apa yang terjadi selalu tidak sesuai dengan realitas yang ada di pikiran, bahkan rencana-rencana yang sudah disusun dengan matang gagal karena suatu hal, mungkin seseorang akan sulit untuk merasa bahagia.
Critical question-nya adalah apa sebenarnya bahagia itu? Cadre Cherry dalam artikelnya “What is Happiness” menggaris bawahi bahwa happiness atau kebahagiaan pada dasarnya adalah perasaan senang dan puas yang melibatkan emosi positif. Di sisi lain, Sonja Lyubomirsky dalam bukunya The How of Happiness menyatakan bahwa kebahagiaan didefinisikan sebagai pengalaman merasakan kesenangan yang membuat seseorang merasa bahwa hidup ini baik, meaningful, dan berharga.
Sementara itu, menurut Roy bannet, “happiness depends on your mindset and attitude”, yang kurang lebih artinya kebahagiaan itu bergantung dari pikiran dan sikap kita. Untuk hal-hal di luar itu, seperti materi, jabatan, kekayaan, atau mungkin popularitas, hanyalah sebagian kecil yang dapat memberikan nilai tambah pada rasa bahagia.
Nah, dari beberapa definisi tersebut, kita dapat simpulkan bahwa bahagia itu sebenarnya adalah emosi yang muncul atas respon seseorang dalam memandang hidup. Menariknya, bahagia itu sebenarnya dapat kita create atau kita ciptakan sendiri dengan menghadirkan pikiran-pikiran positif, rasa syukur, rasa terima kasih, memaafkan atas semua kesalahan, menghargai setiap orang, dan terus optimis melangkah dalam proses mengejar target.
Pertanyaannya bagaimana meng-create atau menciptakan bahagia itu? Untuk menciptakan kebahagiaan, banyak pakar yang menyarankan agar kita tidak hanya fokus pada masalah yang sedang kita hadapi, tetapi fokus pada solusi yang masih bisa diupayakan dan dikerjakan, serta menerima dan berpikir bahwa semua yang sedang terjadi, memang harus terjadi. Salah satu caranya, yaitu dengan menerapkan prinsip stoikisme.
Tiga Prinsip Stoikisme yang Membuat Hidup Bahagia
Stoikisme bukanlah sebuah aliran keyakinan atau kepercayaan. Stoikisme juga bukan agama. Stoikisme merupakan paham atau filosofi yang dapat digunakan dalam merespon apa yang terjadi di sekitar kita.
Stoikisme sudah ada sejak abad ke-3 Sebelum Masehi yang diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Zeno dari Citium, Yunani. Filosofi stoikisme ini kemudian banyak dikembangkan oleh filsuf-filsuf lainnya, seperti Epictetus, Seneca, hingga Marcus Aurelius. Semakin ke sini, dasar-dasar stoikisme ini mulai banyak dipopulerkan oleh lembaga-lembaga dan institusi pendidikan.
Stanford Encyclopedia of Philosophy, misalnya, mengartikan bahwa stoikisme adalah filosofi hidup di mana segala sesuatu itu dianggap netral, sehingga yang menentukan baik atau buruk dan berguna atau tidaknya sesuatu itu adalah pikiran manusia itu sendiri.
Berbeda dengan stoikisme yang berisi sudut pandang yang sifatnya tidak mengikat, agama sifatnya mengatur. Diksi agama berasal dari bahasa sansekerta, “a” artinya tidak, “gama” artinya kacau. Jadi, agama berarti tidak kacau alias teratur. Makanya wajar jika agama menjadi the way of life karena isinya berupa aturan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik, serta kisah penuh hikmah, yang semua itu bisa menjadi dasar kita dalam berpikir.
Agama merupakan dasar tertinggi yang kita gunakan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan serta merupakan nilai-nilai yang kita gunakan untuk merespon segala sesuatu yang terjadi di luar diri kita. Dan semua itu merupakan hasil dari cara kita mengelola informasi berdasarkan pengetahun dan pengalaman kita, yang kemudian keluar menjadi action, menjadi sikap, menjadi respon. Dari sinilah prinsip stoikisme itu baru bisa masuk.
Prinsip dasar stoikisme ini menurut saya tidak ada yang bertentangan dengan agama manapun, termasuk dalam hal ini agama Islam. Karena dalam Islam pun kita diajarkan untuk bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita lakukan, bukan yang orang lain lakukan terhadap kita.
Dalam hadist riwayat Bukhari, kita mengenal “kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun”, yang artinya setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Dan sebagai individu, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas tiga hal, yaitu pikiran kita, hati atau emosi kita, serta pilihan sikap kita terhadap apa yang terjadi.
Islam juga mengajarkan bahwa kita hanya akan dicoba sesuai dengan batas kemampuan kita. “Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa”, artinya kalau kita sudah berusaha maksimal dan doanya juga sudah maksimal, ternyata hasilnya tidak sesuai, maka ya sudah tidak apa-apa, jangan-jangan memang kapasitas dan kemampuan kita belum layak untuk mendapatkan apa yang kita inginkan atau apa yang kita targetkan.
Justru gagal dan ketidakberhasilan itu adalah proses kita untuk belajar. Ujian dan cobaan itu netral, namun bagaimana kita menanggapinya, yang akan membuat kita layak untuk naik kelas atau tidak. Kita tidak dapat menuhankan rencana karena banyak hal yang terjadi yang berada di luar kontrol kita.
Namun, konsep living in the moment, berusaha maksimal pada hal-hal yang berada dalam kemampuan dan kontrol kita adalah cara terbaik untuk create the future (menciptakan masa depan), apapun kondisinya. Do the best, prepare for the worst. Lakukan yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk, akan membuat kita tidak kaget dengan apa yang akan terjadi dan kita temui saat prosesnya nanti.
Berdasarkan hal itu, ada tiga prinsip stoikisme yang dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk membuat hidup bahagia. Prinsip yang pertama adalah dikotomi kendali. Kendali itu ada yang bersifat internal (berada di dalam tanggung jawab dan kontrol kita) dan ada yang bersifat eksternal (berada di luar tanggung jawab dan kontrol kita).
Nah, apa saja yang masuk dalam internal dan eksternal, sangat bergantung pada posisi dan amanah yang saat ini sedang kita pegang. Apakah kita sebagai individu, pemimpin organisasi, owner dari sebuah usaha atau perusahaan, pejabat publik, atau bahkan public figure. Semua profesi itu, ada tanggung jawab dan konsekuensinya masing-masing. Dan sekali lagi itu adalah tentang pilihan.
Sebagai contoh, seorang kepala negara, yang menjadi internal kontrolnya adalah membuat kebijakan untuk rakyat, memastikan keamanan negaranya, dan menjamin kesejahteraan rakyatnya, karena atas dasar itulah dia dipilih. Berbeda ketika kita menjadi seorang pemimpin organisasi, yang menjadi internal kontrolnya adalah aturan organisasinya, memastikan anggotanya mendapatkan haknya, dan memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk bertumbuh.
Partikel terkecilnya adalah kita sebagai individu. Kita bertanggung jawab mempimpin dan mengontrol internal kita sendiri, seperti pikiran kita, emosi kita, perkataan kita, pilihan-pilihan kita, dan respon kita terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidup. Sementara itu, kita tidak dapat mengontrol hal-hal di luar itu, seperti apa kata orang lain tentang kita, pandangan orang lain tentang kita, atau bahkan perbuatan orang lain terhadap diri kita.
Mampu melihat posisi kita itu menjadi penting karena tidak mungkin seorang kepala negara menutup mata dari penderitaan rakyatnya dan rasanya terlalu egois jika sebagai ketua organisasi kita hanya mau melihat apa yang ingin kita lihat, serta hanya mau memahami apa yang ingin kita pahami, tanpa memperhatikan kebutuhan anggotanya.
Internal dan eksternal ini range-nya luas sekali, tinggal kita yang menentukan posisi kita ada di mana. Yang jelas “trying to focus on what we can control, not what can’t” atau menjaga fokus kita hanya pada hal-hal yang dapat kita kontrol, bukan pada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, adalah solusi terbaik untuk membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan bahagia.
Prinsip stoikisme yang kedua adalah lakukan yang terbaik, bersiap untuk hasil terburuk. Contohnya, ketika kita ingin mendapatkan beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi idaman, semua peryaratan beasiswa harus dipenuhi dengan baik, mulai dari skor TOEFL atau IELTS, surat rekomandasi, nilai IPK, pengalaman organisasi, dan semua persyaratan lainnya, kemudian baru kita mendaftar.
Jika semua usaha dan doa sudah diupayakan dengan maksimal, tugas kita selanjutnya adalah memberikan ruang 50:50. Hasilnya bisa lulus, bisa juga tidak. Karena judge yang akan menilai berkas kita adalah manusia dan selalu akan ada human error, itu sudah di luar kemampuan dan kontrol kita. Jika kemudian hasilnya lulus ya syukur Alhamdulillah, jika tidak, kita tidak akan merasa stress dan overthinking menanggapi kegagalan tersebut.
Mungkin kita akan sedikit merasa sedih dan kecewa, tetapi sedih dan kecewa itu adalah emosi yang netral. Bukankah kita yang selama ini mengasosiasikan sedih dan kecewa itu sebagai sesuatu yang negatif? Padahal sedih, kecewa, marah, senang, itu adalah emosi yang pasti akan dilewati oleh semua orang. Akui emosi tersebut dan segera alirkan atau konversikan menjadi driven energy, maka justru kita akan banyak belajar dari emosi tersebut.
Prinsip stoikisme yang ketiga adalah “amor fati” atau menerima nasib. Epictetus pernah mengatakan bahwa “jangan berharap sesuatu terjadi seperti yang kita inginkan, sebaliknya berharaplah yang terjadi, terjadi sebagaimana mestinya, maka kita akan bahagia”.
Perlu diketahui bahwa Epictetus adalah seorang filsuf yang berasal dari budak. Ia disabilitas. Ia mengalami kebutaan dan hidupnya bisa dibilang jauh dari kata sempurna. Melalui quotes-nya tadi, ia ingin menyampaikan pesan agar kita semua dapat mencintai dan menerima dengan lapang dada apa yang terjadi dalam hidup, tidak menggerutu, apalagi berusaha menyangkalnya.
Epictetus ingin menyampaikan bahwa daripada kita terus melakukan “playing victim” dan “making excuses” atau terus menerus merasa diri sebagai korban atas ketidakadilan semesta, dan menjadikan itu sebagai pembenaran atas hal yang tidak kita inginkan, lebih baik kita fokus pada apa yang masih bisa kita upayakan untuk memperbaiki keadaan.
Bukankah ini juga yang diajarkan oleh agama bahwa jika Tuhan belum mengabulkan doa kita berarti Tuhan sedang “menunda” sampai kita mampu dan layak mendapatkannya atau dengan “mengganti” yang sesuai dengan kapasitas kita. Jika kita sudah menyadari dan mampu menerima semua itu sebagai takdir, hidup kita akan tenang.
At last but not least, prinsip ala kaum stoic di atas hanyalah sebuah filosofi atau pandangan yang dapat dijadikan sebagai “salah satu” dasar pengambilan keputusan dan respon kita terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidup, bukan sebagai sesuatu yang “mutlak” harus dilakukan agar hidup kita bahagia.
POINT Consultant