Whistle Blower System
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti orang dalam adalah orang yang berada di dalam lingkungan (pekerjaan, golongan, dan sebagainya). Istilah orang dalam seringkali kita dengar dengan konotasi negatif di dalam melamar pekerjaan. Pelamar yang mempunyai keahlian dan kemampuan seringkali dikalahkan oleh pelamar yang memiliki orang dalam. Jelas, praktek ini membuat banyak pelamar kerja yg tidak punya orang dalam menjadi frustasi karena dianggap tidak adil. orang dalam yang dimaksud adalah orang atau pihak yang ada dalam perusahaan yang dapat membantu seseorang untuk diterima bekerja karena adanya hubungan kekerabatan, pertemanan, bisnis, kelembagaan, dan sebagainya.
Peran orang dalam adalah melakukan pengurusan yang berkaitan dengan posisi atau yang dimilikinya, demi kepentingan orang yang menjadi rekannya tersebut. Dengan adanya peran orang dalam, bisa dipastikan kompetisi mengisi lowongan di dalam pekerjaan tersebut akan dimenangkan oleh pelamar yang memiliki koneksi orang dalam.
Stigma negatif orang dalam berubah menjadi peran penting ketika di posisi sebagai Whistle Blower dalam upaya pembuktian suatu kasus. Seorang whistleblower merupakan orang dalam, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Banyak praktek kejahatan sangat terorganisir dan sangat rapi dijalankan. Setiap orang yang terlibat memiliki peran yang berbeda namun terorganisir.
Seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Dengan demikian, seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
Selain itu whistleblower juga terkadang adalah saksi langsung namun tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Hal ini disebabkan karena perbuatan kejahatan terkadang sudah menjadi hal yang biasa di lingkungan organisasi tersebut. Malah orang yang tidak ikut dalam kegiatan tersebut dianggap berbeda dari yang lain.
Menurut laporan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) 38,9 persen kasus fraud dideteksi melalui saluran pengaduan, 23,4 persen melalui audit internal, dan 9,6 persen melalui audit eksternal. Dari angka 38,9 persen tersebut, lebih dari 50 persen kasus dilaporkan oleh pegawai internal. Hal ini menunjukkan pentingnya peran orang dalam melalui kanal pengaduan dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran fraud.
Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 Undang-Undang tersebut menyatakan seorang saksi dan korban berhak untuk :
- memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- memberikan keterangan tanpa tekanan;
- mendapat penerjemah;
- bebas dari pertanyaan yang menjerat;
- mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
- mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
- mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
- mendapat identitas baru;
- mendapatkan tempat kediaman baru;
- memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- mendapat nasihat hukum; dan/atau
- memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Whistle Blower System pada Kementerian Keuangan sudah diatur dalam KMK Nomor 149/KMK.09/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran Whistleblowing) serta Tata Cara Pelaporan dan Publikasi Pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Selain peraturan tersebut di atas, di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap whistleblower, seperti Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang sering dianggap melindungi whistleblower, juga Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat dilakukan serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistleblower.
Oleh karena itu, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang Undang yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower. Undang Undang ini selanjutnya dapat memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap whistleblower untuk mengungkap suatu ‘kesalahan’ atau penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan public.
Abdul Haris Semendawai, dan kawan-kawan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam tulisannya Memahami Whistleblower menyatakan beberapa hal yang perlu dimasukkan ke dalam suatu peraturan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower, antara lain :
1. Prosedur Pengungkapan
Artinya, dalam prosedur pengungkapan, penting adanya saluran dan prosedur yang dapat diakses setiap orang untuk mengungkap informasi kejahatan publik, termasuk lembaga yang bertugas khusus untuk menindaklanjuti whistleblower. Selain itu, keberadaan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tersebut juga untuk memastikan bahwa orang tahu di mana untuk melaporkan dan memahami saluran dan prosedur yang tersedia.
2. Pentingnya Langkah yang Jelas Dalam Tindak Lanjut Pengungkapan.
Penting untuk membuat dan mencantumkan langkah-langkah atau alur yang jelas untuk menindaklanjuti laporan mengenai pengungkapan. Misalnya, bagaimana menerima dan membaca laporan yang diajukan; bagaimana menyelidikinya; siapa yang harus dimintai informasi dan keterangan berkaitan perkembangan whistleblowing, bagaimana rekomendasi maupun tindak lanjutnya
3. Anonimitas dan Pelaporan Rahasia.
Istilah anonim harus dipahami berkaitan dengan suatu pengungkapan dilakukan melalui saluran yang meyakinkan ada, hubungan dengan orang yang memberikan informasi, seperti informasi yang dikirim tanpa alamat pengirim, laporan telepon yang tidak bisa dilacak atau email dikirim dari email yang akunnya diblokir.
Anonimitas juga harus dipahami bahwa informasi mengenai identitas whistleblower hanya diketahui oleh penerima pengungkapan, misalnya LPSK atau lembaga yang bertugas melindungi whistleblower, yang memiliki kewajiban untuk menjaga identitas whistleblower, baik terhadap organisasi atau lembaga tempat dia bekerja, pers maupun masyarakat
4. Perlindungan.
Tanpa adanya perlindungan yang memadai, resiko dari suatu pengungkapan bagi whistleblower mungkin akan sangat besar dibandingkan dengan proses pengungkapan itu sendiri.
Peniup peluit sering dianggap sebagai penghianat bagi rekannya yang melakukan kejahatan yang terorganisir tersebut. Namun Sri Mulyani, Menteri Keuangan sering menyebutkan Jika saya TIDAK melaporkan pelanggaran tersebut, maka saya mengkhianati institusi dan 80 RIBU rekan saya yang bekerja jujur.
Sumber Referensi :
Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Cetakan I, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). (2020). Report to the nations on occupational fraud and abuse: 2020 global fraud study. Acfe, 88;
KMK Nomor 149/KMK.09/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran Whistleblowing) serta Tata Cara Pelaporan dan Publikasi Pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan;
Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Ditulis ulang oleh :
POINT Consultant