Pameran Lukisan Denny JA di Galeri Nasional dalam Acara Festival Toleransi, 2-4 Sept. 2024
IMAJINASI FAKTUAL DALAM LUKISAN DENNY JA
AGUS DERMAWAN T.
(Kritikus Seni Rupa, Penulis Puluhan Buku Budaya dan Seni)
- Denny JA, tokoh keberagaman dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia, menyambut kedatangan Paus Fransiskus dengan cara yang langka: Pameran lukisan Artificial Intelligence.
- Metodologi penciptaan lukisan seperti ini (kolaborasi dengan AI) belum pernah dilakukan secara total oleh seniman sebelumnya, kecuali oleh Denny JA.
---
Denny JA, atau Denny Januar Ali, seperti tak pernah berhenti berjalan. Setiap hari ia mengolah media sosialnya untuk menyiarkan tanda-tanda dan aba-aba lewat “tausiah” sosial politiknya. Setiap hari dalam portalnya, ia menulis segala ihwal yang isinya mendorong setiap pembaca untuk tak henti berhasrat menjunjung maslahat.
Pada masa pemilihan umum, ia berdiri di tengah kerumunan, sambil menawarkan kompas politik yang ia yakini benar. Pada situasi dunia global gonjang-ganjing akibat dibakar api perang (Rusia versus Ukraina, Israel versus Palestina), ia memberikan fakta-fakta sehingga semua bisa mengulas dengan jelas.
Pada suasana yang tenang bagai danau di terik siang, ia menyiarkan syair-syair Kahlil Gibran, Robert Frost, Rainer Maria Rilke, Su Tung Po, sampai Nizar Qabbani.
Meski dalam suasana teduh itu, Denny sangat tidak ingin orang-orang hanya tidur dalam keheningan. Sehingga ia pun membangunkan lewat perkataan Jalaluddin Rumi: Meskipun aku tenang bagai ikan, tapi aku gelisah bagai ombak dalam lautan. Ia ingin agar semua orang selalu saja melek mata, membuka ruang pikiran sehingga senantiasa waspada.
Denny sejak puluhan tahun lalu memang melakukan aktivitas dengan atmosfer seperti itu. Dengan memosisikan dirinya sebagai figur penggerak keberagaman, ia mengharuskan diri memasang badan sambil menajamkan pandangan.
Hasil dari pasang badan dan ketajaman pandangan itu adalah kandungan aktivitasnya yang selalu kontekstual. Konsep kontekstualisme ini - menyangkut aktivitasnya di ranah sosial – menyebabkan dirinya cermat membaca (gejala) peristiwa besar yang akan terjadi pada suatu hari.
Dan (gejala) peristiwa besar yang ia lihat sekarang adalah: kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.
Saya tahu Denny adalah seorang Muslim yang khusyuk mendalami seluk-beluk agama dan filsafat Islam. Namun, mengapa ia tergugah benar dengan kunjungan Paus Fransiskus, yang notabene “presiden” dari umat Katolik? Ia tidak ingin menjawab itu dengan seksama. Namun jalan pikirannya bisa diduga.
Ia akan berkata bahwa kontekstualisme dalam ilmu sosial tidak pernah meminggirkan setitik pun fakta yang menggugah. Apalagi kunjungan Paus Fransiskus akan sangat berkonteks dengan konten utama aktivitasnya: keberagaman.
Yang unik, “tausiah” Denny kali ini tidak disampaikan lewat tuturan atau tulisan, yang biasanya berbentuk artikel atau puisi-esai, namun lewat lukisan.
Yang lebih unik lagi, lukisan yang disajikan tidak dalam rupa yang digubah dengan teknik konvensional, namun yang digubah dengan teknologi AI atau Akal Imitasi atau Artificial Intelligence.
Di sini, lagi-lagi Denny menegaskan kontekstualitasnya. Bukankah pada era sekarang sarana visual lebih diperhatikan ketimbang huruf-huruf dan tutur perkataan?
Bukankah pada era sekarang dunia visual juga sudah dijamah dan digubah oleh teknologi yang sanggup merekayasa bentuk? Maka Denny pun berkata lugas berdasarkan konteks: Kini, katakan semuanya dengan lukisan.
**Memaknai kunjungan Paus Fransiskus**
Dalam visualisasi yang indah, Denny menghadirkan seri imajinasi lukisan kunjungan Paus ke Indonesia pada 3 - 6 September 2024 ini.
Pada lukisan Paus ke Indonesia #1 ia menggambarkan dua wanita berkerudung sedang bersimpuh (bukan menyembah) di hadapan Paus. Paus menyambut mereka dengan teduh sambil memberi salam hormat.
Di depan dua wanita itu terlihat seorang kakek yang duduk di kursi roda. Kita simak, kursi roda tersebut didorong oleh seorang nenek tua. Di sekitar mereka berdiri banyak orang yang semua bersukacita. Dari setting yang tergambar, bisa diduga mereka berada di halaman kompleks pesantren.
Lukisan Paus ke Indonesia #2 menggambarkan Paus sedang merengkuh seorang anak dengan khusyuk. Sementara di sekitar bocah itu berdiri anak-anak lain yang menampakkan wajah riang. Sebagian anak itu mengatupkan tangannya dalam gestur berdoa dan berharap.
Di sekeliling anak-anak tampak orang tua mereka yang semuanya tersenyum bahagia. Di belakang kerumunan, aha, terlihat masjid megah yang siap mengumandangkan adzan.
Selembar lukisan yang menegaskan betapa kebersamaan dalam perbedaan itu sungguh menyenangkan dan selalu memberikan harapan-harapan mulia.
Lukisan Paus ke Indonesia #3 mempresentasikan kunjungan para ulama serta umat berbagai agama ke tempat Paus ketika berada di Indonesia. Di halaman bangunan gereja berbendera merah-putih itu, Paus menghaturkan sikap hormat kepada mereka yang bertandang. Kebahagiaan tampak berkelindan.
Semua lukisan ini mengesankan Paus yang sedang berbagi harapan kepada banyak orang. Denny tentu tidak menggambarkan realitas yang terjadi atas kedatangan Paus ke Indonesia. Karena ketika ia melukis itu, Paus belum berkunjung. Dan bahkan dalam kunjungan yang akan dilakukan Paus, tidak terjadwalkan program ke pesantren.
Di sini, Denny hanya ingin menggambarkan - tepatnya memaknai - bahwa kunjungan Paus ke Indonesia adalah untuk berbagi harapan-harapan baik.
Persis ketika para ulama Islam yang bermuhibah ke sudut-sudut dunia dengan memancarkan harapan-harapan yang mulia. Persis ketika para biksu berjalan ke banyak penjuru untuk meneguhkan harapan atas semesta.
Dalam lukisan Denny, Paus dimaknai sebagai perlambang dari wakil Allah yang selalu memberi pengharapan. Dan makna itu selaras dengan yang difirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an: “Berharaplah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan harapanmu sekalian” (QS. Al-Mu'min : 60). “Dan Allah SWT akan mengabulkan harapan bagi siapa saja yang berharap hanya kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah : 186).
Sementara dalam Al-Insyirah Ayat 5 - 6 tertulis cerita bahwa Rasulullah Muhammad SAW pun sama seperti manusia lain, pernah merasakan keresahan hati. Allah SWT kemudian menurunkan Al-Insyirah sebagai penghiburan dan sekaligus pengharapan: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya setelah kesusahan itu ada kebahagiaan”.
Sedangkan dalam Alkitab, persoalan pengharapan itu ada dalam Amsal 17:22. Bahkan Kitab Amsal tidak hanya berbicara tentang pengharapan, tetapi juga kebahagiaan lewat ungkapan. Ayat itu berbunyi begini: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur. Tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
Lukisan-lukisan Denny jelas menyarankan secara visual ayat-ayat mulia itu.
Lukisan-lukisan tersebut tampil realis dengan warna-warna “sensasional” yang tersusun dalam komposisi rapi, cerah, tajam, dan tegas. Bauran gradasi berhasil menampilkan anasir gelap-terang bayangan serta draperi, sehingga setiap obyek dan figur tampil hidup. Pencapaian yang menyenangkan untuk gubahan lukisan AI!
Dalam pertunjukan ini, Denny juga menghadirkan tema-tema aktual dan bahkan kontekstual. Lukisan itu berjudul Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia.
Lukisan menggambarkan Paus sedang membasuh kaki seorang pemuda di tepian sungai yang mengalir jernih. Proses pembasuhan itu disaksikan oleh banyak orang.
Dalam satu lukisannya, Paus diperlihatkan sedang membasuh kaki seorang penganut Hindu. Sementara pada lukisan lain, Paus sedang membasuh kaki seorang Muslim di sehampar kedung nan bening. Tak jauh dari tempat pembasuhan itu tampak menjulang menara dan kubah masjid.
Denny tahu benar hikayat Paus Fransiskus membasuh kaki. Dan itu dimulai ketika pada Maret 2024 lalu, Paus Fransiskus berada di Penjara Rebibbia, Roma, untuk merayakan Misa Perjamuan Terakhir Kamis Putih bersama narapidana.
Di situ, Paus membasuh kaki para narapidana, yang dimaknai sebagai sikap yang menghormati kesetaraan dan kerendah-hatian.
Namun, Paus Fransiskus sendiri memulai tradisi itu pada tahun 2018 ketika berada di Penjara Regina Coeli, Roma. Suatu ritual yang meneruskan tradisi basuh kaki yang dilakukan Paus Yohanes XXIII pada 1959.
Basuh kaki adalah wujud perbuatan dari pikiran dan hati yang mempercayai bahwa semua orang adalah sama dan setara. Dan itu dalam Alkitab, lewat Yohanes 13:13, Matius 16:24, serta Lukas 9:23, dimaktubkan sebagai pengingatan.
Guru harus rela berendah hati agar dapat melakukan pekerjaan seorang pelayan. Guru, atau Paus, adalah pelayan.
Lukisan yang manis visual dan manis ini, lagi-lagi hanya imajinasi Denny belaka. Karena menurutnya, dalam lawatannya ke Indonesia tidak ada ritus Paus mencuci kaki rakyat.
“Lukisan-lukisan ini hanya imajinasi kerinduan kita akan pemimpin yang bergerak dengan hati, dan secara otentik melayani kemanusiaan. Apa pun agamanya, negaranya, gendernya, etniknya, dan identitas kulturalnya,” katanya.
Dan ini memang sejalan dengan makna kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yang mengusung tema “Iman - Persaudaraan - Bela Rasa”. Faith - Fraternity - Compassion.
Denny memang berimajinasi. Namun melihat aspirasinya, dan meraba apa yang bakal muncul dalam peristiwa nyata, bukannya tidak mungkin sang khayal itu akan jadi “imajinasi faktual”.
Lantaran umumnya, yang digubah dalam seni bermuatan tanda-tanda zaman adalah realitas yang akan menjelma sebagai kejadian. Ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Marshall McLuhan: seniman adalah antenna of society, atau antena sosial.
Perangkat Akal Imitasi sebagai asisten seni
Kembali kepada visualisasinya, sekali lagi, Denny menggubah lukisan-lukisan itu dengan menggunakan perangkat AI, atau Akal Imitasi, atau Artificial Intelligence.
Perangkat teknologi “radikal” yang banyak dibicarakan pada akhir-akhir ini, tapi belum terlampau banyak dilakukan orang untuk mencipta karya formal. Sehingga (selama ini) yang terlahir sekadar karya eksperimental. Tidak sebagaimana karya-karya Denny, yang seratus persen diposisikan sebagai cipta seni final.
Menarik diketahui, dalam melukis, Denny menggunakan banyak aplikasi yang berkait dengan AI. Aplikasi itu ketemu setelah ia melakukan percobaan berulang kali. Atas aplikasi yang diketemukan itu, ia lantas bisa membuat perintah lewat teks, sehingga muncul gambar dalam banyak variasi.
Apabila wujud dari AI itu kurang cocok dengan gagasan yang terkonsep dalam pikirannya, setiap variasi bisa diperintahkan lagi, sehingga muncul variasi-variasi lain.
Begitu seterusnya. Jikalau ia menghendaki banyak unsur, maka unsur-unsur itu akan dicari dari aplikasi lain. Atau bahkan diambil dari footage atau gambar hasil rekaman sendiri yang ia punya. Atau yang sengaja ia beli, agar tidak melanggar hak cipta.
Semua unsur itu kemudian digabungkan, dan lantas dicetak di atas kanvas.
Kita bisa membayangkan betapa kerumitan akan muncul ketika pelukis harus menggubah adegan-adegan kolosal yang memerlukan kompleksitas pergerakan.
Ada figur yang menunduk, ada yang tegak, ada yang jongkok. Ada figur yang tersenyum simpul, ada yang muram, ada yang tertawa lebar, dan ada yang menitikkan air mata.
Ada satwa yang melompat kabur, ada tetumbuhan yang sedang tumbuh subur. Di sini, kemampuan seorang pelukis dalam memverbalisasi bentuk - demi memformat perintah atas perangkat AI - sangat diperlukan.
Denny mampu melakukan itu dengan baik. Ia menyebut bahwa AI adalah asisten seni yang secara cermat ia didik.
Lalu, untuk memasukkan unsur rasa serta emosi, Denny melakukan campur tangan dengan membuat sentuhan langsung dengan kuas, pena, pisau palet, dan sebagainya. Sehingga memunculkan sapuan dan garis manual, goresan dan pulasan spontan, tekstur, lelehan cat, dan semacamnya.
Intervensi manual ini sering berfungsi sebagai finishing touch, dan menjadikan lukisan sebagai karya yang punya sentuhan jiwa pribadi. Agar karya tidak didominasi oleh perupaan hasil program text-to-image generator yang difasilitasi mesin generatif AI.
Metodologi penciptaan lukisan seperti ini belum pernah dilakukan secara total oleh seniman sebelumnya, kecuali oleh Denny JA.
Seni lukis - menengok dari awal - pada mulanya divisualkan dengan bahan getah tetumbuhan dan darah hewan, seperti yang tampak pada lukisan primitif di Goa Altamira sampai Goa Leang-Leang. (Temuan yang menghasilkan lukisan cat air).
Para kurun kemudian manusia menemukan campuran serbuk kayu, tanah, dan bebatuan untuk bahan warna, yang direkatkan oleh tempera. (Temuan yang menghasilkan lukisan arang, pastel, dan cat liat).
Sementara lukisan cat minyak baru ditemukan pada sekitar tahun 650, ketika para pelukis Buddha menorehkan karyanya di goa-goa lembah Bamiyan di Afganistan.
Meski cat minyak ini diam-diam surut dalam sejarah, dan baru hadir kembali pada abad ke-13 setelah para ahli ramu Inggris mengolahnya lagi. Cat minyak eksis setelah serius digunakan oleh para pelukis era Renaissance di abad ke-15.
Seni lukis Indonesia ikut dalam arus sejarah medium itu. Namun sejauh-sejauh seni lukis Indonesia berjalan dengan mediumnya, para pelukis masih mencipta dengan cara manual.
Mereka menggoreskan kuas atau pisau palet dengan tangannya. Pernah memang pada tahun 2000-an sejumlah seniman kontemporer Indonesia melukis dengan bantuan komputer lewat foto digital (hasil aplikasi apa adanya) di lembar kanvas.
Selanjutnya, foto digital itu mereka tusir dengan sapuan tangan, sehingga hadir seperti lukisan manual. Tapi setelah karya itu dinyatakan jadi, para pelukis tak pernah membuka dan mengakui proses digitalnya ke hadapan publik. Ini sungguh berbeda dengan Denny, yang terang-terangan menyatakan bahwa ia melukis dengan perangkat AI.
Denny membuka semua prosesnya dengan jujur. Alhasil, Denny adalah orang pertama di Indonesia yang mengendalikan sepenuhnya AI sebagai seni.
Patut dicatat, sekitar 300 lukisan AI karya Denny telah terkumpul dalam 5 buku. Dan sebagian dari jajaran karya itu dipamerkan di lantai-lantai luas Hotel Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sampai sekarang. Sajian seni kontemporer itu diimbuhi buku review Non Kritikus sebagai panduan penikmatan.
Kembali masuk ke lukisan ihwal kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia karya-karya Denny.
Dalam lukisan seri Harmony of Religion, Denny dengan apik menyusun lambang-lambang agama di bidang lukisannya.
Di sini, kemampuannya dalam mengomposisi aneka bentuk lambang, dan menggabungkan jajaran figur umat berbagai agama, elemen-elemen alam seperti langit, planet, dan pohon, seperti diuji.
Hasil dari ujian itu bisa kita simak dalam beberapa lukisan ciptaannya, yang terwujud impresif.
Di kanvasnya tampak beterbangan lambang agama di dunia, yang selama ini mungkin enggan kita ketahui - selain lambang agama kita sendiri.
Bintang bulan lambang Islam. Salib berornamen lambang Kristen. Salib dengan gambaran Yesus perlaya lambang Katolik. Salib geometris lambang Protestan. Bintang cakra lambang Buddha.
Lingkaran berbunga lambang Theravada. Bintang segi enam lambang Judaisme. Aksara suci Om lambang Hindu. Lingkaran bertitik dua lambang Tao. Gapura lambang Shinto. Telapak tangan bercahaya lambang Jainisme.
Bunga teratai lambang Mahayana. Dan seterusnya. Menarik, Denny punya ingatan untuk mengingatkan semua itu.
**Menemukan “Lukisan Masa Depan”**
Hasrat Denny mencipta lukisan-lukisan kontekstual seperti ini bagai menjawab tantangan STA (Sutan Takdir Alisyahbana). Syahdan pada 1982, STA menggelar pameran berjuluk “Lukisan Masa Depan” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Di situ, STA mengatakan bahwa kebudayaan Renaissance telah sampai pada ujungnya, sehingga Kebudayaan Baru harus lahir. Kebudayaan Baru itu harus beranak Kesenian Baru, yakni kesenian yang secara jelas merefleksikan hati nurani manusia, dan merekam serta mendokumentasi suara-suara hati dan pikiran yang baik dan luhur.
Dengan begitu, seni harus berkonteks dengan suasana, situasi, dan kejadian di masyarakat. Lukisan-lukisan AI karya Denny adalah jawaban atas itu. Lukisan Denny adalah “lukisan masa depan” itu.
Sebagai catatan ujung, kita layak melihat kembali siapa Denny JA. Ia adalah pengamat sosial-politik-ekonomi dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia. Sejak lama, sosok kelahiran Palembang 1963 ini memiliki minat seni.
Dan minat itu tidak hanya dilakoni sebagai intermezzo, namun didalami sebagai “pekerjaan wajib”. Itu sebabnya banyak yang mahfum tatkala Denny menghasilkan puisi.
Segubahan sastra yang bisa ditengarai sebagai estetisasi dari esai-esai kemasyarakatan yang sering ia bikin.
Pada tahun 2022, ketika pandemi Covid-19 mulai mereda, ia masuk ke arena seni lukis. Dan hasrat itu ia lakoni sampai sekarang tanpa henti, dengan menggubah karya-karya bermedium baru: lukisan AI - Akal Imitasi, Artificial Intelligence!
Agus Dermawan T.
Kritikus seni rupa. Penulis puluhan buku budaya dan seni. Narasumber Koleksi Benda Seni Istana Presiden Republik Indonesia.